Suara petir saling bersahutan, kilatnya masuk menembus kaca. Gadis kecil itu terbangun saat suara guntur kembali terdengar, matanya mengerjap berulang kali.
Rasa takut mendominasi, tubuhnya gemetar. Ia melirik ke jendela yang terbuka, di luar sedang hujan deras disertai angin kencang.
"Mama!" pekik gadis itu bersamaan dengan suara petir yang menyambar.
Ia bersembunyi dibalik selimut, merapalkan segala macam doa. Sesekali memanggil mamanya, berharap sang mama akan datang dan menenangkannya. Tapi sekian lama menunggu tak kunjung datang, sementara suara petir semakin kencang terdengar.
"Mama, Viona takut," cicit gadis kecil bernama Viona.
Akhirnya Viona memutuskan untuk turu dari ranjang, berniat menyusul ke kamar orangtuanya. Meski ragu Viona tetap berjalan menuju pintu. Ia akan berjongkok saat suara guntur tiba-tiba menggelegar.
"Mama." Viona terus memanggil namanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Ia keluar dari kamar, tangannya mendekap erat bonek doraemon. Matanya mengedar ke penjuru arah. Rasa was-was dan juga takut membuat langkahnya memelan.
"Mama, Viona takut," lirih Viona.
Kakinya yang gemetar terus ia paksakan berjalan ke kamar orangtuanya.
"Mama." Viona membuka kamar orangtuanya. "Mama di mana?" Tak ada siapa pun di kamar itu. Ia kembali keluar, menahan isakan yang menerobos keluar sejak tadi. "Mama."
Vio tersentak ketika mendengar suara dentuman dari bawah. Ia yang penasaran pun mendekat ke arah tangga. Vio terdiam saat netranya menangkap sosok sang mama ada di sana bersama dengan papanya dan seseorang yang tidak Vio kenal sama sekali.
"Berengsek!"
"Laras dengarkan aku."
Namun wanita bernama Laras tak menggubrisnya, ia semakin menjadi membanting guci yang ada di dekatnya. Melempar berbagai barang ke depan pria itu yang tak lain Dimas, suaminya sendiri.
"Laras!" Dimas semakin geram karena Laras terus melemparkan benda-benda itu ke wanita yang berdiri di belakangnya.
"Kamu berengsek Mas!" teriak Laras, suaranya bercampur dengan isakan yang tak lagi mampu ia tahan. "Kamu gila! Kamu jahat!" Laras terus menyumpah serapah suaminya. "Kamu anggap apa aku selama ini? Hah?!"
"Laras, dengarkan aku dulu." Dimas berusaha merengkuh tubuh Laras, tapi dengan cepat Laras menepis tangan Dimas.
"Apa lagi? Kamu mau jelaskan apa? Semua sudah jelas, kamu selingkuh dengan jalang itu!" Laras menunjuk wanita yang ada di belakang Dimas, matanya berkilat menandakan amarah yang sudah memuncak.
"Jaga ucapan kamu Laras!"
"Kenapa?" Laras mendecih, menatap sinis Dimas. "Memang dia jalang kan. Apa namanya kalau bukan jalang. Ah, mungkin pelakor atau Bitch ...."
Plak!
Laras terdiam, meraba pipinya yang memanas akibat tamparan Dimas. Perih, tapi tak sesakit perasaannya atas pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya.
"Laras, maaf. Aku gak bermaksud————"
"Cukup!" sergah Laras, membuat Dimas tercekat. "Kamu puas?" Mata Laras tertuju pada wanita di belakang Dimas. "Kamu puas, menghancurkan rumah tanggaku?"
"Laras————"
"Diam!!" Laras berjalan mendekati wanita itu tapi Dimas langsung menghalanginya. "Minggir!!" Laras mendorong tubuh Dimas, tapi Dimas malah merengkuh tubuh Laras. "Lepaskan aku! Berengsek!!"
"Laras tenang dulu, kamu bisa membangunkan Viona kalau terus berteriak."
"Kenapa? Kamu takut Viona tahu, kalau ternyata papa kesayangannya itu bajingan." Laras mendengus, ia kembali berontak tapi tenaga Dimas jauh lebih besar.
"Laras, kita selesaikan masalah ini jangan libatkan Viona," kata Dimas, berusaha menenangkan Laras.
"Kamu pikir dengan membawa wanita itu ke sini Viona akan senang. Kamu pikir Viona akan menerima anak dari wanita jalang itu!"
Plak!
Lagi-lagi Dimas lepas kontrol dan menampar pipi Laras. Ia kembali menyesal setelah melakukannya, bagaimana pun Dimas sangat menyayangi Laras. Dia istrinya, wanita yang menemaninya hampir lima tahun ini.
Laras tertawa sumbang. "Kamu udah dua kali nampar aku Mas, demi membela wanita simpananmu." Laras menatap Dimas, wajahnya tampak kuyu dan terlihat frustasi. "Jadi alasan kamu jarang pulang karena wanita itu? Viona sering nanyain kamu Mas, Viona rindu papanya, kangen main sama papanya, dibacakan dongeng setiap malam. Tapi apa yang kamu lakukan, kamu malah jalan-jalan bersama dengan keluarga barumu, mengabaikan Viona yang selalu menunggu kamu setiap saat.
"Kamu jahat Mas." Dimas terdiam, merasa bersalah. "Dan sekarang kamu bawa mereka ke sini. Apa kurang puas kamu menyakiti aku dan Viona, hah?! Jawab! Kenapa kamu sejahat itu sama kami!" Laras mencengkram kerah baju Dimas, mengguncang tubuh pria itu yang hanya bisa diam.
