“Oooh, shit...shiiit!!!”
Berulang kali makian keluar dari mulut Langit sambil sesekali tangannya memukul stir mobil.
“Sial, kok bisa-bisanya gue dipermalukan sama perempuan miskin seperti dia! Dasar perempuan sialan! Loe lihat nanti, gue bakalan balas loe lebih kejam dari apa yang loe lakukan hari ini.”
Makinya tak berhenti.
Langit melirik jam yang ada di pergelangan tangannya.
“Tuh, telatkan gueee... Aaaah, shiiit!!!”
Lalu laki laki berhidung mancung sempurna itu menambah kecepatan laju mobilnya menuju kantor.
Jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit saat mobil langit berhenti di depan lobi kantor. Segera langit turun dari mobil dan melemparkan kunci mobil ke satpam yang berjaga. Ia berjalan tergesa memasuki kantor. Beberapa pegawai menyapa yang di tanggapinya dengan senyum sekilas. Segera ia memencet angka tujuh setelah masuk ke dalam lift. Lift terbuka dan tergesa ia melangkahkan kakinya keluar dari kotak segi empat itu dan menuju ke ruang rapat di sebelah kanan.
Di depan ruangan Langit berhenti, sesaat ia merapikan rambut dan jas yang ia kenakan. Di bagian depan terlihat masih basah karena guyuran air dari Alya tadi. Sejenak kekesalan kembali menyeruak di hati laki - laki itu. Namun tak lama ia sudah bisa menguasai emosinya. Jangan sampai kejadian tadi pagi merusak moodnya pagi ini. Lalu ia mengetuk pintu beberapa kali dan masuk ke dalam. Semua mata tertuju pada laki -laki tinggi semampai itu. Seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan memandang Langit dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
“Selamat pagi pak Lang”
Laki-laki itu menyapa langit. Langit hanya mengangguk lalu menuju kursi rapatnya sedangkan laki-laki yang menyapanya tadi mengekornya dari belakang. Langit yang sudah berada di kursinya sekilas memandang orang-orang yang sudah duduk dengan rapi di hadapannya. Sambil membenarkan dasinya Langit berfikir tentang alasan apa yang akan ia berikan tentang keterlambatannya.
“Good afternoon ladies and gentlemen, I am so sorry for my late. I have something to do.”
Langit mulai membuka meeting hari ini dengan permintaan maafnya. Lalu Carla sang sekretaris mulai membacakan agenda bahasan hari ini. Dan rapat pun dimulai.
12.30 WIB
Langit sedang menyalami peserta rapat hari ini. Tampak kolega dari beberapa negara hadir pada rapat hari ini. Untungnya rapat berjalan lancar walau sempat terganggu karena keterlambatannya tadi tapi Langit bisa mengatasinya.
“Thank you for today Mr. Lang. I hope we can reach the success together.”
Laki-laki bertampang bule berkata sambil menyalami langit.
“Pleasure, nice to share many things to you Mr. Barack”
Langit membalas sambil tersenyum dan menggenggam tangan si bule lebih erat. Si bule yang di panggil Mr. Barack oleh Langit membalas senyuman Langit dengan tawa “sopan santun” nya.
Lalu sang bule meninggalkan ruang meeting yang sudah kosong karena ia tamu terakhir. Sekarang yang tersisa hanya Langit, Danie sang asisten dan Carla sang sekretaris.
Langit menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja. Benar- benar hari yang melelahkan untuknya. Tadi malam ia lelah karena mempersiapakan bahan meeting hari ini lalu tadi pagi ia dikagetkan dengan berita oma yang terluka dan yang terakhir bertemu perempuan gila yang berani menyiramkan sebotol air padanya. Argh, benar-benar melelahkan. Ada baiknya ia sedikit rileks. Menghirup nafas dalam-dalam, memberikan ruang agar udara bisa masuk leluasa pada paru-parunya.
“Maaf pak, hasil rapat hari ini sudah saya kirim ke email bapak.”
Langit yang tadi sudah tampak sedikit rileks tampak terganggu dengan sang sekretaris. Namu tak urung ia menjawab.
“Ehm, ok”
hanya jawaban pendek yang keluar dari mulut Langit.
“Ada lagi yang bapak perlukan?” tanya Carla.
“Untuk saat ini belum ada. Kamu boleh kembali ke ruangan.” jawab Langit.
“Baik, kalau begitu saya permisi ya pak. Selamat siang”
Langit hanya menggangguk sebagai jawaban untuk Carla. Lalu gadis itu mengangguk sebagai ijin untuk kembali ke ruangannya.
Segera setelah tubuh Carla hilang dibalik pintu. Danie, yang tadi hanya berdiri di dekat jendela ruangan meeting mendekati sahabat sekaligus atasannya itu.
“Loe gila ya Lang! Bisa-bisanya loe telat saat rapat sepenting ini.!”
Kata Danie sambil tetap berdiri di depan meja Langit.
Langit melirik sebentar ke arah sahabatnya itu. Lalu menjawab.
“Bukan salah gue. Ini ada urusan mendadak.” jawabnya.
“Urusan mendadak apa? Semalam loe clubbing? Pulang jam berapa loe sampai bisa telat? Loe bayangin gak kalau sampai oma Rosie tahu loe telat datang ke rapat sepenting ini. Bisa nyap-nyap dia Lang”
“Loe tenang aja. oma sudah tahu kok gue telat ke meeting.”
Jawab Langit santai, tak seperti biasanya.
“Oma sudah tahu? Beneran?”
intonasi tak percaya terdengar jelas di setiap kata yang keluar dari mulut Danie.
“Iya, oma tahu kok. Malahan oma yang jadi penyebab gue telat datang meeting”
“Hah, maksudnya gimana?”
“Maksudnya... gue telat juga gara-gara oma.”
Danie makin tak mengerti maksud dari ucapan atasannya itu.
“Maksudnya gimana? Lang, jelasin sama gue.”
Danie yang berdiri di depan Langit menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menghempaskan tubuhnya disana. Ia duduk dan memandang langit, menunggu penjelasannya dari bosnya itu.
Langit menoleh ke arah asistennya itu. Ia lalu berdiri, merentangkan tubuhnya seperti melepas rasa pegal pada ototnya. Laki-laki yang memiliki jambang halus disekitar rahangnya itu melirik ke benda yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengancingkan jas yang ia pakai.
“Gue jelasin nanti ya Dan. Sekarang gue buru-buru.”
Jawab Langit sambil membenarkan letak dasinya.
“Gak bisa sekarang jelasinnya”
Danie tak terima Langit meninggalkannya dalam keadaan bingung.
“ nanti deh. Sekarang gue mau pergi dulu.”
ujar Langit sambil melangkah menuju pintu keluar.
“Mau kemana Lang?” tanya Danie.
Langit menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arah Danie.
“Mau ketemu sama yang seger-seger dulu”
Ujar Langit sambil mengedipkan matanya pada sang sahabat.
“Mau ketemu Stevie?” tanya Danie lagi.
“Sudah putus dua hari yang lalu” jawab Langit santai.
“Tasya?” lagi Danie bertanya.
“Sudah mati” Langit menjawab santai.
“Fenita?” Rupanya Danie masih saja penasaran dengan siapa bosnya itu akan bertemu.
“Gak kenal” kembali Langit menjawab dengan singkat.
Sejenak Danie berfikir, mengingat beberapa perempuan yang sempat dekat dengan bosnya itu.
“Yang baru lagi Lang?” tanya Danie akhirnya.
“Exactly right” jawab langit sambil mengacungkan telunjuknya pada Danie.
“Aduh Lang, perempuan mana lagi?” Ujar Danie sambil geleng-geleng kepala.
“dua hari yang lalu ketemu di parkiran club. Sebenarnya sih gak baru-baru banget. Dia teman gue waktu kuliah di America dulu.”
