Share

Bab 3. Kebohongan

Yang pertama kali aku cek, saat aku terbangun adalah kondisi diri dan kaus yang aku pinjam dari Mas Alfa karena koper didominasi oleh lingerie. Untunglah masih ada celana yang bisa kupakai.

Kaus oblong kebesaran. Cek? Aman.

Celana pendek. Cek? Aman.

Alhamdullilah masih perawan. Aku menghela napas lega karena lelaki itu benar-benar bisa dipercaya. Sebab, pakaianku tidak berkurang satu pun dan keadaanku tampaknya baik-baik saja sama seperti keadaan semalam sebelum tidur, hanya bantal dan guling saja yang berjatuhan.

Jujur. Dalam hati ini aku sempat meragukan Mas Alfa semalam. Tak dapat kupungkiri, seusai tragedi lingerie, aku jadi lebih waspada dan takut kalau Mas Alfa khilaf.

Who knows? Saat aku sedang tertidur lelap, tiba-tiba dia ... ah, tidak! Stop!

Tidak semua laki-laki bersalah padaku. Bukan? Begitulah kata lagu.

"Hoam!"

Merasa malas dan lelah. Sebelum beranjak, aku pun melihat langit-langit kamar sambil menguap. Menggeliat dan streaching di atas tempat tidur dan ketika melihat ke samping, aku tak menemukan siapa pun.

"Loh, ke mana dia?"

Aku hendak beranjak dari kasur sebelum suara pintu mengejutkanku.

"Kamu sudah bangun?" sapa Mas Alfa sambil tersenyum.

Tampaknya dokter muda itu baru saja selesai mandi dan itu membuatnya ... HOT.

'Apa? Hot? Gila! Zela! Apa yang kamu pikirkan? Oh, tidak! Ingat dia hanya mencintai Kakakmu, Zela!' batinku langsung mengingatkan.

"Eheum .... i-iya."

Aku berdehem untuk menetralkan irama jantung yang mulai tak beraturan. Baru kali ini aku melihat otot bisep dan perut six pack seorang cowok secara live tanpa buffering.

Konon katanya, seorang dokter memang harus punya standar kesehatan tersendiri mungkin itulah alasan Mas Alfa rajin fitnes.

"Gimana enak tidurnya?" tanya Mas Alfa. Nadanya terdengar seperti sindiran.

Harus kuakui semalam, aku benar-benar menguasai kasur dan membiarkannya tidur di sofa. Mau gimana lagi, daripada terjadi hal yang diinginkan.

"Enak Mas, aku nyenyak," jawabku semangat.

"Baguslah! Kalau saya enggak."

"Loh, kenapa?"

"Kamu bikin saya khawatir. Tidurmu terlalu heboh, berguling ke sana ke mari, saya jadi takut kamu jatuh," ujarnya sambil mengambil kemeja di lemari.

Sumpah! Kali ini otakku masih lemot untuk mencerna, omongannya itu tanda perhatian atau omelan.

"Ya, udah maaf kalau Mas Alfa tidurnya gak nyenyak," kataku setengah hati.

Malas banget, pagi-pagi udah dapat siraman rohani. Apa segini susahnya jadi pengganti Mbak Resa?

Mas Alfa yang sudah memakai kemeja kerjanya langsung menoleh.

"Sudahlah, sekarang cepet mandi lalu makan pagi. Hari ini saya ada pasien dadakan, jadi nanti kamu tunggu saya mau buka praktek dulu."

"Ke rumah sakit? Bukan ke rumah Mamah dulu?" tanyaku merasa bingung.

Seingatku, kemarin Mamah bilang dia akan membuatkanku nasi goreng spesial. Nasi goreng yang memang sudah lama aku rindukan.

"Mamahmu tadi nelepon katanya tadi harus mengurusi Resa. Dia mengalami mual-mual yang parah. Jadi, dari pada bolak-balik kita ke rumah sakit dulu baru ambil baju ke rumah kamu," ujar Mas Alfa sambil merapikan jas dokternya.

Aku tertegun setelah mendengar ucapan Mas Alfa. Kusadari sejak dulu, Mbak Resa selalu lebih diperhatikan dari pada aku.

Saking seringnya, aku dibedakan. Kadang, aku berpikir, mungkinkah aku bukan anak kandung Mamah? Karena, Mamah memang lebih memperdulikan Mbak Resa.

Saat aku dan Mbak Resa sakit pun, Mamah lebih memilih tidur bersama Mbak Resa. Bahkan saat aku bersama Yoga pun, Mamah selalu meminta Yoga mengantar Mbak Resa lebih dulu jika Mas Alfa sibuk sama pasien dan operasinya. Sedangkan aku dibiarkan sendiri, menunggu sampai berjamur.

Apakah dari situ mereka mulai saling mendalami diri masing-masing?

"Zela! Hey, Zela!" Sebuah petikan jari membuyarkan lamunanku.

Aku terperangah kaget, saat kudapati wajah Mas Al sedang menatapku bingung. Baru saja aku mau menjawab panggilannya, tiba-tiba dia meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku sembari membacakan ayat qursi.

