Share

6. LANGIT DAN KEMARAHANNYA

  1. Langit dan kemarahannya

“Oooh, shit...shiiit!!!”

Berulang kali makian keluar dari mulut Langit sambil sesekali tangannya memukul stir mobil.

“Sial, kok bisa-bisanya gue dipermalukan sama perempuan miskin seperti dia! Dasar perempuan sialan! Loe lihat nanti, gue bakalan balas loe lebih kejam dari apa yang loe lakukan hari ini.”

Makinya tak berhenti.

Langit melirik jam yang ada di pergelangan tangannya.

 “Tuh, telatkan gueee... Aaaah, shiiit!!!”

Lalu laki laki berhidung mancung sempurna itu menambah kecepatan laju mobilnya menuju kantor.

Jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit saat mobil langit berhenti di depan lobi kantor. Segera langit turun dari mobil dan melemparkan kunci mobil ke satpam yang berjaga. Ia berjalan tergesa memasuki kantor. Beberapa pegawai menyapa yang di tanggapinya dengan senyum sekilas. Segera ia memencet angka tujuh setelah masuk ke dalam lift. Lift terbuka dan tergesa ia melangkahkan kakinya keluar dari kotak segi empat itu dan menuju ke ruang rapat di sebelah kanan.

Di depan ruangan Langit berhenti, sesaat ia merapikan rambut dan jas yang ia kenakan. Di bagian depan terlihat masih basah karena guyuran air dari Alya tadi. Sejenak kekesalan kembali menyeruak di hati laki - laki itu. Namun tak lama ia sudah bisa menguasai emosinya. Jangan sampai kejadian tadi pagi merusak moodnya pagi ini. Lalu ia mengetuk pintu beberapa kali dan masuk ke dalam. Semua mata tertuju pada laki -laki tinggi semampai itu. Seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan memandang Langit dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

“Selamat pagi pak Lang”

Laki-laki itu menyapa langit. Langit hanya mengangguk lalu menuju kursi rapatnya sedangkan laki-laki yang menyapanya tadi mengekornya dari belakang. Langit yang sudah berada di kursinya sekilas memandang orang-orang yang sudah duduk dengan rapi di hadapannya. Sambil membenarkan dasinya Langit berfikir tentang alasan apa yang akan ia berikan tentang keterlambatannya.

“Good afternoon ladies and gentlemen, I am so sorry for my late. I have something to do.”

Langit mulai membuka meeting hari ini dengan permintaan maafnya. Lalu Carla sang sekretaris mulai membacakan agenda bahasan hari ini. Dan rapat pun dimulai.

12.30 WIB

Langit sedang menyalami peserta rapat hari ini. Tampak kolega dari beberapa negara hadir pada rapat hari ini. Untungnya rapat berjalan lancar walau sempat terganggu karena keterlambatannya tadi tapi Langit bisa mengatasinya.

“Thank you for today Mr. Lang. I hope we can reach the success together.”

Laki-laki bertampang bule berkata sambil menyalami langit.

“Pleasure, nice to share many things to you Mr. Barack”

Langit membalas sambil tersenyum dan menggenggam tangan si bule lebih erat. Si bule yang di panggil Mr. Barack oleh Langit membalas senyuman Langit dengan tawa “sopan santun” nya.

Lalu sang bule meninggalkan ruang meeting yang sudah kosong karena ia tamu terakhir. Sekarang yang tersisa hanya Langit, Danie sang asisten dan Carla sang sekretaris.

Langit menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja. Benar- benar hari yang melelahkan untuknya. Tadi malam ia lelah karena mempersiapakan bahan meeting hari ini lalu tadi pagi ia dikagetkan dengan berita oma yang terluka dan yang terakhir bertemu perempuan gila yang berani menyiramkan sebotol air padanya. Argh, benar-benar melelahkan. Ada baiknya ia sedikit rileks. Menghirup nafas dalam-dalam, memberikan ruang agar udara bisa masuk leluasa pada paru-parunya.

