Share

3. NADINE, BERTAHANLAH !

Alya bergegas keluar dari ruangan dokter Ridwan. Dia berjalan setengah berlari menuju sebuah ruangan di ujung bangsal rumah sakit. Sesampainya di ujung lorong rumah sakit matanya menoleh ke kiri, semakin mendekat ke sebuah ruangan bercat hijau muda. Kakinya melepas sendal yang ia kenakan dan masuk ke ruangan itu. Ruangan inilah yang bisa membuatnya tenang. Disinilah ia bisa menangis sejadi - jadinya tanpa malu dilihat orang. Di ruangan inilah tempat ia bersimpuh memohon petunjuk sang Khalik akan semua masalah yang tengah ia hadapi. Sejak Nadine dirawat di rumah sakit ini, Alya menjadi akrab dengan ruangan ini. Ya, hanya mushola rumah sakit ini tempat Alya menangis dan bedoa untuk jalan keluar dari masalah yang sedang ia hadapi.

Alya terduduk di lantai mushola. Bulir bening itu mulai luruh dengan deras ke pipi gadis berusia sembilan belas tahun itu. Hatinya perih mendengar penawaran yang keluar dari mulut wanita itu. Sebegitu rendahnya kah dirinya sampai ia harus menerima kesepakatan yang ditawarkan wanita itu? Tidak! Alya memang orang miskin dan sekarang ia butuh biaya yang tidak sedikit untuk mengobati Nadine tapi ia masih bisa berfikir waras untuk tidak menerima tawaran gila dari wanita itu. Alya percaya ia akan mendapatkan biaya rumah sakit Nadine secepatnya tapi tentu saja tidak dengan menggadaikan harga dirinya. Ia ingat betul nasehat yang selalu ibunya beri. Lebih baik kita miskin harta saripada misi akhlak dan sampai sekarang Alya pegang terus nasehat ibunya itu. Setelah melampiaskan tangisnya dan menunaikan sholat Juhur Alya segera bergegas meninggalkan mushola menuju ruang perawatan Nadine.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Alya sampai di rumah sakit. Tadi malam memang ia tak tidur di rumah sakit. Bu Sartini, tetangganya menelpon Alya untuk memberitahukan kalau catering tempat ia bekerja mendapatkan pesanan dalam jumlah besar hingga butuh tenaga tambahan untuk menyiapkannya. Bu Sartini menawarkan pada Alya yang tentu saja diterima dengan senang hati oleh gadis berambut panjang itu. Upah yang diterima lumayan walau Alya harus begadang untuk menyiapkan semuanya. Uang yang ia dapat bisa dipakai untuk keperluan selama ia dan sang ibu menunggu Nadine di rumah sakit.

Ini hari kelima Nadine dirawat, Alya berjalan dengan semangat menyusuri bangsal rumah sakit menuju kamar Nadine. Di tangan kanannya ada rantang makanan yang berisi beberapa potong ayam goreng dan kuah kari. Pemilik catering mememberikannya sebagai bonus karena Alya sudah membantunya tadi malam.

‘Nadine sangat suka Ayam kari. Pasti dia senang sekali kalau tahu aku membawa lauk kesukaannya’

Fikir Alya sambil tersenyum.

 Langkah gadis itu berhenti di kamar dengan angka sembilan di depannya. Pintu kamar kelas tiga itu ia buka dan menuju ke tirai nomor tiga tapi Nadine dan ibu tidak ada. Dimana mereka. Buru buru Alya menuju ke depan dan bertanya ke suster jaga.

“Maaf mengganggu sus, saya mau tanya, pasien di ruangan tiga kemana ya sus? Atas nama Nadine Purnama”

Alya bertanya pada suster yang berjaga.

“Atas nama Nadine Purnama ya mbak?”

Alya mengangguk.

“Oh, tadi di bawa ke icu mbk. Soalnya setengah jam yang lalu kena gagal nafas.”

Deg! Alya terkejut luar biasa.

“Gagal nafas sus. Lalu adik saya sekarang ada dimana sus? Kondisinya gimana?”

Tanya Alya dengan nafas memburu.

“Masih di icu. Dokter sedang melakukan tindakan. Mengenai kondisinya kita belum dapat kabar mbk.”

“Icu nya di sebelah mana sus?”

“Lantai bawah. Lurus aja lalu belok ke kiri”

“Oooh, baiklah kalau begitu. Saya kesana sekarang. Terima kasih informasinya ya sus.”

Alya berbalik dan berlari menuju ruangan yang di maksud suster jaga.

‘Semoga Nadine tidak apa - apa. Ya Allah selamatkan Nadine’

Sesampainya di ruang icu Nadine melihat ibunya duduk di kursi tunggu.

“Ibuuu”

Ibu Kartika menoleh ke arah suara. Tampak sang putri berjalan menuju ke arahnya. Wanita paruh baya itu buru - buru memeluk Alya. Tangisnya pecah di pelukan anak perempuannya itu. Ibu jarang menunjukkan kesedihannya di depan anak - anaknya. Bu Kartika adalah sosok wanita kuat. Jadi di saat dia menangis berarti ada penderitaan yang tak sanggup ia tahan lagi. Itulah kenapa Alya tak mau menangis di depan ibunya. Sehingga semua kesedihan ia tanggung sendiri. Tak apa, asalkan ibu dan Nadine bahagia Alya sanggup melakukannya.

“Nadine kenapa bu?”

“Tadi Nadine gagal nafas. Kata dokter mungkin ini pengaruh dari jantung bocor Nadine yang sudah parah Al”  Ibu bercerita sambil terisak.

“Sekarang Nadine dimana bu”

“Nadine di icu lagi ditangani di dalam. Sampai sekarang dokter belum keluar. Ibu takut Al.”

Ujar ibu terisak.

“ Ibu tenang saja,Nadine pasti sembuh bu.”

Alya berusaha menenangkan ibunya walaupun di dalam hatinya ragu apa Nadine bisa diselamatkan.

“Ibu yang salah Al. Dari kecil Nadine memang tubuhnya lemah dan ibu tidak mampu memberikan kehidupan yang layak buat kalian berdua. Ibu gagal, Ibu tak sanggup memberikan kehidupan yang baik untuk kalian. Ibu gagal!”

Ibu mulai kembali terisak.

Alya merangkul ibu, memeberikan kekuatan pada wanita yang sangat dicintainya itu.

“Ibu gak boleh bilang begitu. Ibu... adalah ibu paling sempurna buat Alya sama Nadine. Gak ada yang sehebat ibu. Ibu kerja keras buat kami. Ibu memberikan kasih sayang yang tak terhingga. Kami bahagia bu, sangat bahagia punya ibu di kehidupan kami.”

Kedua anak beranak itu saling berpelukan di depan pintu ruang icu. Isak mereka terdengar perlahan. Lalu tiba - tiba pintu ruang icu dibuka. Tampak dokter Ridwan yang masih mengenakan masker keluar dari ruangan. Alya meregangkan pelukannya lalu mendekati dokter.

“Gimana adik saya dok? Bagaimana keadaannya?

“Untuk kali ini Nadine bisa tertolong.” Ujar dokter Ridwan sambil matanya menatap Alya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan

“Alhamdulillaah...” Alya dan ibu berbarengan melafalkan hamdalah.

“Apa kami sudah boleh melihat Nadine dok?” tanya bu Kartika

Sebaiknya jangan dulu. Karena Nadine masih dalam pengaruh obat bius. Biarkan dia istirahat dulu ya bu. Kita berdoa saja.”

“Kalau begitu saya permisi dulu Al, bu Kartika. Ujar dokter Ridwan sambil matanya menatap Alya. Alya sadar kalau Dokter Ridwan ingin bicara empat mata dengannya

Setelah beberapa saat dokter Ridwan meninggalkan ruang icu Alya berkata pada ibunya.

“Bu, Alya mau beli makan siang dulu ya. Ini sudah jam satu lebih, ibu pasti lapar.”

“Ibu gak ada nafsu makan al”

“Ibu gak boleh gitu ya. Ibu harus makan biar kita berdua kuat jagain Nadine. Kalu ibu sakit gimana? Alya gak bisa konsen jagain Nadine.”

Ibu memandang Alya. Masih ada riak di matanya.

“Maafin ibu al. Kamu harus mengerjakan pekerjaan yang harusnya menjadi tanggung jawab ibu sebagai kepala keluarga. Seandainya kaki ibu normal seperti dulu tentu bebanmu tidak seberat ini.”

