Share

Hatimu Sakit, Bukan?!

"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.

Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.

Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya.

"Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya.

"Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.

Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia.

"Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna.

"Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang sekiranya sesuai, jadi nanti pelanggan tinggal memilih jenis kain yang dia inginkan," Jelasku sembari menatap raut muka Mas Hendra yang nampak memerah. 

Tapi memang inilah yang kuinginkan, membuat Mas Hendra curiga dan semakin curiga hingga pelan akan mengusik naluri dan lambat laun hatinya akan terkikis oleh rasa cemburu.

"Budhy Setyoadji?" seru Mas Hendra dalam amarah.

kuhela nafas panjang pura-pura menata kata padahal hanya untuk menyempurnakan sandiwara.

"Iya, Pak. Kan kemarin kita sudah membahas soal ini," tukasku berpura menenangkan.

Nampak Mas Hendra memalingkan muka tanpa kembali mencoba mengadu suara. Aku tahu sebongkah daging di dalam sana sedang terbakar api cemburu dan aku mulai menikmati situasi ini, setidaknya mampu melipur lara yang telah sengaja dia cipta. 

"Sarapan Bapak dan anak-anak sudah Ibu siapkan di atas meja, nanti sebelum berangkat jangan lupa sarapan dulu, ya," titahku sebelum berlalu.

"Ibu sudah sarapan?" sergahnya menghentikan langkahku.

"Nanti Ibu sarapan di luar saja, Pak" jawabku sengaja bertele-tele.

"Dengan siapa?" sela Bapak yang nampak mulai tak sabar.

Kuhembuskan nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Mas Hendra.

"Bersama Pak Budhy," lirihku pelan.

Sengaja memang selalu kusebut nama itu untuk lebih memacu kobaran api di dalam sana dan benar saja, Mas Hendra kuat mencengkram lenganku. Ah, ternyata semudah ini menjebak dirinya dalam perangkap.

"Bapak tidak mengijinkan Ibu pergi dan bertemu dengan Budhy Setyoadji!" gertaknya tak tertahan.

"Astaghfirullah, Bapak. kita bahas lagi nanti malam, Ibu sudah sangat terlambat," tukasku menampakkan rasa tak terima akan perlakuan Mas Hendra.

Kasar Mas Hendra menghempaskan lenganku dari cengkramannya.

"Terserah!" sergahnya sembari berlalu memasuki rumah.

Kulanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda dengan senyum sumringah dan membiarkan Mas Hendra larut dalam rasa sakit hatinya.

'Selamat melalui hari yang panjang dan berkawan dengan amarah, Pak. Biar kau rasakan seperih apa rasa cemburu itu kala membakar setiap rongga di dada karena ini baru permulaan saja, sebelum akhirnya kau akan merasakan penghianatan yang akan membinasakan,' gumamku girang di dalam sana.

🌸🌸🌸🌸

Cahaya surya sudah semakin melemah di ufuk barat, menandakan akan tibanya gelap kala kupacu mobil menyusuri jalanan menuju rumah. Meski aku sudah bekerja sangat keras hari ini tapi tak jua ada tanda akan usainya pekerjaanku.

Akhirnya kuputuskan untuk membawa pulang sisa tugas yang kupunya, tak apalah malam ini kuhabiskan malam di ruang kerja lagian berbaring pun tak sanggup kupejamkan netra.

"Hari ini sangat menyenangkan ya, Bu. bisa menghabiskan waktu bersama mantan pacar hingga istriku yang tak pernah terlambat pulang ini, baru tiba usai sembahyang maghrib," sindir Mas Hendra begitu knop pintu berhasil kubuka.

Kukembangkan seulas senyum termanis sebagai tanggapan akan ucapan yang memang ditunjukkan untuk mengundang silat lidah itu. Dalam kupejamkan netra untuk kembali menata deru dada menandakan akan datangnya setitik bara.

"Di butik sedang banyak kerjaan, Pak," tukasku acuh sembari menaruh tas ke meja rias dan menghampiri Mas Hendra yang tengah duduk di ranjang sembari memainkan gawainya, entah angin apa yang membuatnya berada di rumah secepat ini.

"Bapak, sudah pulang dari tadi?" tanyaku lembut pada Mas Hendra yang bahkan netranya tak beralih dari layar persegi di genggamannya.

"Sudah," jawab Mas Hendra singkat seakan ingin menunjukkan betapa besar kemarahan yang bersemayam dalam hatinya kali ini.

"Ibu mandi dulu, ya. Badanku gerah banget sepertinya pekerjaan hari ini sangat menguras tenagaku," ucapku tanpa menanggapi muka Mas Hendra yan memerah.

"Bukankah kalau kerja ditemani Pak Budhy rasanya lebih menyenangkan," ejek Mas Hendra kembali mencoba menekan emosiku.

Kutarik tanganku yang sedari tadi memijat betis Mas Hendra dan tajam menatap netranya.

"Apa maksudmu, Pak. Kau menuduhku melakukan hal senista itu. Dua puluh empat tahun kita bersama, selalu kebenaran yang terucap dariku dan ini balasan yang kuterima?! Kesangsian yang sedari kemarin kau hujam bertubi-tubi pada diriku seolah menggambarkan betapa buruk perangaiku sebagai seorang istri di hadapanmu," cercaku meluapkan setitik amarah yang coba kusimpan.

"Bukan begitu maksudku, Bu," sela Mas Hendra dalam jeda kalimatku.

"Lalu maksudmu apa, Pak. menuduhku berbuat macam-macam seperti itu bersama Pak Budhy?" timpalku dalam amarah.

"Bapak hanya ingin rumah tangga kita baik-baik saja, selalu seperti ini sampai benar-benar Allah yang memisahkannya," lirih Mas Hendra sembari meraih tubuhku kedalam rengkuhannya.

Bagaiman bisa terucap kalimat itu dari dirinya, setelah bertahun-tahun dia hadirkan noda dalam ikatan suci ini. Tak sadarkah dia akan seutas tali yang telah coba ia putuskan?!

Kulepaskan tubuh dari pelukan Mas Hendra karena sekarang bukan lagi kenyamanan yang kurasakan disana tapi sebuah rasa jijik yang menerpa. Dalam kumasuki pupil Mas Hendra dengan tatapan garang.

"Bagaimana bila pertanyaan itu berbalik padamu, Pak. Apakah setelah sekian lama pernikahan kita, pernahkah sekali saja kau mencoba untuk membagi hatimu, Pak. Meski itu hanya sebuah hasrat yang tak terlaksana?" tandasku menelisik.

Mas Hendra nampak sekali salah tingkah terlihat jelas dari bola matanya yang tak bisa fokus.

"Bila Bapak tadi berucap "kerja ditemani Pak Budhy rasanya lebih menyenangkan". Sekarang aku mau tanya, pernahkah Bapak juga merasa nyaman berada di dekat wanita lain selain diriku, Pak? imbuhku kembali tak ingin memberinya ruang meskipun hanya sekali helaan nafas.

"Ibu," Sela Mas Hendra kelimpungan.

Dengan menggunakan punggung tangan kususut genangan air di kedua sudut netra kasar.

"Pernahkah kau mencoba untuk menghianati pernikahan kita, Pak?!" tandasku dengan derai air mata yang tak mampu lagi kutampung genangannya.

"Ibu, tak pernah sekalipun ada niat Bapak untuk menghianati dirimu, Bu. Maafkan sikap Bapak bila akhir-akhir ini sering membuatmu tak nyaman. Aku hanya tak bisa membayangkan bila tak ada dirimu disisiku. Bagaimana aku bisa melanjutkan sisa hidup ini, Bu," lirih Bapak pilu sembari memegang kedua bahuku.

Memang seperti itulah kebohongan tercipta, akan selalu membuat kebohongan lain untuk menutup aibnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status