Share

4. BETAPA KECILNYA DUNIA

Ojek yang membawanya Alya berhenti di sebuah perumahan mewah di pusat kota Jakarta. Alya turun dan membayar ongkos ojek seraya mengucapkan terima kasih pada abang ojeknya. Perlahan gadis berambut panjang itu berjalan mendekati pagar, ooh bukan pagar...tepatnya pintu gerbang rumah mewah ini.

Jalan Kenari Nomor delapan belas, gadis itu mengeja alamat yang tertera di selembar kertas yang diberikan dokter Ridwan. Lalu mencocokkannya dengan alamat yang terpahat rapi di depan gerbang berwarna keemasan itu. Benar ini rumahnya. Bathin Alya. Lalu gadis itu memencet bel yang ada di depannya. Aah, untungnya satpam perumahan mewah ini mengajarkan Alya bagaiman menggunakan bel rumah di komplek mewah ini. Ini bukan bel sembarang bel. Bel praktis yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan satpam di dalam sana.

“Asalamuallaikum pak” Sapa Alya di depan bel.

“Waalaikumsalam. Mbak siapa ya?”

“Saya Alya pak. Saya calon asisten rumah tangga yang di rekomendasikan dokter Ridwan untuk Ibu Rosita.”

“Oh iya, sebentar ya mbak.”

Tak lama pintu gerbang terbuka.  Muncul seorang laki - laki berpakaian satpam, agak gendut dan berkumis dari dalam.

“Siang mbak. Mbak sudah ditunggu Ibu Rosita di dalam. Silahkan masuk.”

Alya mengangguk sambil tersenyum ke arah pak Satpam. Lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan si bapak.

Alya berdiri di depan pintu rumah mewah itu. Agak ragu ia masuk ke dalam karena ruang tamunya tampak sepi. Beberapa saat ia hanya terpaku di depan pintu. Lalu terdengar suara dari dalam.

“Ini mbak Alya ya?”

Seorang wanita setengah baya tampak muncul dari dalam rumah.

“Iya buk. Saya Alya.”

“Oooh, silahkan masuk mbak. Sebentar lagi oma keluar.”

Alya mengangguk seraya tersenyum pada wanita itu.

“Perkenalkan saya mbok Darmi. Kepala asisten rumah tangga disini. Nanti kalau seandainya mbak Alya diterima disini, kita akan sering berkomunikasi.”

Jelas wanita yang bernama Mbok Darmi itu.

Lagi lagi Alya hanya mengangguk.

“Nah, itu oma.”

Alya menoleh, Wanita berumur tujuh puluhan berjalan anggun di tangga. Tapi, hei bukankah itu si oma Rosie? Ujar Alya dalam hati. Teringat kejadian sebulan yang lalu.

Sebulan yang lalu

Pagi hari

Pagi itu sepulang dari mengambil cucian kotor di rumah pelanggan, seperti biasa Alya mampir ke pasar untuk membeli beberapa bahan kue. Toko bahan kue tak terlalu jauh masuk ke dalam pasar. Hanya masuk sekitar satu meter dari depan pasar dan belok kiri. Pagi itu toko bahan kue belum terlalu ramai sehingga Alya lebih leluasa memilih bahan - bahan yang akan dibelinya. Sekilas ia melirik ke catatan belanjanya. Ia perlu margarin, gula halus,baking powder, tepung roti, coklat butir dan keju. Segera ia menuju rak yang menyediakan bahan yang ia butuhkan. Toko bahan kue ini memang seperti mini market yang mengambil sendiri apa yang akan dibeli dan di bawa ke kasir yang ada di depan toko. Setelah semuanya sudah ia dapatkan, Alya menuju kasir dan membayar semua belanjaannya. Masih sisa dua puluh lima ribu. Lalu Alya keluar dari toko itu lalu menuju gerbang pasar untuk pulang tapi kemudian ia baru ingat harus membeli daun pandan untuk membuat Srikaya yang biasa ia jual di warung seberang jalan rumahnya. Setelah sadar ada belanjaan yang terlupakan. Alya mengurungkan langkah kakinya ke luar pasar melainkan berbelok ke sebelah kanan tempat tukang sayur yang juga menjual daun pandan. Baru saja Alya berbelok ke kana pasar tiba - tiba

“Toloooooonggggg...”

Alya menoleh ke sumber suara. Tampak seorang wanita tua sedang menjerit saat seorang laki - laki menarik sesuatu dari lehernya. Hanya sekian detik lalu sang laki - laki berlari menuju keluar pasar. Orang-orang ikut meneriaki laki-laki itu. Alya terpana dan baru tersadar beberapa detik setelah ia mendengar teriakan orang - orang di pasar

“Jambreeeet.... jambreeet”

Alya baru sadar kalau laki-laki itu jambret dan sekarang ia berlari ke arah Alya. Alya terdiam namun tak lama lalu

“Bugh... bugh”

Alya memukul perut jambret itu dengan belanjaannya. Sang jambret jatuh tersungkur, kalung di tangannya terlepas jatuh ke lantai pasar, Alya buru - buru memungutnya. Laki - laki bertubuh kurus itu bangkit dan mulai berlari lagi. Melewati Alya dan tiba - tiba ia menyodorkan sesuatu ke lengan Alya.

“Kreesshh”

Alya shock, beberapa detik ia hanya terpaku bahkan ketika laki - laki itu melewatinya dan berlari ke arah lorong sempit di sebelah pasar. Alya baru tersadar saat rasa perih terasa di lengannya. Matanya melirik, cairan merah kental membasahi baju biru muda yang ia kenakan. Melihat itu mata mengirim sinyal pada mulut sehingga menghasilkan kata “Arghh...” dari mulutnya.

Tak lama orang yang mengejar jambret tadi berkerumun mengelilingi Alya. Salah seorang dari mereka membuka rompi bajunya dan melilitkannya ke lengan Alya. Tapi darah terus keluar dan mebasahi rompi hijau itu.

“Cepat bawa ke rumah sakit”

Sebuah teriakan terdengar sayup-sayup di telinga Alya yang mulai hilang kesadarannya. Lalu suara terdengar riuh. Alya masih bisa merasakan beberapa tangan menggamit tubuhnya dan memopongnya. Hanya sampai disitu yang gadis itu rasakan setelahnya semua gelap.

Rumah sakit Darmasakti

Selang infus terlihat saat pertama kali Alya membuka mata. Bau obat-obatan menyeruak menyerang indera penciuman yang membuat mual tak terelakkan. Gadis itu mencoba mengingat apa yang terjadi.

Pasar dan penjambret itu lalu luka sayatan pisau di lenganya. Belum sempat Alya mengingat lebih jauh ada tangan halus yang mengelus kepalanya.

“Kamu sudah siuman nak?”

Alya menoleh ke sumber suara. Wanita berumur sekitar tujuh puluhan duduk di samping ranjangnya. Wajah yang masih terlihat cantik walau sudah banyak kerutan menghiasi wajahnya. Rambutnya yang bersanggul kecil dan mengenakan dress hijau tua tampak serasi dengan anting yang juga berwarna senada.

“Apa ada yang sakit nak?”

Wanita itu kembali bertanya padanya.

Gadis berumur sembilan belas tahun itu tak menjawab. Ia belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi. Dalam hati ia bertanya siapa wanita di hadapannya ini. Dia tak nampak seperti dokter yang biasanya mengenakan jas putih saat sedang menemui pasien.

“Arggghh...”

Perih kembali terasa di lengan Alya. Ia meringis kesakitan dan mengalihkan pandangan dari wanita itu ke luka di lengannya.

“Masih sakit?”

Lagi Alya tak menjawab karena sibuk menahan rasa perih di lengannya.