Tangis bu Kartika.

“Buuu...Alya mohon ibu berenti menyalahkan diri ibu sendiri. Ini takdir Allah buk dan Al ikhlas melakukannya. Ibu dan Nadine itu seperti udara buat Alya. Kalau kalian gak ada Alya bisa mati bu.”

Lalu Alya merangkul sang ibu untuk menenangkannya. Lagi - lagi tangisan bu Kartika pecah di pelukan Alya. Setelah sang ibu sudah terlihat tenang, Alya melepaskan pelukannya.

“Ibu tunggu sebentar ya. Alya mau beli makan siang.”

Bu Kartika mengangguk.

Alya bangkit dan berjalan menuju pintu bangsal.Sampai di ujung bangsal ia tak berbelok ke kanan menuju kantin rumah sakit tapi berbelok ke kiri menuju ruangan dokter Ridwan. Hatinya deg-degan. Dokter Ridwan pasti mau berbicara tentang penyakit Nadine.

Alya sampai di gedung tempat ruangan Dokter Ridwan berada. Gadis berambut ikal itu masuk ke gedung dan menuju ruangan dokter Ridwan. Sampai di depan ruangan Alya mengetuk pintu ruangan beberapa kali lalu terdengar suara dokter Ridwan mempersilahkan masuk. Alya menarik gagang pintu dan mendorong daun pintu dengan pelan.

Di ruangan, dokter Ridwan duduk di belakang mejanya. Tangannya memegang beberapa kertas dan pena. Ia menoleh sekilas ke arah Alya.

“Silahkan duduk Alya.”

“Terima kasih dok” Jawab Alya.

Lalu ia menarik kursi yang ada di depan meja dokter Ridwan dan memghempaskan tubuhnya di atas kursi itu.

“Maaf mengganggu waktunya dok. Kedatangan saya ingin menanyakan kondisi Nadine yang sebenarnya. Karena tadi nampaknya dokter belum memberikan informasi lengkap tentang Nadine.”

Alya langsung pada pokok permasalahannya karena dilihatnya dokter Ridwan kelihatannya sibuk sekali,

Dokter Ridwan merapikan kerrtas - kertas yang ia pegang lalu meletakkan pulpennya.

Lalu memandang Alya dengan tatapan serius.

“Secara umum kondisi Nadine sekarang masih di level aman. Hari ini dia beruntung bisa melewati masa kritisnya karena tak banyak orang yang memiliki riwayat penyakit seperti Nadine bisa melewati gagal nafas dan kita harus bersyukur akan hal itu Al.”

Dokter Ridwa menghentikan kalimatnya dan menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. Ia melanjutkan.

Walau sekarang kondisi Nadine bisa dibilang stabil tapi bukan berarti kondisi Nadine dalam keadaan sehat. Bocor jantungnya semakin hari semakin parah dan harus segera ditangani. kalau tidak kejadian hari ini akan terulang lagi dan saya ragu Nadine masih bisa selamat seperti sekarang.”

Alya hanya diam, matanya nampak mulai kembali berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter Ridwan. Sebenarnya Alya sudah menyiapkan hatinya untuk mendengar kemungkinan terburuk tentang Nadine namun kenyataannya Alya tetap tak siap mendengarnya.

“Apa kamu sudah mendapatkan biaya operasi Nadine al?”

Tanya dokter Ridwan hati-hati.

Alya memandang dokter Ridwan lalu menunduk dan menggeleng pelan.

Dokter Ridwan menghembuskan nafas pelan.

“Kamu harus segera mendapatkannya Al. Karena selain bocor jantung kita juga harus mengobati kanker darah Nadine.”

Berat dokter Ridwan mengatakannya karena tahu itu semakin menambah beban berat untuk Alya.

“Iya dok. Saya sekarang sedang berusaha mencari biayanya.”

Ujar Alya kepada dokter Ridwan.

“Sebaiknya memang begitu. Semakin cepat ditangani. Kemungkinan Nadine untuk sembuh semakin besar.”

“ Iya dok. Akan saya usahakan secepatnya.”

Dokter Ridwan mengangguk.

“Bagaimana dengan pembicaraan kamu dengan ibu Aline beberapa hari yang lalu? Dia bersedia memberikan pertolongan?”

“Bukan pertolongan dok tapi transaksi yang tak masuk di akal.”

Dokter Ridwan mengenyitkan dahi.

“Tapi dokter jagan khawatir, saya sudah menolaknya.”

“Ooh, syukurlah. Saya sudah menjadi dokter pribadi di keluarga mertuanya lebih dari dua puluh tahun. Jadi saya tahu betul sifatnya.”

“Iya dok, saya sudah menolak tawaran gilanya.”

“Alhamdulillah kalo begitu.”

“Oh ya Al, saya sudah membayar biaya pengobatan Nadine hari ini. Jadi kamu gak usah khawatir.”

Alya terbelalak. Alya tahu biaya pengobatan Nadine yang tiba-tiba anfal hari ini tidak bisa di cover dengan kartu miskin yang ibunya punya dan nominalnya tidak sedikit.

“Dok, gak usah. Saya gak mau ngerepotin dokter.”

“Saya gak merasa direpotkan Al. Anggap saja ini pemberian dari seorang ayah untuk anaknya.”

Jawab dokter Ridwan yang suaranya begitu hangat di telinga Alya. Kata ayah yang terucap dari mulut dokter Ridwan membuat perasaan Alya yang begitu gelisah menjadi tenang. Hatinya yang menjadi tenang mendengar kata-kata dokter Ridwan berbanding terbalik dengan matanya yang mulai mengeluarkan bulir bening di kedua sudutnya. Haru menyelimuti hati gadis muda itu.

“Makasih dok. Maaf saya ngerepotin dokter terus. Saya janji kalau saya sudah dapat  uang saya akan ganti semuanya.” Suara Alya terdengar serak.

“Tidak usah difikirkan Saya hanya membantu sebisa saya dan itu saya lakukan pada semua pasien saya bukan cuma pada Nadine.”

Jawab Dokter Ridwan.

“Sekali lagi terima kasih ya dok. Dokter baik banget sama saya dan Nadine”

 “Gak perlu berterima kasih nak. Melihat kamu mengingatkan saya pada anak saya yang sekarang lagi kuliah di Australia. Dengan membantu kamu semoga saja anak saya disana juga akan ada yang membantu bila ia tertimpa masalah.”

“Saya gak tahu bagaimana lagi harus mengucapkan terima kasih dok. Sekali lagi terima kasih ya dok. Semoga Allah membalas semua kebaikan dokter.”

“Amiiiin” Jawab dokter Ridwan.

“Oh ya, satu lagi. Apa kamu sudah mulai bekerja lagi di warung makan.”

“Saya tidak kerja lagi disana dok. Saya dipecat karena sejak Nadine sakit saya sering gak masuk jadi ibu yang punya warteg sudah cari pegawai baru.”

Dokter Ridwan mengangguk - angguk.

“Bagaimana usaha kue kamu?”

Alya tersenyum miris.

“Saya gak ada modal lagi dok. Lagi pula rumah saya sudah di jual buat bayar hutang ke rentenir. Jadi belum bisa usaha apa-apa dulu.”

Lagi, dokter Ridwan mengangguk - angguk.

“Jadi sekarang kamu gak punya pekerjaan Al?”

Alya mengangguk lemah.

“Kamu harus punya pekerjaan Al. Bagaimana kamu menghidupi Ibu dan adik kamu bila kamu tak bekerja.”

Iya dok. Saya masih terus mencari.”

“Tadi pagi istri saya bilang kalau dia ada info lowongan kerja di salah satu rumah pasien saya, tapiiii... jadi asisten rumah tangga.”

Ujar dokter Ridwan ragu.

“Apa saja saya mau dok asal halal.”

“Oke. Kalau begitu saya catatkan alamatnya nanti sore kamu bisa kesana. Semoga saja masih ada”

Ujar Dokter Ridwan sambil menuliskan alamat di secarik kertas dan memberikannya kepada Alya.

“Ini alamatnya. Namanya ibu Rosita .”

Alya mengangguk senang.

“Terima kasih dok. Insya Allah nanti sore aya akan kesana.”

“Oke”

“Kalau gitu saya permisi dulu dok.”

“Silahkan.”

Alya beranjak dari tempat duduknya, mengangguk pada dokter Ridwan dan meninggalkan ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status