MasukKedua gadis cantik itu mulai melangkah dan hendak masuk ke dalam rumah, sampai mereka menemukan Laila yang berlari dengan sedikit terburu-buru menuju ke arah mereka.
"Hai sayang, kalian sudah pulang," ujar Laila berusaha bersikap tenang. "Hai Bu, kenapa Ibu keluar? Tidak biasanya Ibu menyambut kami." Mila merasa tingkah ibunya hari ini sedikit aneh. Laila tampak bingung, dan tak bisa menanggapi pertanyaan putrinya. Rania lalu mulai bersuara, "Bibi, apakah ayahku, Paman Brian dan yang lainnya sudah kembali?" "Sudah sayang, mereka sedang berbincang di dalam." "Kalau begitu ayo kita masuk Bu, apa lagi yang kita tunggu." ajak Mila cepat. "Eh... tunggu, sebenarnya ada sesuatu yang ingin Ibu katakan pada kalian berdua." Mila mengernyitkan dahi, merasa sikap ibunya semakin aneh. "Begini sayang, aku tahu kalian bingung dengan sikapku, Ibu akan beritahu. Sebenarnya ayah kalian, bersama Paman Franky dan Billy telah membawa seseorang kembali." "Seseorang?" "Siapa Bi?" "Dia adalah seorang pemuda yang menghilang di laut lima tahun lalu, ayah dan pamanmu menyelamatkannya dan membawanya pulang." Mendengar perkataan ibunya, Mila justru dengan cepat berlari masuk. "Mila, sayang... tunggu dulu." Laila mencoba menangkap Mila, namun terlambat dia sudah terlebih dahulu menerobos masuk. Saat sampai di ruang tamu, hanya ada Brian, Paul, dan Franky di sana. "Ayah, kenapa kau membawa orang asing pulang ke rumah kita?" "Sayang, tenanglah, dia itu bukan orang asing, dia itu warga Kota Metropolis juga, hanya saja dia sudah terjebak di pulau asing selama lima tahun, jadi kondisinya sedikit memprihatinkan, tampaknya dia sedikit trauma dan itu membuat dia sedikit tertutup pada dunia luar." "Ayolah Ayah, Paman... bagaimana kalian bisa begitu polos? Kalau memang pria itu bisa bertahan selama lima tahun di pulau kosong, bagaimana mungkin dia akan merasa takut dan terancam pada orang biasa? Bukannya seharusnya dia sudah terlatih di alam liar hingga ia mampu bertahan? Aku rasa kalian sudah tertipu." cecar Mila. Ketiga orang itu tertegun sejenak, karena memang perkataan Mila ada benarnya. Bisa saja seseorang berpura-pura sebagai Nathan dan berusaha untuk menipu mereka semua, tapi jika begitu, harusnya ada motif atau keuntungan yang bisa diperolehnya dari itu... tapi apa? ... Sementara mereka ribut di lantai bawah, di lantai atas Nathan sudah selesai mandi dan kini semua kotoran di tubuhnya sudah dibersihkan. Nathan berdiri di depan cermin memandangi pantulan dirinya yang masih berjanggut lebat dan berjanggut panjang, "Lana, Lena, Kakak kembali." bisiknya parau. Nathan berdiri kokoh, ia hanya mengenakan sehelai handukbputih yang hanya menutupi tubuh bagian bawahnya. Di dada bidangnya terdapat tato bergambar tiga buah Gear berbeda ukuran yang saling mengunci, sementara di belakang punggungnya ada dua tato lagi, gambar naga hitam bermata merah di dekat bahu kanan, dan gambar tengkorak yang diatasnya tertancap sebuah pisau bertuliskan rune kuno, di dekat bahu sebelah kiri. Jika dilihat lebih dekat, seluruh tubuh putih Nathan juga dipenuhi banyak luka, besar maupun kecil. Billy bisa melihat dengan jelas semuanya, namun dia tidak menanyakan apapun pada Nathan tentang hal itu. "Kawan, biarkan para pelayan membantu merapikan rambut dan mencukur janggutmu, kau akan kelihatan lebih rapi setelahnya," kata Billy memberi Nathan pendapat. "Baiklah Billy, aku akan melakukannya." Dengan persetujuan Nathan, Billy memerintahkan dua pelayan pria untuk merapikan rambut Nathan dan mencukur habis kumis dan jenggot yang menutupi wajahnya. Lima belas menit kemudian, semuanya selesai dirapikan. Kini Billy dan kedua pelayan itu tercengang, pria acak-acakan yang tadi mereka bawa, kini berubah menjadi pria tampan yang mempesona. Tubuhnya yang kurus kini terlihat tegap dan berotot, kulitnya yang putih kini kembali terlihat setelah cukup lama tertutupi oleh lumpur dan kotoran. Fitur wajahnya yang tajam dengan garis wajah tegas, lengkap dengan sepasang mata biru dengan sorot matanya yang tajam. "Kawan, kau benar-benar tampan," puji Billy. "Sekarang ayo..." "Sssttt..." tiba-tiba Nathan menutup bibirnya sendiri dengan jari, memberi isyarat untuk diam. Saat itu semua orang mendengar keributan yang dibuat oleh Mila di lantai bawah. Nathan mendengar dengan jelas setiap tuduhan yang Mila katakan tentang dirinya. Dia benar-benar merasa marah, dan membenci gadis itu. ... Di bawah, Mila sedang mencerca ayah dan kedua pamannya dengan penuh percaya diri. Perkataan Mila membuat ketiga orang itu sedikit demi sedikit mulai terpengaruh dan mulai mempercayai jika Nathan itu sebenarnya palsu, karena sungguh kebetulan, setelah sebegitu seringnya kapal mereka berlayar di dekat pulau misterius itu, tapi baru kali ini mereka melihat ada asap di atas bukit. Dan juga, mengapa secara kebetulan api unggun di pinggir pantai bisa tiba-tiba menyala? Mana mungkin orang yang berlari turun dari bukit bisa menyalakan api unggun yang berada begitu jauh? Mereka mulai berpikir mengikuti sudut pandang Mila. "Jangan-jangan, ini memang sudah direncanakan, kemungkinan masih ada orang lain di pulau itu. Kemungkinan mereka membantu orang itu menipu kita." kata Brian yang pertama goyah. Perkiraan mereka memang benar, Nathan tidak sendirian selama lima tahun di pulau itu, tapi mereka salah karena mengira Nathan dibantu orang lain menyalakan api unggun. Karena seperti yang kita tahu, Nathan melakukannya dengan menembakkan sebuah panah api dari atas tebing. Dan mereka juga salah karena mengira Nathan memalsukan identitasnya. ... Di pinggiran Kota Metropolis, di sebuah desa kecil bernama Amaris. Dua utusan Brian sudah tiba di desa itu, dan bertemu dengan para warga desa lalu bertanya tentang kediaman keluarga Norman dan Nathan. Di rumah Norman. Karena ini sudah dekat dengan tahun baru, Alana dan Alena yang selama ini berkuliah di kota, kini juga kembali ke rumah mereka. Tetapi sekarang, kedua gadis kembar itu dan juga ibu mereka sedang berada di rumah tua milik Norman. Sarah tampak sedang memberi obat kepada seorang pria tua yang berbaring di ranjang kecil milik Nathan. "Ayah, kau harus minum obatmu. Jika kau benar-benar ingin Kakak, Kak Norman, dan Nathan bahagia, Ayah harus menjaga kesehatan dan membuat tubuh Ayah tetap kuat." Seperti yang kalian kira, pria tua itu adalah Reynand Middleton, kepala keluarga Middleton, ayah kandung Kate dan Sarah, dan juga kakek dari Nathan dan si kembar Alana dan Alena. "Benar Kakek, Lena percaya Kakak Nathan sebentar lagi akan kembali. Dia sudah berjanji membawakan bintang laut untuk Lena." "Kakak Nathan juga berjanji membawakan Lana kalung indah dari kerang. Dia pasti akan kembali, jadi jika Kakek tampak lemah dan sakit saat Kakak Nathan kembali, dia akan sedih dan memarahi kami." Sarah hanya terdiam. Berulang kali ia mengatakan pada kedua putrinya kalau Nathan sudah tiada, tapi sejak dulu keduanya selalu bersikeras jika Nathan masih hidup dan akan segera pulang. Mendengar rengekan kedua cucunya yang sudah gadis, Reynand