“Biar saya panggilkan dokter” Ujar wanita itu

Baru saja ia beranjak dari kursinya pintu kamar di buka. Tampak seorang laki - laki mengenakan pakain putih dengan stetoskop menggantung di lehernya.

“Pasien sudah sadar?”

“Iya dok, saya barusan mau memanggil dokter.”

Laki - laki itu mendekat dan tersenyum pada Alya.

“Apa lukanya masih terasa perih?”

“Iya dok, masih terasa perih.” Jawab Alya

“Apa lukanya serius dok?”

Tanya wanita di samping Alya.

“Memang lukanya kecil tapi cukup dalam. Mbak ini kehilangan banyak kehilangan darah. Tapi jangan khawatir, lukanya sudah kami jahit jadi tidak membahayakan lagi. Hanya masa pemulihan saja. Besok atau lusa saya yakin perihnya akan hilang.”

“Syukurlah kalau begitu dok. Semoga semuanya baik - baik saja.”

“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu ya buk, mbak.

“Iya dok, terima kasih.”

 Jawab wanita itu.

Sepeninggalan dokter, wanita itu menoleh ke arah Alya lalu teresenyum.

“Alhamdulillah lukanya tidak terlalu parah. Akan sembuh secepatnya, jangan khawatir ya nak.” Kata wanita itu sambil menyentuh punggung tangan Alya.

“Maaf, kalau saya boleh tau, oma siapa?”

“Oh iya, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Rosie. Kamu panggil saya oma Rosie. Saya pemilik kalung yang di jambret tadi pagi.”

Wanita itu menjelaskan.

“Oh, jadi oma yang kejambretan tadi pagi.”

“Iya,”

“Alhamdulillah oma tak apa - apa.”

“Alhamdulilah, oma selamat tapi malah kamu yang jadi celaka. Maafkan oma ya.”

“Gak papa oma, ini cuma luka kecil. Sebentar lagi sembuh kok.”

“Harus teteap di periksa ulang. Takutnya ada luka dalam. Nanti kita cek lagi ya.”

Gak usah oma, saya kan gak jatuh. Jadi insya Allah gak apa - apa.”

“Oke kalau begitu. Nama kamu siapa nak?”

Saya Alya oma, Alya Purnama.”

“Alya rumahnya dimana?”

“Jati bening oma.”

“Ooh, nanti oma anter pulang yaaa.”

“Gak usah repot - repot oma. Saya naik angkot aja.”

“Mana boleh seperti itu. Luka kamu kan masih sakit. Kalau kesenggol penumpang lain di angkot gimana? Pokoknya oma harus anter kamu. Supir oma lagi urus administrasi. Habis itu kita pulang oke?”

Alya hanya mengangguk.

Lalu oma membimbing Alya keluar dari kamar rumah sakit. Mereka menunggu di ruang tunggu rumah sakit. Tak lama seorang laki - laki berusia sekitar empat puluh tahunan yang Alya yakin supir oma menghampiri mereka berdua.

“Sudah selesai oma. Kita langsung pulang?”

“Kita antar Alya dulu ya pak Amri, rumahnya di jati bening.”

“Siap nyonya.”

Lalu mereka bertiga beriringan menuju keluar rumah sakit. Saat oma dan Alya menunggu Pak Amri mengambil mobil

“Omaaa...” Seseorang memanggil oma.

Alya dan oma serempak menoleh ke belakang. Tampak seorang laki-laki berumur sekitar dua puluh lima tahun setengah berlari menuju ke arah mereka.

“Omaaa...oma gak papa “

Raut khawatir terlihat jelas dari wajahnya.

“Oma gak papa Lang, dont worry”

 Jawab oma Rosi sambil menepuk pipi pemuda itu.

“Oma kan udah di bilangin jangan pergi ketempat tempat berbahaya kayak gitu. Emang semua mall d Jakarta sudah tutup ya oma, sampai oma mau nginjek itu pasar bau.”

