Televisi menayangkan rekaman langsung dari lokasi kejadian. Sorot lampu-lampu mobil polisi dan ambulans memantul di udara malam. Kamera beralih ke jurang yang gelap, di mana bangkai mobil berwarna hitam itu sudah tak lagi menyerupai kendaraan. Ringsek, terlipat, seolah logamnya diremukkan oleh tangan raksasa.Suara reporter terdengar saling bersahutan demi mendapat bahan untuk media mereka sendiri. Tentu tetap dibalut empati, tapi tetap sarat sensasi.“Tim evakuasi berhasil mengangkat mobil dari dasar jurang. Diduga, korban mengendarai dalam kondisi mabuk hingga menabrak pembatas jembatan. Terbukti, botol minuman beralkohol ditemukan di dalam mobil.”Layar menampilkan close-up pecahan kaca yang berserakan. Jelas sekali kalau kursi pengemudi seperti hampir terbelah dengan bercak darah samar di area dashboard. Botol-botol kosong pun tampak berguling di antara kabel dan puing logam yang sudah sobek.Nayla terpaku. Tangannya mengepal. Jantungnya berdegup tak beraturan. Bukan hanya karena
Malam itu, Andy duduk di dalam mobil yang terparkir beberapa puluh meter dari jembatan yang disebut-sebut adalah yang tertinggi di Bali. Mesin tidak dinyalakan, hanya suara detak jam di pergelangan tangannya yang terdengar begitu jelas. Dia bukan sekadar menunggu, dia menghitung. Setiap detik adalah bagian dari rencana yang sudah digambar Damian dengan penuh perhitungan. Nathan tahu bahwa malam ini hidupnya akan berakhir. Bagi dunia luar, itu akan tampak sebagai kecelakaan tragis. Namun, sebenarnya kecelakaan hanyalah kata manis untuk menutupi sebuah eksekusi. “Ayo, Nathan. Aku sudah tidak sabar melihat sebuah pertunjukan,” monolog Andy seorang diri. Dari kejauhan, sorot lampu mobil Nathan pun akhirnya terlihat. Garis kuning dari lampunya tampak memanjang pada aspal yang sedikit lembap. Hujan sore tadi meninggalkan kilau tipis, cukup untuk membuat dunia seperti terbentang dua kali lipat. Pagar baja di sisi utara jembatan terlihat biasa saja bagi orang yang melintas. Catnya halu
Waktu seakan berhenti.Begitu televisi kembali dinyalakan, berita yang sama mulai bermunculan. Suara televisi yang biasanya hanya riuh bising, kini terdengar seperti gema jauh. Layar menyala terang, menayangkan huruf tebal: BERITA DUKA DARI DUNIA PERFILMAN INDONESIA. Di bawahnya, foto Nathan terpampang.Potret lama pria itu disematkan pada thumbnail pembuka. Senyum menawan itu, senyum yang tadi sempat mereka lihat dalam pemberitaan lain, kini membingkai berita dengan kabat yang sama sekali lain.Nayla membeku. Pizza yang masih hangat di tangannya terlepas, jatuh kembali ke piring dengan bunyi lembut. Suara dari layar kaca menggema ke dadanya, menimbulkan gelombang perih yang tak mampu dibendung.Jantungnya seperti diremas dari dalam. Bukan karena kehilangan pria yang harus dia ratapi, tapi karena ada keterkejutan yang terlalu besar untuk dicerna. Nathan, pria yang pernah menjadi suaminya, pria yang pernah dia cintai, pria yang telah menghancurkan, pria yang beberapa jam lalu masih dia
Pintu rumah terbuka tanpa aba-aba. Damian berdiri di ambang. Setelan hitamnya tampak kontras dengan kotak pizza yang dia jinjing santai di tangan.“Pintu tidak terkunci. Jadi kupikir siapa pun bisa masuk tanpa perlu menunggu tuan rumah membukakan,” ucap Damian ringan.Damian melangkah masuk tanpa ragu, seolah rumah itu memang dibangun untuknya. Melihatnya, Nayla menahan napas. Adrian sudah mulai seenaknya keluar masuk ke rumah ini. Dan kini, Damian juga seperti mulai menodai keinginan Nayla untuk membuat bangunan ini tetap steril.Sebaliknya, Carina justru malah menyambut Damian dengan tawa. “Pizza? Finally someone brought food. Nayla, kamu terlalu sering lupa makan.”Nayla memutar bola matanya. Jujur, dia ini menegur Damian. Dia masih seorang wanita yang tidak suka rumahnya didatangi tanpa izin, dan tanpa terlebih dahulu membuat janji. Namun, melihat bagaimana Damian tersenyum, suaranya tercekat di tenggorokan. Lemah. Sumpah, hatinya terlalu lemah.Ada getar samar yang masih melekat
Nathan kembali dibicarakan publik. Beberapa foto disusul dengan video semakin banyak beredar, meski hanya lewat bidikan kamera wartawan yang haus sensasi. Garis wajahnya tetap tegas. Tatapannya masih menawan, seakan ingin meyakinkan dunia bahwa tak ada yang berubah. Bahwa dia masih Nathan yang dulu dielu-elukan.Media sosial meledak. Ada yang mencibir, mengejek, dan masih terus membahas skandal yang belum terlupakan. Namun, di sisi lain, tak sedikit juga komentar yang tetap mengakui kalau ketampanannya masih memikat.Dunia maya harus mengakui kalau parasnya tanpa cela. Tak ada yang tahu kalau sebenarnya ujung bibir dan pelipisnya terusap make-up demi bisa menutupi bekas memar dan luka.“Tidak ada yang tidak membicarakan dia,” ucap Carina sambil menggulirkan ibu jari pada layar ponselnya.“Biar saja,” balas Naya. “Aku tidak peduli. Dia bukan siapa-siapaku lagi.”Suara Nayla terdengar mantap, seolah benar-benar sudah menutup pintu. Jujur saja, jantungnya sempat berdenyut sedikit lebih c
Pelukan itu seperti masih tertinggal. Di kulit, di tulang, pun di sela-sela napas. Aroma tubuh Damian masih melekat samar di bantal, di lipatan selimut, dan yang lebih terasa adalah di lehernya sendiri.“Damian.”Nayla mencoba memanggil pemilik nama itu. Barangkali dia ada di kamar mandi atau ruang ganti. Namun, tak ada sahutan.Nayla bangkit perlahan. Kimononya setengah terbuka, rambutnya berantakan, dan tubuhnya masih lemas. Namun, langkahnya tetap terayun.Kedua rungu menangkap suara dari arah dapur. Bukan langkah kaki, tapi denting kecil dari suara cangkir. Nayla berbelok, menarik napas, hampir refleks meluncurkan nama yang sama. Sudah diujung lidah, tapi untungnya sederet abjad berhasil Nayla telan dengan cepat. Tidak sampai terlambat.“Carina.”Carina mendongak. “Hai, morning.”Wanita itu sedang menuang air panas ke dalam mug. Rambutnya digelung, wajahnya masih tanpa riasan. Ekspresinya tenang, tapi justru Nayla yang kini tidak bisa tenang.Tubuh Nayla membeku dengan wajah pucat