pun akhirnya bersedia meminum obatnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. "Wah, sepertinya ada yang datang Bu." ujar Alena. "Siapa yang datang? Coba kamu cek Len." "Baik Bu." Alana dan Alena lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Mereka melihat dua orang berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu. "Selamat siang Nona-nona." sapa kedua orang itu serempak. "Selamat siang Tuan, mohon maaf ada perlu apa?" tanya Alena sopan. "Apakah benar ini kediaman keluarga Ferdian?" "Benar Tuan, ada apa?" tanya Alana yang sekarang terlihat penasaran. "Bisakah kami bertemu dengan anggota keluarga dari Tuan Norman Ferdian?" "Kami adalah keponakan Paman Norman, apa yang bisa kami bantu, Tuan?" tanya Alena lagi. "Baiklah, begini Nona... kami ingin memberitahukan bahwa Tuan kami, Tuan Brian Smith, telah menemukan putra Tuan Norman yang mengaku bernama Nathan. Apakah kalian mengenalnya?" "Prank...." Tiba-tiba, suara benda jatuh terdengar dari dalam ruangan.Saat itu Nathan menyadari kalau dia kini sebatang kara. Kedua orang tuanya telah pergi untuk selamanya. Nathan berteriak dan menangis sejadi-jadinya. ... Kembali ke tahun 2024... Di dalam mobil Billy, mata Nathan mulai berkaca-kaca. Ia menghadap keluar jendela, namun dalam hatinya kini bercampur antara rasa bahagia, nyaman, tapi juga sedih, cemas, dan gundah menjadi satu. Semua orang hanya diam. Sarah dan ayahnya duduk di belakang Nathan, dan tiga gadis di kursi paling belakang hanya mencuri pandang ke arah Nathan lewat kaca spion di atas kursi pengemudi. Setelah satu setengah jam, mobil Billy mulai memasuki daerah pedesaan. Sekitar sepuluh menit lagi, mereka akan sampai di desa Amaris, tempat tinggal mereka. "Kawan, apa kau baik-baik saja?" tanya Billy. "Aku baik, Bil. Bisakah mulai sekarang kau memanggil namaku saja? Kita ini saudara, kita harus berusaha lebih dekat mulai sekarang." "Baiklah, Nath. Bagaimana? Panggilan itu cocok tidak?" canda Billy. "Cocok, kau bol
Nathan hanya terdiam, menatap ke arah ayahnya dengan tatapan bingung dan rasa ingin tahu. "Ayah hanya ingin mengatakan, jika nanti kita sudah pulang, ayah akan membawamu kepada kakekmu. Sudah saatnya kalian saling mengenal dan memahami satu sama lain. Kau harus ingat nak, sejauh apa pun kau melangkah di masa depan, jangan pernah melupakan keluarga. Kau mengerti?" "Mengerti ayah," sahut Nathan cepat. "Bagus! Dan satu hal lagi nak, di Desa Amaris, aku hanya memiliki dua keluarga, yaitu bibimu Sarah dan Paman Kevin. Jadi jangan sekali-kali kau perhitungan dengan mereka berdua dalam hal apa pun. Ayah dan Paman Kevin itu adalah sahabat sejak kecil, sampai sekarang kami bahkan bekerja bersama. Jika suatu hari terjadi sesuatu pada ayah, kau harus tetap bersikap baik pada mereka. Mengerti nak?!" "Iya ayah, aku akan mengingat perkataan ayah dengan baik." "Bagus sekali. Lagi pula Bibi Sarah itu juga adalah calon mertuamu di masa depan, jadi kau harus baik-baik padanya. Jika tidak, dia
Sementara itu... Dalam perjalanan kembali ke Desa Amaris, mobil Billy melaju dengan kecepatan sedang, memberi kesempatan pada Nathan untuk mengamati pemandangan di sekitarnya. Nathan bisa melihat jika selama lima tahun kepergiannya, kota Metropolis telah banyak berubah, kota itu terasa semakin muda sementara ia merasa dirinya mulai tumbuh semakin dewasa. Nathan menatap gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan, ia merasakan kenyamanan yang tak bisa ia jelaskan, saat bisa kembali ke kota dan desa tempat kelahirannya, sementara di sudut lain hatinya ada rasa penyesalan luar biasa yang memberinya beban yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. ... Lima tahun lalu... 29 Desember 2019 pukul 20.00 "Nathan, kamu letakkan barang bawaanmu di sana, ikat ke tiang agar tidak bergerak saat perahu bergoyang. Lalu ambil rompi pelampung di sana dan pakailah satu untuk berjaga-jaga. Siapa tahu tiba-tiba badai datang. Jangan lupa setelahnya kamu tutup pintu itu lagi supaya rompi yang tersisa tet
