Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.
Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
“Aku dapat mencium baunya dari parkiran,” kata Sean menggoda.
Via tertawa karena jarak parkiran dan unit mereka sangatlah jauh. Tidak mungkin dapat tercium hingga ke basement.
“Bersiap-siaplah, akan kuhidangkan makan malamnya.”
Sean mengecup pipi Via sebelum beranjak menuju kamar.
Melihat punggungnya menghilang dari pandangan, sebulir air mata Via jatuh menyentuh permukaan meja. Dia menghapusnya cepat, takut tertangkap basah menangis tanpa sebab.
Lima belas menit kemudian, Sean kembali ke meja makan yang sudah terhidang makan malam dengan penampilan fresh sehabis mandi, rambut hitamnya basah berantakan sehabis keramas. Pria itu menghampiri dengan mata menatap Via penuh kagum dan terima kasih.
“Kau selalu tahu apa yang ingin kumakan setiap malam,” ucap Sean sembari melahap suapan pertama.
Hanya senyuman yang Via berikan. Dia juga ikut menikmati makan malamnya.
“Apa badanmu sudah baikan?” Sean menaruh punggung tangannya di kening Via yang ternyata bersuhu normal.
“Sudah jauh lebih baik dari kemarin,” jawabnya sedikit berbohong, karena terkadang Via masih merasa mual dan sakit di persendian.
Keduanya kembali makan dalam keheningan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu piring.
………………………………………………
Sean mengecup lembut kening Via begitu hasratnya tersalurkan. Dia menarik beban tubuhnya dari atas gadis itu dan tidur telentang di sebalah sedang satu tangan masih melingkar di tubuh Via, seolah tidak ingin melepas kontak kulit mereka.
“Kemarin aku pergi bersama Daren ke toko roti yang sering dia kunjungi, aku lupa membawakan beberapa roti untukmu. Lain kali kita bisa pergi ke sana bersama,” kata Sean yang mulai diselipi kantuk.
“Tidak apa. Kita bisa ke sana jika kau sempat saja,” jawab Via sama lelahnya.
“Apa kau masih mau kupinjamkan uang untuk membangun toko roti impianmu?”
Hati Via membuncah bahagia karena Sean ingat akan mimpinya untuk memiliki toko roti sendiri. Mereka sering membahas toko roti impian Via. Bahkan mungkin Sean sudah hapal bagaimana design yang Via bayangkan untuk toko rotinya.
“Tidak perlu, aku masih ingin bekerja di Luna Star. Biarkan mimpi itu jadi nyata setelah aku penisun saja.”
“Tidak ada salahnya membuka toko roti itu selagi kau bekerja denganku,” saran Sean kembali yang ditolak oleh Via tanpa pikir panjang.
“Aku sangat berterima kasih kau memikirkan impianku, tetapi rasanya salah meminjam uang darimu. Kau sudah sangat banyak membantu selama ini.”
Via sangat mengerti hubungan mereka tak lebih seperti transaksi bisnis. Dia tidak ingin Sean membantunya karena takut Sean berpikir dia bersama pria itu hanya demi materi. Bantuan kecil awalnya kini telah menjadi besar. Bahkan setengah biaya pengobatan saat ibunya masih hidup dahulu, Sean juga ikut membantu. Dia tidak butuh diingatkan bahwa hubungan itu bukanlah hubungan romantis.
“Baiklah, katakan padaku bila suatu saat nanti kau memang ingin membangun tokomu sendiri.”
Tidak ingin memperpanjang diskusi, Via memberi anggukan seakan setuju walau sebaliknya.
“Apa logo untuk toko roti impianmu?” tanya Sean.
“Sepasang merpati,” jawab Via yakin.
Alis Sean bertaut mendengar jawaban Via yang tidak biasa.
“Mengapa merpati?”
“Entahlah, aku hanya suka filosofinya. Merpati memiliki satu pasangan seumur hidup, bread love sangat pas memakai merpati sebagai logo brand.”
Sean terkekeh pelan mendengar nama toko roti tersebut.
“Plesetan Spread Love menjadi Bread Love tidaklah nyambung.”
“Tapi aku suka mendengarnya, coba saja katakana Bread Love, terdengar enak di telinga,” ucap Via teguh pendirian.
Sebuah kecupan mendarat di bibir Via yang ranum.
“Baiklah … baiklah. Aku percaya, Bread Love …,” tawa Sean disela mencuri cium dari bibir Via. Dia mengalah dengan kekeras kepalaan wanita itu.
…………………………………
Berita pertunangan Sean semakin santer terdengar, namun Via tidak berani menanyakan kabar tersebut. Takut akan jawaban Sean yang bisa melukai hati. Di kantor, kantin, bahkan koridor hotel percakapan akan pernikahan Sean dan Evelyn tidak lagi terbendung. Semua orang seakan tidak ketinggalan menyebar berita yang Via yakini tidak sepenuhnya benar.