“Maaf pak, hasil rapat hari ini sudah saya kirim ke email bapak.”

Langit yang tadi sudah tampak sedikit rileks tampak terganggu dengan sang sekretaris. Namu tak urung ia menjawab.

“Ehm, ok”

hanya jawaban pendek yang keluar dari mulut Langit.

“Ada lagi yang bapak perlukan?” tanya Carla.

“Untuk saat ini belum ada. Kamu boleh kembali ke ruangan.” jawab Langit.

“Baik, kalau begitu saya permisi ya pak. Selamat siang”

Langit hanya menggangguk sebagai jawaban untuk Carla. Lalu gadis itu mengangguk sebagai ijin untuk kembali ke ruangannya.

Segera setelah tubuh Carla hilang dibalik pintu. Danie, yang tadi hanya berdiri di dekat jendela ruangan meeting mendekati sahabat sekaligus atasannya itu.

“Loe gila ya Lang! Bisa-bisanya loe telat saat rapat sepenting ini.!”

Kata Danie sambil tetap berdiri di depan meja Langit.

Langit melirik sebentar ke arah sahabatnya itu. Lalu menjawab.

“Bukan salah gue. Ini ada urusan mendadak.” jawabnya.

“Urusan mendadak apa? Semalam loe clubbing? Pulang jam berapa loe sampai bisa telat? Loe bayangin gak kalau sampai oma Rosie tahu loe telat datang ke rapat sepenting ini. Bisa nyap-nyap dia Lang”

“Loe tenang aja. oma sudah tahu kok gue telat ke meeting.”

Jawab Langit santai, tak seperti biasanya.

“Oma sudah tahu? Beneran?”

intonasi tak percaya terdengar jelas di setiap kata yang keluar dari mulut Danie.

“Iya, oma tahu kok. Malahan oma yang jadi penyebab gue telat datang meeting”

“Hah, maksudnya gimana?”

“Maksudnya... gue telat juga gara-gara oma.”

Danie makin tak mengerti maksud dari ucapan atasannya itu.

“Maksudnya gimana? Lang, jelasin sama gue.”

Danie yang berdiri di depan Langit menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menghempaskan tubuhnya disana. Ia duduk dan memandang langit, menunggu penjelasannya dari bosnya itu.

Langit menoleh ke arah asistennya itu. Ia lalu berdiri, merentangkan tubuhnya seperti melepas rasa pegal pada ototnya. Laki-laki yang memiliki jambang halus disekitar rahangnya itu melirik ke benda yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengancingkan jas yang ia pakai.

“Gue jelasin nanti ya Dan. Sekarang gue buru-buru.”

Jawab Langit sambil membenarkan letak dasinya.

“Gak bisa sekarang jelasinnya”

Danie tak terima Langit meninggalkannya dalam keadaan bingung.

“ nanti deh. Sekarang gue mau pergi dulu.”

ujar Langit sambil melangkah menuju pintu keluar.

“Mau kemana Lang?” tanya Danie.

Langit menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arah Danie.

“Mau ketemu sama yang seger-seger dulu”

Ujar Langit sambil mengedipkan matanya pada sang sahabat.

“Mau ketemu Stevie?” tanya Danie lagi.

“Sudah putus dua hari yang lalu” jawab Langit santai.

“Tasya?” lagi Danie bertanya.

“Sudah mati” Langit menjawab santai.

“Fenita?” Rupanya Danie masih saja penasaran dengan siapa bosnya itu akan bertemu.

“Gak kenal” kembali Langit menjawab dengan singkat.

Sejenak Danie berfikir, mengingat beberapa perempuan yang sempat dekat dengan bosnya itu.

“Yang baru lagi Lang?” tanya Danie akhirnya.

“Exactly right” jawab langit sambil mengacungkan telunjuknya pada Danie.

“Aduh Lang, perempuan mana lagi?” Ujar Danie sambil geleng-geleng kepala.