Pemuda itu berbicara dengan sombongnya. Alya yang mendengarnya sedikit menaikkan alis. Melihat itu oma mengayunkan tangannya ke arah pinggang sang pemuda sombong, selang beberapa detik laki - laki itu mengaduh.

“Aduhh omaaa... ampun omaa...”

“Makanya jangan asal ngomong Lang. Kamu kan gak tau nikmatnya belanja di pasar tradisional.”

“Nikmat apaan oma? Nikmat baunya.”

Ujar laki - laki itu sambil melirik ke arah Alya dengan tatapan merendahkan.

“Ya kamu mana tahu nikmatnya. Dari orok mama sama papa kamu cuma ngajak ke tempat-tempat mewah.”

 Ujar oma.

“Lagian buat apa juga tahu tempat-tempat gak penting kayak gitu oma. Ngabisin waktu aja.” Jawabnya.

“Menikmati hidup itu gak harus ke tempat-tempat mewah Lang. Cuma itu lupa diajarkan oleh papa sama mama kamu. Sudah ah, pulang. Oma gak mau debat sama kamu.”

Ujar oma sambil berjalan menggendeng Alya menuju ke luar.

“Omaaa...”

Laki - laki itu mengikuti dan mulai menjajari langkah oma dan Alya.

Oma menoleh laki - laki itu memeluk oma erat sekali dan oma membalasnya. Mereka saling merangkul satu sama lain. Alya hanya diam menyaksikan itu semua.

Sekitar setengah menit mereka masih dengan posisi yang sama. Oma dan laki - laki itu berpelukan dan Alya memandang mereka dalam diam. Lalu si laki - laki mulai melonggarkan pelukannya tapi tangannya masih erat memegang bahu oma dan tak lama berpindah ke menangkup wajah oma dan membingkainya dengan kedua telapak tangan.

“Oma jangan kayak gitu lagi ya, jangan sendirian kalau kemana-mana. Oma tahu gak kalau jantung aku tuh hampir copot waktu dapat telepon dari Pak Amri kalau oma kejambretan dan di bawa ke rumah sakit. Oma tahu gak aku tuk kayak hilang nafas waktu pak Amri bilang kalau lengan oma keluar darah banyak banget sampe harus di jahit sekian jahitan. Aku takut banget oma. Takut oma kenapa - napa.”

 Ujarnya dengan suara bergetar.

“Oma gak papa Lang. Kamu jangan khawatir lagi. Oma ke rumah sakit untuk mengantarkan...Ooh iya, oma lupa ngenalin kamu sama Alya.”

 Seperti teringat sesuatu oma menoleh ke arah Alya, mengapit tangannya dan membawanya ke depan laki- laki muda itu.

“Lang, kenalin ini Alya, yang nolong waktu oma kejambretan tadi. Alya, ini Langit, cucu oma.”

Oma mengenalkan.

Alya yang disebut namanya mengulurkan tangan ke arah langit.

“Saya Alya... Alya Purnama.”

namun Langit seperti tak berniat membalas tangan Alya.

“Lang...” Suara oma seolah mengingatkan Langit.

Laki-laki itu berdehem.. Lalu dengan malas ia juga mengangsurkan tangannya

“Langit...Langit Marvelino Sastra Wijaya”

 Ujarnya sambil menjabat tangan Alya sekilas. Bukan menjabat, tepatnya hanya menempelkan kedua telapak tangan mereka lalu kembali menarik tangannya.

“Alya ini yang nolongin oma tadi. Kalau enggak mungkin kalung kesayangan oma sudah hilang di jambret. Waduh, oma gak bisa bayangin kalau sampai kalung itu hilang. Kalung itu kan turun temurun dari nenek buyut oma. Oma lebih baik kehilangan salah satu anak perusahaan kita daripada kehilangan kalung itu. Untung ada Alya. Kamu lihat Lang, tangan Alya sampai di jahit gara- gara kalung oma”Ujar oma.

