MasukPara pelayan keheranan hanya menemukan satu tas lusuh di bagasi. Mereka bahkan mengecek kursi depan dan belakang, namun tetap tidak menemukan apa pun.
Hanya ada keheningan di sekitar mereka yang mengiringi tatapan-tatapan bingung yang saling bertukar. Meski begitu, tak ada yang berani melontarkan pertanyaan. Semuanya memilih diam, seolah menelan rasa penasaran mereka sendiri.
Lucas keluar lebih dulu tanpa sepatah kata pun, melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Sophie sendirian berdiri di bawah tatapan penuh tanda tanya.
Sophie menggenggam tangannya sendiri, merasa tubuhnya mengecil di tengah bangunan megah yang menjulang di depannya. Rumah ini jauh lebih besar, lebih mewah, dibandingkan rumah keluarganya yang kerap disebut orang lain sebagai istana kecil.
Namun entah mengapa, kemewahan ini hanya membuatnya merasa tertekan. Tidak ada yang menyambutnya, tidak ada yang memperkenalkan rumah yang katanya kini menjadi miliknya. Ia bahkan tidak tahu harus melangkah ke mana.
Begitu Sophie menyadari bahwa melihat punggung Lucas sudah semakin menjauh, Sophie langsung mengikutinya dengan terburu-buru. Rasa takut ditinggalkan di tempat yang masih asing mengusai dirinya.
“Hei!” Sophie mencoba berteriak, berharap Lucas akan berhenti untuknya. “Tunggu!”
Namun langkah pria itu panjang dan cepat, sama sekali tidak menunggu dirinya. Sophie sampai harus setengah berlari agar tidak tertinggal, nafasnya mulai memburu ketika akhirnya mereka tiba di dalam rumah.
Lucas membuka sebuah pintu di lantai satu, lalu menutupnya tepat di depan wajah Sophie. Tanpa penjelasan apapun.
Sophie terdiam, menatap pintu itu.
“Lucas?” panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Ia mencoba mengetuk beberapa kali, namun tetap sunyi.
Rasa sesak mulai muncul. Pakaian yang masih ternoda jus membuatnya semakin tak nyaman, ditambah kejadian di rumahnya tadi yang sudah cukup membuat suasana hatinya memburuk. Namun pria itu tetap tidak peduli.
Ia meninggalkannya begitu saja, sendirian di rumah asing yang seakan menolak kehadirannya. Lalu apa bedanya? Kenapa ia memaksanya ikut lalu meninggalkannya sendirian begini?
Sophie ingin membuka pintu itu dengan paksa ketika tiba-tiba ia mendengar suara lembut dari samping.
“Nyonya…”
Sophie menoleh. Seorang pelayan muda berdiri tidak jauh darinya. Usianya tampak sebaya dengan Sophie, seragamnya rapi, namun wajahnya tegang seolah takut Sophie melakukan sesuatu yang keliru.
Pelayan itu menunduk sopan, lalu melirik gugup ke arah pintu yang baru saja ditutup Lucas. “Tuan Lucas… tidak suka diganggu ketika sudah masuk ke ruangannya.”
Suara itu pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Sophie segera melepaskan genggaman pada gagang pintu.
Sophie menggigit bibir bawahnya. Ada perasaan perih menusuk di dadanya, seperti ditolak berkali-kali dalam waktu singkat.
“Kalau begitu aku harus bagaimana!?” tanyanya dengan nada kesal.
Sophie yang melihat air wajah kaku pelayan itu karena bentakannya mendadak merasa bersalah. Ia sudah melakukan kesalahan karena menyalahkan seseorang yang bahkan tidak berbuat apa-apa padanya.
“Maaf…” ucapnya pelan sambil membuang muka.
Pelayan muda itu terdiam sejenak, menelan ludah. Wajahnya menunjukkan keraguan, namun akhirnya ia berkata pelan, “Saya akan mengantarkan Anda ke kamar.”
Sophie mengangguk dan pelayan itu mengambilnya sebagai tanda bahwa ia bisa berjalan di depan Sophie, menuntunnya menuju kamar.
Awalnya Sophie mengira ia akan diantarkan ke kamar tamu. Atau bahkan ke kamar yang terletak jauh dari kamar Lucas.
Tapi saat pintu kamar dibuka oleh pelayan muda itu ia menyadari bahwa itu adalah kamar utama alih-alih kamar tamu seperti yang ia kira.
Bahkan dengan minimnya barang-barang yang berada di sana, dari warna abu-abu yang terasa mencekik, Sophie dapat menebak bahwa itu adalah kamar yang digunakan oleh Lucas.
“Apa kamu tidak membawaku ke kamar yang salah?” Sophie bertanya dengan ragu, tapi jawaban yang ia dapat berupa gelengan pelan.
“Semuanya sesuai instruksi Tuan Lucas.”
Benarkah? Sophie bertanya dalam hati. Ia akhirnya meminta untuk ditinggalkan sendirian dengan gestur tangannya.
Sophie mengelilingi kamar setelah ia ditinggalkan sendirian. Ia berjalan ke arah walk in closet. Tasnya sudah berada di sana dengan pakaian yang sudah digantung.
Pakaiannya yang hanya ada beberapa dan sudah lusuh karena sepertinya sudah bertahun-tahun menjadi pakaian gantinya di rumah sakit membuat wajah Sophie memerah.
Baju yang digantung di samping jas-jas mahal milik Lucas terasa seperti salah tempat. Jika ia tadi bisa mengambil pakaian di rumahnya, Sophie tidak akan semalu ini.
Ia mengambil pakaian yang menurutnya paling pantas untuk ia gunakan malam ini.
Sophie membawa pakaian itu ke kamar mandi. Saat menatap cermin besar di sana, ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri.
Ia menghela napas panjang, lalu menunduk menatap bajunya yang bernoda. Tangannya meremas kain itu, perasaan malu bercampur getir membuat dadanya sesak.
“Besok… aku harus bicara dengannya,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara air dari keran.
Ia akan mencoba mengajak Lucas untuk mendatangi rumahnya sekali lagi. Dan mungkin saat itu Sophie bisa berbicara dengan orang tuanya sekali lagi.
Sekali lagi saja. Karena bisa saja apa yang terjadi hari ini hanya kesalah pahaman, kan?
Karena orang tuanya terlalu menyayangi Sophie untuk memperlakukannya seburuk ini.
Untuk sekarang, Sophie mencoba untuk menenangkan diri, membiarkan air hangat membasuh kulitnya dan sisa-sisa noda pada tubuhnya.
Namun, suara pelan pintu terbuka membuat Sophie menegang seketika. Kepalanya sontak menoleh ke arah suara.
“Si-siapa?”
Sophie terpaku sejenak, kenapa seorang wanita menghubungi Lucas tengah malam seperti ini? dan kenapa ia begitu gencar menelpon hingga puluhan panggilan tak terjawab?Dan kenapa… wanita itu terdengar begitu terkejut saat ia mendengar suara Sophie?“Halo?” suara itu terdengar kembali, sejujurnya Sophie tidak bermaksud, tapi karena ia begitu terkejut, tangan Sophie tidak sengaja menekan tombol merah yang berada di layar. Membuat panggilan itu terputus begitu saja.Tapi hanya dalam beberapa detik, layar ponsel Lucas kembali menyala. Lagi-lagi nomor itu kembali menghubungi.Sophie ingin kembali menjawab telepon itu, tapi tiba-tiba saja Lucas sudah keluar dari Walk in Closet dan berjalan ke tempat tidur.“Kenapa kamu belum tidur?” tanyanya. “Bukannya tadi kamu bilang kamu lelah?”Sophie tidak menjawab, tapi ia mengarahkan ponsel yang berada di tangannya ke arah Lucas. Lucas yang akhirnya menyadari bahwa yang berada di tangan Sophie adalah ponselnya mengerutkan kening. Mencoba melihat siapa
“Ayo bicara.”Sophie tertegun saat mendengar perkataan Lucas. Tidak, sebenarnya yang membuatnya tertegun adalah fakta bahwa Lucas benar-benar masih menunggu dirinya. Padahal Sophie sudah sangat sengaja berlama-lama di kamar mandi.“Tidak mau.” ucapnya cepat saat Sophie berhasil mengendalikan emosi di wajahnya. Sophie berniat berjalan menjauh dan melewati Lucas.Tapi sebelum Sophie berhasil, tangan Lucas sudah mendarat di pinggangnya. Pria itu menariknya ke belakang, hingga membuat punggung Sophie beradu dengan dadanya.“Lucas!” Sophie protes tidak terima dan mencoba melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya. Tapi Lucas sama sekali tidak membiarkannya dan justru semakin memegangnya dengan erat.Pria itu tersenyum saat melihat wajah kesal Sophie. “Kamu kan marah aku tidak menyentuhmu. Kenapa sekarang kamu masih marah?”“Bukan itu poinnya!”“Kalau begitu jelaskan poinnya padaku. Kita punya banyak waktu. Aku sudah menghitungnya, harusnya hari ini kita bisa melakukan yang kita mau.” bisi