“dua hari yang lalu ketemu di parkiran club. Sebenarnya sih gak baru-baru banget. Dia teman gue waktu kuliah di America dulu.”

“Teman...apa temaaaan??”

 sindir Danie yang sudah tahu track record karibnya itu.

“Loe tahu aja Dan”Langit tergelak sedangkan Danie melengos.

“Sudah deh Lang. Kita harus fokus sama banyak hal bulan ini. Kamu stop dulu dong jalan sama perempuan perempuan gak penting.”

 Danie terlihat sewot.

“Emang gak penting sih tapiii...” Langit tak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi....” Danie membeo.

“Tapi... enak”

 Dengan tampak berdosa Langit menjawab pertanyaan sang sahabat yag sudah bisa di pastikan dibalas dengan pelototan Danie.

“Enak, emang loe pernah coba”

Pertanyaan sinting yang harusnya tak perlu keluar dari mulut Danie.

“Pernah dong, kan sudah gue bilang kalau tu cewek teman kuliah gue waktu di amerika.

Danie yang sudah mengenal Langit luar dalam tampak tetap terlihat kaget dengan jawaban Langit.

“Waduh, loe gilanya emang dari dulu ya Lang.”

Ujarnya sambil geleng-geleng kepala.

“Sebenernya gue lupa seberapa enak tu cewek... makanya gue mau coba lagi. Biar bisa review jujur sama loe”  

Langit tak memperdulikan kata makian yang keluar dari mulut Danie. Ia malah sibuk melanjutkan ceritanya sambil mengedipkan mata pada sahabatnya itu.

Lagi, Danie dibuat geleng-geleng kepala dengan jawaban vulgar sahabatnya itu.

“Loe kapan tobat sih Lang?”

 Pertanyaan yang selalu Danie sebutkan bila Langit mulai membuatnya kesal.

“Nanti, saat gue ketemu perempuan yang tepat buat jadi istri, seperti loe yang sudah bertemu Vina.”

“Memangnya dari puluhan perempuan yang selama ini loe temui gak ada satupun yang “tepat” buat dijadikan istri?”

Danie bertanya lagi.

Danie sengaja menekankan kata puluhan dan tepat agar Langit paham kalimat yang ia sebutkan lebih berupa sindiran dari pada pertanyaan.

“Kayaknya belum ada.” Ujar Langit sambil melangkahkan kakinya ke arah pintu ruangan.

“Lang...”

Danie memanggil sahabatnya itu. Langit yang tangannya sudah menggapai gagang pintu ruang meeting mengurungkan diri. Ia berhenti melangkah.

“Lang, gue tahu loe kecewa luar biasa atas apa yang terjadi, tapi please Lang. Cobalah serius cari pengganti. Berhentilah bermain- main dengan perempuan-perempuan tak penting di luar sana.”

Pelan tapi cukup jelas untuk di dengar Langit.

Langit mematung beberapa saat di depan pintu. Tak lama ia kembali mengulurkan tangan dan mebuka pintu ruangan.

“Gue pergi dulu ya Dan, Mungkin hari ini gak balik lagi kekantor. See you tomorrow” Ujar langit sambil membuka pintu, melangkahkan kaki keluar ruang meeting meninggalkan Danie senidri.

Danie termangu sendiri di ruang meeting. Selalu seperti itu. Langit tak pernah mau membahas masalah itu. Entah bagaimana cara Danie membuatnya berubah fikiran. Kejadian itu memang menorehkan rasa marah dan kecewa dalam hati sahabat karibnya itu. Sehingga ia melampiaskannya dengan banyak perempuan di luar sana.

‘Semoga ini gak akan lama Lang. Gue yakin loe bakal berubah. Seperti kata loe. Loe akan berubah saat loe sudah menemukan wanita yang tepat untuk menggantikannya di hati loe. Gue harap saat itu akan segera tiba Lang, semoga’

Bisik hati Danie dengan tulus mendoakan sahabatnya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status