"Sebentar kakek, apakah kakek membawa uang?" tanya Nathan tiba-tiba. "Iya nak, aku bawa. Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Reynand dengan tatapan penuh cinta kepada cucunya itu. "Kakek, seseorang telah menyelamatkan aku, dan memberi tumpangan dari pulau asing tempatku terdampar hingga aku bisa kembali dengan selamat. Tolong berikan kompensasi pada mereka. Aku tidak mau memiliki hutang budi." Mendengar ucapan cucunya, Reynand segera mengeluarkan sebuah kartu bank berwarna emas, dan menyerahkannya pada Nathan. "Ini nak, di dalam kartu ini ada uang tiga ratus miliar, apakah itu cukup? Jika kurang kakek akan berikan yang lain." "Sudah kakek, aku rasa ini sudah cukup, tapi jika kurang biar nanti mereka menghubungi kita lewat Billy." "Benar nak, katakan pada mereka, jika kompensasi itu kurang, mereka bisa menghubungi kita lagi." Nathan lalu berjalan ke arah kedua utusan Brian dan berkata, "Kami tidak akan kembali ke kediaman keluarga Smith. Tolong berikan kartu ini pada T
Nathan yang sudah sampai di dekat pintu mendadak berhenti. Melihat itu, suara sang gadis terdengar sekali lagi, “Kak Nathan, apa kakak ingat Rania? Aku adalah teman Lana dan Lena, kak?” Saat mendengar itu, Nathan benar-benar berbalik dan menatap gadis cantik berkacamata itu. “Kau, Nia?” “Iya kak Nathan, aku Nia… Rania, teman Lana dan Lena.” ujar Rania menekankan kalimatnya sekali lagi. “Kakak ingat aku?” Semua orang saat itu tidak memperhatikan dua hal: pipi gadis berkacamata itu memerah, dan di sisi lain, untuk pertama kalinya senyuman muncul di wajah Nathan. Namun perlahan ekspresi wajah Nathan mulai kembali berubah. “Maaf, Rania, aku harus segera pergi.” “Kak Nathan, tunggu!” teriak Rania sambil berlari mengejar Nathan. Namun Nathan langsung berlari menjauh tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Rania berbalik, memasang wajah kecewa. “Kali ini kau benar-benar keterlaluan, Mil. Ayah juga sama saja, Rania benci ayah.” Tepat saat itu, Billy juga sudah turun dari lantai atas.
Benda yang jatuh adalah gelas yang dipegang Sarah. Saat dia hendak melihat siapa yang datang karena kedua putrinya berbincang cukup lama, dia tanpa sengaja mendengar berita tentang Nathan yang ditemukan. Hal itu membuatnya sempat gemetaran dan lemas beberapa saat hingga gelas yang digenggamnya terlepas. Alana dengan cepat menoleh ke arah ibunya, “Ada apa, Bu, apa yang terjadi?” Namun Sarah sama sekali tak menanggapi pertanyaan putrinya. “A... apa, apakah kalian benar-benar menemukan Nathan? Apakah dia baik-baik saja?” ... Lima tahun yang lalu. Sore hari di tanggal 29 Desember 2019. Norman baru saja membawa Nathan dan kedua sepupu kembarnya kembali dari sekolah. Setelah itu Norman mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya berlayar malam ini. “Kak Norman, kau harus hati-hati saat berlayar. Ingat untuk menelponku saat kakak kembali, dan kakak tidak boleh pergi terlalu jauh. Sebelum tahun baru kakak sudah harus berada di rumah,” pesan Sarah pada kakak iparnya i