"Allahullah illaha illa ...."

Sontak saja aku bereaksi, sambil menyingkirkan tangannya.

"Mas, aku gak kesurupan!" teriakku membahana.

Alih-alih minta maaf. Mas Alfa malah tertawa merasa berhasil membodohiku.

"Makanya, mandi! Bengong aja! Kesambet baru tahu rasa, ya udah, saya tunggu di bawah ya, kita makan pagi lalu pergi," perintahnya cuek sambil melenggang pergi.

Meninggalkanku dengan tingkat kegondokkan level tinggi.

Ya Allah! Apa salah hamba bisa menikah dengan lelaki aneh macam begini?

(***)

Sudah jadi rahasia umum, kalau Mas Alfa memang banyak penggemarnya. Masih aku ingat, dulu saat mengantarkan Mbak Resa ke sini, Kakakku itu sampai harus menunggu berjam-jam demi melihat kekasihnya.

Sebenarnya, sebagai mantan mahasiswa d3-keperawatan aku cukup paham kondisi Mas Alfa.

Sebagai dokter muda yang merupakan spesialis internis, Mas Alfa memang terkenal ramah dan ganteng. Tak heran, jika pasiennya segambreng.

Namun, sekarang akulah yang ada di posisi itu, sebagai pengganti Mbak Resa yang telah mengkhianati Mas Alfa.

Lama. Aku bersandar dengan nyaman ke kursi kayu taman rumah sakit . Di sinilah aku harus menunggu Mas Alfa yang super sibuk di hari pertama kami sebagai suami-istri. Tidak tahu sudah berapa lama aku sendirian di sini, tapi aku tak masalah.

Untungnya, taman rumah sakit tempat Mas Alfa bekerja cukup asri, sehingga aku pun betah berlama-lama duduk di kursi kayu yang tepat berada di bawah pohon akasia ini.

Sayang, di tengah ketentramanku menikmati suasana taman, seorang lelaki tiba-tiba mengganggu tepat di saat aku merasa mengantuk karena kelelahan.

"Zela? Bisa kita bicara?"

Mataku sontak terbuka karena merasa kenal dengan suaranya.

Benar saja. Seolah ujian yang terus datang, kulihat Yoga telah berdiri di depanku dengan wajah yang ... kacau.

"Yoga? Ngapain kamu di sini?" sentakku langsung. Saking terkejutnya tubuhku sampai berdiri.

"Aku mencarimu Zela, aku ingin menjelaskan sesuatu," ujar Yoga. Dia menangkupkan tangannya seolah memohon.

Aku meludah dengan marah. "Gak ada yang perlu dijelasin. Kamu seharusnya di rumah! Kamu tahu kan, Mbak Resa sedang hamil?"

"Aku gak mau di rumah sama Resa, Zel. Aku ragu kalau yang dikandung Zela itu anakku!"

"Yoga! Hati-hati kalau ngomong, jangan fitnah! Dia Kakakku!"

Yoga menggelengkan kepala, mata elangnya yang dulu selalu kurindu jadi tampak memuakkan sekarang.

"Aku gak fitnah Zel, Resa berbohong! Aku gak tahu itu anak siapa? Zel, aku memang khilaf, tapi aku gak yakin kalau itu anakku!"

Aku mengurut keningku yang mendadak berat. Lagi-lagi, dia berbohong.

Tidak mungkin kalau Mbak Resa punya anak dari lelaki lain. Setahuku, hanya Yoga dan Mas Alfa lelaki terdekat Mbak Resa, walau harus kuakui Mbak lebih dekat dengan Yoga dibandingkan dengan aku pacarnya.

"Yoga! Sekali lagi kamu ngomong itu aku akan ... ah, sudahlah! Percuma berbicara dengan pecundang!" ujarku marah seraya membalikkan badan untuk menghindari Yoga.

Rasanya tidak ada bagusnya, berbicara dengan seorang pengkhianat. Namun, tangan Yoga berhasil menarik tanganku.

"Zela! Dengar! Aku masih sayang kamu, Zel! Kamu harus dengerin aku! Aku akan cari bukti kalau anak yang dikandung Resa bukan anak aku!" sergah Yoga kasar membuat tubuh ini berbalik menghadapnya.

Tanpa sengaja, mata kami kembali bertemu pandang. Rasa perih tiba-tiba menyerang saat kulihat sorot mata penyesalan juga keyakinan di mata Yoga.

"Zel sekali ini saja, aku minta ...."

"Lepaskan istri saya! Sekarang!"

Tepat di saat hati ini mulai luluh, tiba-tiba suara dingin seorang lelaki kembali menyelamatkanku.

Dialah Mas Alfa.

Suamiku.

(***)

Jika itu bukan anak Yoga lalu itu anak siapa? Tidak mungkin kan, Mbak Resa berbohong?

Ah, bercanda!

TBC.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jumaela Mela
coroousssssssss
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
curiouss........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status