“Teman...apa temaaaan??”
sindir Danie yang sudah tahu track record karibnya itu.
“Loe tahu aja Dan”Langit tergelak sedangkan Danie melengos.
“Sudah deh Lang. Kita harus fokus sama banyak hal bulan ini. Kamu stop dulu dong jalan sama perempuan perempuan gak penting.”
Danie terlihat sewot.
“Emang gak penting sih tapiii...” Langit tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi....” Danie membeo.
“Tapi... enak”
Dengan tampak berdosa Langit menjawab pertanyaan sang sahabat yag sudah bisa di pastikan dibalas dengan pelototan Danie.
“Enak, emang loe pernah coba”
Pertanyaan sinting yang harusnya tak perlu keluar dari mulut Danie.
“Pernah dong, kan sudah gue bilang kalau tu cewek teman kuliah gue waktu di amerika.
Danie yang sudah mengenal Langit luar dalam tampak tetap terlihat kaget dengan jawaban Langit.
“Waduh, loe gilanya emang dari dulu ya Lang.”
Ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
“Sebenernya gue lupa seberapa enak tu cewek... makanya gue mau coba lagi. Biar bisa review jujur sama loe”
Langit tak memperdulikan kata makian yang keluar dari mulut Danie. Ia malah sibuk melanjutkan ceritanya sambil mengedipkan mata pada sahabatnya itu.
Lagi, Danie dibuat geleng-geleng kepala dengan jawaban vulgar sahabatnya itu.
“Loe kapan tobat sih Lang?”
Pertanyaan yang selalu Danie sebutkan bila Langit mulai membuatnya kesal.
“Nanti, saat gue ketemu perempuan yang tepat buat jadi istri, seperti loe yang sudah bertemu Vina.”
“Memangnya dari puluhan perempuan yang selama ini loe temui gak ada satupun yang “tepat” buat dijadikan istri?”
Danie bertanya lagi.
Danie sengaja menekankan kata puluhan dan tepat agar Langit paham kalimat yang ia sebutkan lebih berupa sindiran dari pada pertanyaan.
“Kayaknya belum ada.” Ujar Langit sambil melangkahkan kakinya ke arah pintu ruangan.
“Lang...”
Danie memanggil sahabatnya itu. Langit yang tangannya sudah menggapai gagang pintu ruang meeting mengurungkan diri. Ia berhenti melangkah.
“Lang, gue tahu loe kecewa luar biasa atas apa yang terjadi, tapi please Lang. Cobalah serius cari pengganti. Berhentilah bermain- main dengan perempuan-perempuan tak penting di luar sana.”
Pelan tapi cukup jelas untuk di dengar Langit.
Langit mematung beberapa saat di depan pintu. Tak lama ia kembali mengulurkan tangan dan mebuka pintu ruangan.
“Gue pergi dulu ya Dan, Mungkin hari ini gak balik lagi kekantor. See you tomorrow” Ujar langit sambil membuka pintu, melangkahkan kaki keluar ruang meeting meninggalkan Danie senidri.
Danie termangu sendiri di ruang meeting. Selalu seperti itu. Langit tak pernah mau membahas masalah itu. Entah bagaimana cara Danie membuatnya berubah fikiran. Kejadian itu memang menorehkan rasa marah dan kecewa dalam hati sahabat karibnya itu. Sehingga ia melampiaskannya dengan banyak perempuan di luar sana.
‘Semoga ini gak akan lama Lang. Gue yakin loe bakal berubah. Seperti kata loe. Loe akan berubah saat loe sudah menemukan wanita yang tepat untuk menggantikannya di hati loe. Gue harap saat itu akan segera tiba Lang, semoga’
Bisik hati Danie dengan tulus mendoakan sahabatnya itu.