Lucas menjauhkah wajahnya dari Sophie, tangannya masih memegang bahu istrinya itu. Tapi wajahnya yang menatap Sophie terlihat begitu kebingungan.“Apa?” tanyanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi tangan Sophie yang masih berada tidak jauh dari wajahnya seolah menegaskan bahwa itu bukan hanya pikirannya saja.“Tidak mau.” ucap Sophie lagi, menegaskan kembali apa yang baru saja ia katakan.Mulut Lucas terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, hanya untuk dia tutup lagi. Pria itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.Tapi Sophie tidak ingin memberikan kesempatan bagi Lucas untuk berpikir, ia membuka pintu kamar mandi dan…BLAM!Ia membanting pintu tepat di hadapan wah Lucas yang masih terperangah.Lucas berdiri mematung di depan pintu kayu yang kini tertutup rapat. Hidungnya nyaris bersentuhan dengan permukaan pintu itu saking cepatnya Sophie membantingnya.Ditolak?Dia? Lucas Campbell? Ditolak oleh istrinya sendiri, tepat saat suasana sedang sedang menduku
Sophie masuk ke ruang sidang itu dengan nafas yang terasa begitu berat. Tangannya menggenggam lengan Lucas dengan begitu erat, Sophie bahkan yakin ia bisa saja meninggalkan tanda di lengan suaminya itu.“Ingat perkataanku Sophie.” Lucas berkata, memahami apa yang dirasakan oleh Sophie saat ini. “Katakan kalau kamu tidak nyaman dan kita akan pergi saat itu juga.”Sophie mengangguk. Tapi bahkan walau ia tahu Lucas akan selalu berada di sampingnya, Sophie tidak bisa menghilangkan rasa takut dan memori buruk yang tetap menghantuinya.Sophie melihat sekeliling, menyapu sekeliling ruangan. Sebuah keputusan yang buruk, karena detik berikutnya tatapannya justru jatuh pada Ryan yang juga sedang melihat ke arahnya.“Sophie!” panggilnya, suara Ryan sedikit parau. Sophie berniat untuk mengabaikan panggilan dari pria itu, tapi Ryan berdiri dengan cepat dari tempat duduknya.Ingatan pada hari terakhir pertemuan mereka di tempat parkir apartemen milik Maya menghantam Sophie. Bagaimana pria itu menco
Sophie meremas tangannya sendiri dengan kuat. Sekarang saja mereka sibuk ingin bertemu dengannya?Kemana mereka saat ia masih terbaring di ranjang rumah sakit? Atau saat Sophie direndahkan di pesta keluarga mereka sendiri.“Katakan kalau aku tidak ingin bertemu dengan mereka.” ucap Sophie. Ia berusaha untuk terdengar tegas, walau sebenarnya dadanya berdetak kencang karena informasi yang diberikan oleh pelayan itu.“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya pelayan itu lagi.“Ya.” Sophie akhirnya bangkit dari tempat duduknya, berniat menjauh dari pelayan itu sebelum ia mendengar satu pertanyaan lagi yang bisa membuatnya goyah. “Minta mereka mengingat apa yang mereka janjikan pada Lucas.”Sophie berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya kembali membaikkan tubuhnya. “Katakan juga pada mereka jika mereka datang kemari lagi, aku akan mengatakannya pada Lucas. Dan Lucas akan membuat mereka membayar karena melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.”Pelayan itu akhirnya membungkuk dan terburu-
Jari-jari Sophie gemetar saat meraih ponsel itu dari tangan Lucas. Tulisan Ayah yang muncul di layarnya membuat dada Sophie berdenyut, antara kerinduan yang coba ditahan wanita itu sembunyukan dan kemarahan yang terus mencoba meledak.Lucas mengamati reaksi Sophie tanpa berkata apa pun, memberi ruang bagi istrinya untuk berpikir sejenak.“Sudah ada puluhan panggilan tak terjawab, dan beberapa pesan singkat,” ujar Lucas akhirnya setelah menunggu beberapa lama. “Sejak semalam, setelah Kevin memberikan laporan itu pada mereka.”Sophie menelan ludah, ragu untuk bertanya. “Apa isi pesannya?” Sophie bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ingin tahu atau tidak.“Aku belum membukanya. Itu hakmu, bukan aku,” jawab Lucas. Ia mengangkat bahunya pelan. “Tapi aku bisa membayangkan isinya. Penyesalan, permintaan maaf, dan mungkin… pengakuan bahwa mereka salah mempercayai rumor tentangmu selama bertahun-tahun.”Air mata Sophie mulai menggenang, tapi bukan karena perasaan haru. Tapi karena bayangan