“Untung oma gak apa - apa. Yuk kita pulang, oma butuh istirahat.”

Ujar Langit sambil mengendeng tangan oma. Tapi oma tak bergeming.

“Oma mau antar Alya dulu baru kita pulang ke rumah.”

“Oma ikut mobil Langit saja. Biar pak Amri yang nganter dia pulang.” Ujar Langit

“Kamu ini gimana, yang di tolongin Alya itu oma, bukan pak Amri. Jadi oma yang harus antar Alya pulang.”

“Ya udahlah oma. Terserah oma aja.”

Balas Langit akhirnya.

Baru beberapa langkah mereka berjalan menuju kearah mobil, handphone oma berbunyi.

“Waallaikumsalam. Oooh, ya ampun maaf saya lupa. Okee, saya langsung kesana.” Oma memutuskan sambungan telepon lalu menoleh ke arah Alya.

“Alyaa, oma lupa kalo ada janji sama dokter pagi ini. Kamu ikut oma dulu yaa ke rumah. Habis itu oma anterin kamu pulang.”

“Gak usah repot - repot oma, Alya bisa pulang sendiri. Lagipula luka di lengan Alya sudah gak sakit lagi oma. “

Oma diam dan mendekat pada Alya lalu tiba-tiba menyentuh lengan Alya. Reflek Alya menjerit kesakitan.

“Tuh, di sentuh dikit aja sudah kesakitan. Apalagi kalau nanti lengan kamu di senggol orang lain di angkutan umum. Sudah, pokoknya kamu nanti oma anter habis rapat.”

“Tapi omaa...Alya ada urusan penting”

Alya mencoba bernegosisai.

“Oh, gitu yaa...”

Oma berfikir sebentar, matanya melirik ke arah Langit lalu timbul ide.

“Ooh gini aja, gimana kalau Langit aja yang anter kamu.”

Langit yang disebut namanya mendelik.

“Lho, kok aku sih oma. Pak Amri aja kenapa sih.”

Oma mendekati langit lalu mengayunkan tangannya, memukul lengan laki - laki tinggi semampai itu.

“Yang cucu oma kamu apa pak Amri? Apa susahnya sih nganter doang.”

“Ngapain di anter sih oma, emang dia gak bisa pulang sendiri oma? Kan ada kaki?”

Ujar langit seenaknya sambil melirik Alya.

“Kamu ini gak sopan banget Lang, persis kayak mama kamu.”

“Lho, kok bawa - bawa mama sih oma?”

“Yaa, kamu kalau di suruh dikit juga gak mau.”

“Langit bener oma, Alya bisa pulang sendiri kok. Jangan ngerepotin. Mungkin langit ada urusan lain.”

Alya yang dari tadi cuma diam saja akhirnya buka suara.

“Nah, tu orangnya aja gak papa oma.”

“No Alya, pokoknya kamu pulang diantar sama langit.”

“Tapii oma...”

Langit masih mau membantah.

“Ya udah, kalau kamu gak mau oma gak mau minum obat.” Oma mengancam

“Mulaii deh oma...”

Ujar Langit mendengus

“Mau gak??”

 Oma berkata seraya melotot ke arah langit.

“Oke omaaa...okeeeeyy... apa sih yang enggak buat oma”

 Ujar Langit akhirnya.

“Oke, case closed yaa.”

Ujar oma seraya memukul pelan lengan cucu satu - satunya itu.

“Ya udah. Oma mau pergi dulu” Lalu oma menoleh ke arah Alya

“Al, oma duluan ya. Kamu diantar sama Langit. Kalau dia aneh-aneh kamu pukul aja.”

Ujar oma sambil mengedipkan matanya.

Alya tersenyum dipaksakan karena saat ia melirik ke Langit wajahnya sungguh tak enak di pandang.

Oma Rosie berjalan masuk ke mobil Alfard yang terpakir di depan rumah sakit dan berlalu dari hadapan Alya dan langit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status