7. Shocking NewsAngkot berhenti tepat di seberang lorong tempat tinggal Alya. Gadis berambut panjang itu turun dan segera menyeberang menuju lorong rumahnya. Ditelusurinya lorong itu sekitar lima belas menit lalu sampailah ia di sebuah rumah sedehana, kalau tak mau dikatakan jelek. Rumah usang yang seperti sudah lama tak di perbaiki. Bagian depan terlihat pintu rumah yang sudah soak disana sini. Dan ada sebuah kursi yang tak kalah usangnya dengan daun pintu rumahnya.Gadis itu menggapai gagang pintu dan mendorongnya. Terkunci, Apa ibu belum pulang kerja ya? Alya melirik benda di pergellangan tangannya. Sudah jam satu. Biasanya jam sebelas ibu sudha di rumah. Karena hanya ibu hanya mengantarkan cucian yang dekat-dekat sini. Kalau yang agak jauh Alya lah yang mengantarkannya. Lalu Nadine kemana? Biasanya jam setengah satu ia sudah sampai di rumah. Alya risau. Ia mindar mandir di depan pintu rumah. “Al...”Suar
Menghadapi kenyataan yang menyakitkanSepeninggalan kedua guru Nadine, Alya mengajak bu Kartika untuk kembali duduk di sebelah ranjang Nadine. Ada raut khawatir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sama yaitu tentang hasil pemeriksaan Nadine.“Semoga Nadine cepat sembuh ya Al. Ibu gak tega lihat Nadine seperti ini. Ibu takut Nadine kenapa kenapa.”Ujar bu Kartika dengan suara serak.“Alya yakin Nadine bisa segera sembuh buk Tenang saja.. Yang penting sekarang kita berdoa. Memohon pada Allah untuk kesehatan Nadine.”Jawab Alya. Gadis itu berushaa menenangkan sang ibu.Bu Kartika menggenggam tangan Alya yang diikuti oleh Alya yang juga menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling berpandangan namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya saling memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Lalu keduanya larut dalam
Alya, You are not aloneAlya berjalan pelan menelusuri bangsal rumah sakit dengan langkah gotai. Fikirannya masih tertuju pada kata-kata dokter Ridwan.‘Delapan juta! Nominal yang tidak sedikit untuk orang seperti Alya. Bagaimana ia bisa mendapatkannya dalam waktu yang singkat?’Di depan Alya tampak kursi tunggu pasien. Gadis itu berjalan mendekati kursi dan duduk di salah satu kursinya. Mungkin ada baiknya ia menenangkan diri dulu. Fikirannya yang kalut tentu akan memberikan efek yang tidak baik pada ibunya nanti. Sebaiknya ia menenangkan diri dulu sebelum menyampaikan kondisi kesehatan Nadine pada ibu agar ibu tidak ikut-ikutan panik.‘Pletaak’Bunyi benda jatuh di belakang Alya. Gadis sembilan belas tahun itu menoleh. Tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya berusaha meraba-raba tongkat yang jatuh tapi tak berhasil
Langkah kaki Alya sampai di depan pintu ruangan Nadine. Gadis manis itu sejenak menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lalu tangannya meraih gagang pintu menuju ranjang Nadine.Disana sang ibu sedang duduk dengan raut wajah khawatir. Rasa sedih kembali menyeruak di hati Alya.‘ Bagaimana perasaan ibu kalau aku ceritakan tentang keadaan dan biaya pemeriksaan Nadine’Alya berkata dalam hati.“Nadine belum siuman buk?” Kata Alya.Bu Kartika yang tak menyadari kedatangan anak sulungnya itu menoleh ke arah Alya dan segera ia menghapus air mata di kedua pipinya agar Alya tak melihatnya.“Eh, iya Al, Nadine belum siuman. Kata susternya mungkin sebentar lagi.”Jawab ibu dengan senyum dipaksakan.Alya tersenyum untuk menutupi gundah hatinya. Ia menarik kursi yang ada di sebelah sang ibu dan menghempaska