"Kamu jahat Mas!" Tangis Laras semakin pecah, ia histeris. Isakannya terdengar memilukan.
"Maaf," gumam Dimas.
Laras mendongak, menatap wajah Dimas. "Kamu mencintainya?"
"Ya."
Laras memejamkan matanya sejenak, jawaban Dimas seperti belati yang mengiris-iris hatinya. Menorehkan luka yang sangat dalam.
Tidak, Laras tidak bisa berbagi cinta dengan perempuan mana pun. Jika ia tak bisa memiliki seutuhnya maka orang lain pun tak boleh memilikinya.
Laras mengambil pisau buah yang ada di meja. Dia mengarahkannya ke lehernya sendiri.
"Laras!" Mata Dimas seketika melebar saat melihat tindakan Laras.
"Kamu pilih aku atau dia?"
"Laras jangan begitu." Dimas berusaha mendekat, tapi Laras berjalan mundur menjaga jarak.
"Jawab!"
"Laras, jangan gegabah. Kita bicarakan ini baik-baik."
"Pilih aku atau dia?!" teriak Laras, putus asa.
"Aku gak bisa milih antara kalian berdua, aku mencintai kamu sama besarnya seperti aku mencintai Lina."
"Jadi kamu pilih dia?" Laras tersenyum kecut, hatinya semakin terasa perih. Tak ada gunanya lagi ia hidup, Laras lebih baik mati.
"Laras!" Dimas refleks berlari ke arah Laras saat wanita itu berniat menggoreskan pisau ke lehernya.
"Lepas!" Laras berontak karena Dimas menahan pergelangan tangannya. "Lebih baik aku mati, biar kamu puas!! Kamu bisa bebas menikahi jalang itu!!"
"Laras kendalikan dirimu!"
"Lepas!"
Laras terus berontak, Dimas berusaha sekuat tenaga menahan tangan Laras, namun hal tak terduga terjadi. Dimas tak mampu menahan Laras yang terus berontak, hingga akhirnya keduanya terjatuh.
"Aaaa ...!" Laras meringis kesakitan saat terjatuh ke lantai.
Dimas yang berada di atasnya seketika menyingkir, matanya melotot saat melihat pisau tadi menancap di perut Laras.
"Laras!" Dimas panik, dia menangkup pipi Laras. "Laras, maafkan aku."
"Aaa ... ka—mu be-reng-sek, Mas." Laras mengembuskan napas terakhir.
"Laras, Sayang bangun." Dimas memeluk jasad istrinya.
Sementara wanita di belakangnya, menutupi kedua mata putrinya. Dia berdiri kaku, terlihat jelas jika dia sangat syok melihat kejadian barusan.
"Mama," lirih Viona, terduduk lemas mencengkram pembatas tangga.
Viona menatap nanar mamanya yang sudah tak bernyawa. "Mama, jangan tinggalin Vio."
Kabut pekat menyelimuti, hawa dingin menyergap. Pandangan Vio mengabur, tapi ia masih bisa melihat bayangan dua orang yang sangat dicintainya."Mama," panggil Vio. "Oma." Mata Vio berkaca-kaca, ia menerjang kabut menghambur ke arah dua orang itu.Tapi yang terjadi hanya angin yang berhasil Vio dekap. Vio mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok keduanya yang tiba-tiba menghilang."Mama, Oma!" teriak Vio, suaranya bergema di tengah malam. "Jangan tinggalin Vio sendiri, Vio takut," cicitnya.Vio berputar, matanya terus mengedar mencari-cari sosok mama dan omanya. Tapi sepertinya sia-sia, mereka menghilang. Vio terduduk lemas, meratapi kesendiriannya."Mama, Vio takut. Oma jangan pergi. Kenapa kalian tega tinggal
Bayangan cowok tadi terus mengusik pikiran Vio. Seberusaha apa pun ia mengeluarkan bayangan itu dari otaknya, tetap saja bayangan itu terus berseliweran. Menari-nari tanpa permisi di dalam pikirannya.Mata elang, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tipis, kombinasi yang sempurna. Tak heran jika cowok itu terlihat tampan dan mempesona. Sayangnya dia berwajah dingin dan menyeramkan.Bodoh!Rutuk Vio, apa yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa-bisanya ia terkesima dengan cowok aneh itu. Vio menepis semua pemikirannya tentang cowok bernama Levin, seniornya kelas XII.Sepanjang pelajaran berlangsung, Vio tidak bisa fokus karena Reva terus mendumel. Mengomentari apa pun yang diucapkan guru pelajaran. Hingga bel pulang berbunyi.
Vio terbangun ketika alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Mata Vio perlahan terbuka, Vio mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam posisi duduk bersandar di pintu.Vio bangun karena alarm terus berbunyi, Vio segera mematikannya. Vio melirik sekilas jam weker yang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Ia segera masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.Tak butuh waktu lama untuk Vio mandi dan mengenakan seragamnya. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri. Vio terdiam memperhatikan wajahnya, lebih tepatnya mata Vio yang sembab karena semalaman menangis.Untuk menyamarkan itu Vio memakaichusiondan bedak, megoleskan sedikitliptintpada bibirnya yang tampak pucat. Vio tampak cantik dengan rambut panjan
Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian."Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar."Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba dis
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.
Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere