Share

Berbeda

"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.

Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama.

"Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang.

"Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini.

"Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.

""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. 

Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya.

"Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. 

untuk sesaat aku terhenyak, sudah selama itukah aku tak sadarkan diri.

"Sebelas?! Bapak nggak berangkat kerja?! anak-anak bagaimana?" cercaku mendapati betapa buruk hari ini berlalu.

"Tenanglah, aku sudah batalkan seluruh agenda kerjaku hari ini sementara anak-anak sudah berangkat sejak tadi," tukas Mas Hendra terdengar ketus di runguku.

Aku faham mengapa dia bersikap seacuh itu, janji suanya dengan gundik muda untuk menghabiskan malam bersama harus terancam gagal karena tak mungkin meninggalkan diriku yang sedang tak sehat ini, bila tak ingin meninggalkan tanya pada diri abak-anaknya.

Terdengar beberapa kali hembusan berat keluar dari rongga wajahnya. Hening, aku pun tak mampu lagi berkata.

"Ibu nggak apa-apa, Bapak berangkat saja ke kantor," tukasku mencoba memecah keheningan, karena aku pun mulai tak nyaman bila lebih lama bersama Mas Hendra.

"Bapak tidak bisa meninggalkan Ibu dalam kondisi seperti ini," sergah Mas Hendra menampakkan wajah pilu meski aku tahu hatinya bersorak-sorai gembira.

"Usah khawatir, ada Marni juga kan di rumah," elakku mencoba meneguhkan keraguan yang aku pun tahu itu hanyalah sebatas sandiwara semata .

"Ibu yakin?" tukas Mas Hendra kembali mencoba mengukuhkan sandiwaranya. Patut diapresiasi memang kemampuan berakting yang dia miliki, bahkan setelah dua puluh empat tahun kebersamaan kami, tak bisa menjadi jaminanku untuk bisa membedakan antara akting dan nyata. 

"iya, Pak," tuturku pasrah mendapati dirinya yang ternyata memilih untuk pergi dengan hati riang, bahkan saat diri ini terkulai lemah tak berdaya.

"Ya sudah, kalau begitu Bapak pergi sekarang ya," tukas Mas Hendra sembari menyambar tas kerja juga jasnya hanya dalam sekali kedipan mata, bahkan helaan nafas belum sempat kuhembuskan sutuhnya.

Kulihat punggung Mas Hendra yang semakin menjauh, bahkan dia lupa tidak mengecup keningku, kebiasaan kecil yang tak pernah luput seumur pernikahan kami kala dia hendak berlalu.

Pergilah, Mas. nikmati waktumu bersama gundik itu sepuas yang kalian mampu selama dunia masih ada di pihakmu karena sebentar lagi akan kuhempaskan dirimu dalam lingkaran hitam yang bahkan netramu tak akan mampu menangkap setitik cahaya sekalipun.

Kususut gelombang air di sudut netra yang bahkan sudah ada beberapa garis yang menghias di sekelilingnya, sekeras apapun kucoba untuk menyamarkan tak akan mampu mengubahnya menjadi sempurna.

🌸🌸🌸🌸

Kugelar sajadah di sepertiga malam terakhir, sesuai dengan firmanNya bahwa ini adalah waktu makbulnya doa, dimana Allah akan turun ke langit dunia dan mengabulakan setiap doa hamba.

Aku tak menginginkan Mas Hendra kembali seperti sedia kala dengan keputusan yang dia ambil beberapa tahun silam untuk membagi separuh hatinya. hanya ingin diberi kekuatan lebih untuk menghadapi semua masalah yang kini menggantung di pundakku, melemahkan jiwaku dan menghancurkan hatiku. 

Diberi keikhlasan yang sama pada anak-anakku karena bagaimanapun kenyataan ini akan menggoncang jiwa mereka, menempatkan mereka pada posisi tak memiliki wajah untuk mengahadapi dunia.

lama kubersimpuh padaNya, mengadu akan luka yang kini kurengkuh sendiri tanpa mampu bercerita atau mengungkap pada siapa. Hingga, terdengar suara adzan menggema menandakan akan dua rekaat yang menjadi kewajiban telah tiba.

"Assalamu'alaikum," ucap Mas Hedra di balik pintu kamar yang memang sengaja kukunci untuk menghindari anak-anak jika memasuki kamar dan mendapati sang Ibu dalam kondisi hancur.

kuteguk segelas air putih di dekat jendela untuk mengenyahkan suara parau yang tercipta karena tangis tanpa henti.

kususut air yang masih tersisa di pelupuk mata dan tipis mengusap bedak pada wajah yang nampak kemerahan.

"Wa'alaikumussalam," jawabku setelah memastikan tak ada gurat kesedihan tertinggal.

kulangkahkan kaki menuju daun pintu dengan meninggalkan sajadah dalam posisi terbuka sebagai alibi akan lamanya sahutan salam yang kuberi. 

Aku harus menutup rapat kenyataan yang memang sudah ada di genggaman agar pembalasan ini semakin sempurna, sebenarnya tak pantas di sebut sebagai pembalasan karena aku hanya ingin membagi rasa sakit yang teramat berat menghimpit rongga dada ini dengannya.

Nampak Mas Hendra tegak berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, sepertinya dia melewati malam yang sangat panjang bersama gundiknya. 

Aku memang lebih suka menyebut perempuan itu sebagai gundik daripada madu, karena sejatinya aku tak sudi memiliki madu yang tega mencuri suami orang. Bahkan, madu yang sejatinya perempuan baik-baik pun belum tentu aku mau berbagi suami.

"Baru pulang, Pak?" tukasku yang hanya dibalas dengan anggukan kepala sembari berlalu melewatiku.

Perih jelas kembali menyapa, setelah semalaman kubiarkan dirinya memuaskan hasrat gilanya kini sinis yang kuterima 'dasar tak tahu diri,' umpatku didalam sana.

"sudah sholat, Pak?" tanyaku pada Mas Hendra yang tanpa kata menghempaskan bobot tubuh ke atas ranjang.

"Belum," jawabnya tanpa acuh.

 Ternyata bukan hanya istri, Tuhannya pun telah dilalaikannya 'Astaghfirullah' gumamku pilu di dalam sana, betapa kecewa diri ini telah memilih dia sebagai panutan.

"Sholat dulu, Pak," titahku tak kalah acuhnya.

kasar Mas Hendra menghembuskan nafas.

"Sebentar, aku sangat lelah," elak Mas Hendra.

Jelas sekali dia nampak kelelahan, dari tanda merah di lehernya pun membuktikan betapa garangnya gundik itu. Mungkin raga yang tak lagi muda sangat kewalahan dalam mengimbangi gundiknya di atas ranjang.

"Kejar dunia senyampainya saja, Pak. Umur sudah semakin tua, akan lebih baik memperbanyak Ibadah daripada menimbun harta," ucapku berusaha tetap terdengar lembut.

Kuhampiri Mas Hendra yang lunglai seakan tak bertenaga, dalam hati aku tertawa sinis, aneh memang besarnya nafsu ini berbanding terbalik dengan tenaganya.

"Sholat dulu, habis itu baru istirahat, Pak," tuturku terdengar semesra mungkin.

Mas Hendra menopang kepalanya di pangkuanku dengan mesra.

"Habis sholat, buatin Bapak kopi, ya. aku kangen sama kopi kopi buatan Ibu yang tak ada tandingannya itu," tutur Mas Hendra manja.

Ah, jangankan kopi. Sianida pun mampu kupersembahkan untuknya pagi ini dengan penuh cinta.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status