Alya baru saja menyelesaikan sholat magribnya saat pintu rumah diketuk dari luar. Gadi muda itu bergegas membuka mukena, melipatnya asal-asalan dan segera menuju pintu. “Assalamualaikum” Ujar seseorang dari luar sana dan sepertinya Alya mengenal suara itu. “Waalaikumussalam” balas Alya sambil membuka kunci pintu dan membukanya. Tampak dihadapannya bu Santi tetangganya sedang berdiri mengenakan baju daster warna merah dan sebuah mangkuk di tangannya. “Iya buk” Kata Alya sambil mempersilahkan tetangga sebelah rumahnya itu masuk. “Habis sholat ya Al” sapa bu Santi seraya masuk ke dalam rumah dan duduk di sebuah kursi usang yang ada disana. “Iya buk, abis sholat magrib tadi” jawab Alya. “Oh iya, tadi ibu dengar ada suara air hidup di belakang, ibu fikir kamu sudah pulang. Alya mengangguk sambil tersenyum. “Ini Al” kata
Jam di tangan Alya menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit saat motor yang dikendarai bu Santi berhenti di sebuah rumah mewah yang ada di komplek sebelah. Alya melepaskan helm lalu turun dari motor sedangkan bu Santi juga melepaskan helm hijau dari kepalanya lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan secarik kertas dari sana.“ Kayaknya bener ini rumahnya Al.”Ujar bu Santi dengan mata yang masih memandang ke secarik kertas yang di pegangnya.Alya agak mendekat ke bu Santi yang belum turun dri motornya lalu melihat alamat yang tertulis di secarik kertas yang di pegang bu Santi.‘komplek kenanga blok sembilan nomor 35.’Alya membaca dalam hati alamat di kertas yang dipegang bu Santi.“Iya bu, sesuai dengan alamat yang diberikan wak Kalsum”Kata Alya mengiyakan perkataan bu Santi.Bu santi mengangguk lalu turun dari motornya da
13. “Syaratnya apa tante?” Alya tak sabar mendengar lanjutan kalimat tante Altum. Teringat olehnya Nadine yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dan wajah tua ibu yang pastinya menunggu kabar baik darinya. “Syaratnya gampang kok. Gampang dan enak” Sekali lagi tante Altum menampakkan senyum culasnya pada kedua perempuan dihadapannya ini. Alya dan bu Santi salin berpandangan saat mendengar apa yang dikatakan tante Altum. “Loe boleh pinjem sama gue berapapun yang loe mau asalkan loe mau kerja sama gue” Ujar tante Altum sambil memandang Alya dengan intens. “Kerja? Kerja apa tante ?” tanya Alya sedangkan raut wajah bu Santi yang ada di samping Alya sudah menampakkan perubahan karena ia mengerti pekerjaan apa yang akan ditawarkan tante Altum kepada gadis muda seperti Alya. “Kerja di cafe gue yang baru. Minggu
14.Hari masih pagi saat Alya turun dari angkot yang membawanya ke rumah sakit tempat dimana Nadine dirawat. Ia memberikan beberapa lembar ribuan kepada supir sebagai ongkos perjalanan. Gadis itu memandang bagian depan rumah sakit yang di cat warna putih tulang. Perlahan ia melangkahkan kakinya memasuki gerbang rumah sakit. Beberapa mobil dan motor terlihat masuk dan keluar parkiran rumah sakit. Beberapa orang juga tampak berjalan keluar masuk pada pintu yang telah disediakan. Rata-rata mereka menunjukkan wajah sedih, mungkin mereka memikirkan keluarga mereka yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Sama seperti Alya yang bingung dengan biaya pemeriksaan lanjutan Nadine. Kalau banyak orang bilang sangat sulit menemukan wajah bahagia di rumah sakit, mungkin kalimat itu benar adanya. Memang nyatanya hanya wajah sedih dan tegang yang kita temui di rumah sakit. Hampir tak bisa menemukan raut bahagia di rumah sakit kecuali rumah sakit persalinan yang mungkin awal masuk akan menunju