“Akhir-akhir ini kulihat kau lesu,” kata Keiza saat mereka ke resepsionis untuk menyerahkan lembaran checklist harian.
“Aku tidak lesu, hanya kelelahan mengerjakan laporan bulanan,” jawab Via dengan senyum tipis di bibir menutupi hati yang gundah.
“Jika kau ingin cerita, aku siap mendengarkan.”
Via memberi tatapan terima kasih pada Keiza yang terdengar peduli. Langkahnya pun terhenti ketika melihat Sean bersama rombongan Executive lainnya lewat di hadapan mereka. Pria itu terlihat sibuk berbincang dengan Daren yang berjalan di samping. Sesaat tadi mata mereka bertabrak pandang, namun seperti sebelum-sebelumnya dengan cepat Sean mengalihkan tatap. Seakan tidak mengenali jika berpapasan jalan.
Hati Via terasa dicubit, karena sosok Sean Reviano di siang hari bukanlah Sean Reviano miliknya yang di malam hari. Sikap pria itu bertolak belakang, layaknya memiliki dua kepribadian. Siangnya Sean adalah sosok asing bagi Via, sedangkan malam Sean begitu dekat hingga ke urat nadi.
“Lihatlah, bagaimana para wanita tidak tergila-gila padanya,” bisik Keiza sembari menunjuk Sean dengan dagunya yang lancip.
Via berdehem dan membalas; “Dia memang sempurna, sulit untuk melupakan pria seperti itu.”
“Benar,” jawab Keiza sembari menghela napas, “Beruntung sekali wanita yang menikah dengannya.”
Hati Via membenarkan, wanita itu sungguh beruntung. Siapa pun dia, semesta menghadiahinya pria paling sempurna di bumi. Penyayang, perhatian, tahu memuaskan wanita di ranjang, walau memiliki hati sedingin salju, tetapi sosok Sean Reviano tidaklah mudah untuk dibandingkan atau pun dilupakan. Bayangkan bila hati pria itu sehangat bara, bisa-bisa semua wanita meleleh di kakinya.
…………………………………………..
Via melihat kedatangan Sean yang melewati foyer. Dia menunggu dengan duduk manis di sofa ketika pria itu masuk ke dalam ruangan. Untuk sesaat alis Sean bertaut mendapati Via yang tidak seperti biasa menunggu di ruang makan.
“Apa ada masalah?” tanya Sean mendekat dengan khawatir.
Kepala Via menggeleng sembari memberi senyum tipis di bibir, tidak seperti biasa yang merekah sempurna bila melihat kedatangannya.
“Aku hanya sedang berpikir.”
“Tentang?”
Via menghela napas dan menghembuskan pelan.
“Tentang kita.”
Kali ini wajah Sean yang terlihat bingung.
“Memangnya ada apa dengan kita?”
Tengorokan Via tercekat hendak mengatakan sesuatu.
“Gosip tentang pertunanganmu dengan seorang wanita tersebar luas di hotel, bahkan media juga membicarakan. Apa kau tidak mau menjelaskan padaku?”
Mata Via menatap Sean penuh ketidak pastian. Ada jeda di udara tatkala Sean diam.
“Itu bukanlah urusanmu,” jawab Sean akhirnya yang membuat hati Via pecah berkeping.
Dapat Via rasakan bunyi retakan di bagian dada, sengatan panasnya yang sakit membuat dia sedikit sesak. Apa yang Via takuti selama ini, terucap juga oleh Sean. Not your bussines. Katanya.
Bagaimana mungkin itu bukan menjadi urusannya di saat mereka berhubungan begitu intim. Setidaknya patut bagi dia bertanya kejelasan hubungan mereka di masa mendatang. Mungkinkah selamanya Sean akan menjadikannya sebagai wanita simpanan. Oh tidak. Via menolak dirinya disebut sebagai wanita simpanan. Jauh lebih baik dengan sebutan wanita rahasia.
“Aku berhak tahu dimana posisiku bila ada wanita lain hadir dalam hubungan ini,” kata Via lirih dengan wajah menunduk pilu. Sengaja ia menyembunyikan wajah, takut Sean melihat ekpresinya yang terluka.
“Fokus saja pada karirmu. Jangan dengarkan berita yang tidak jelas. Aku tidak ingin membahasnya sekarang, kepalaku penuh dengan pikiran lain. Besok aku juga harus kembali ke rumah orang tuaku, setelah aku kembali baru kita bicarakan lagi.” Tanpa mengatakan apa-apa setelahnya, Sean beranjak meninggalkan Via yang masih termangu di sofa.
Suara pintu tertutup menyadarkan Via bahwa Sean tidak lagi bersama. Pria itu meninggalkan dirinya sendiri keluar dari apartemen, bukan menuju ke kamar seperti biasa tiap kali ada pertengkaran. Mata indah itu berkaca-kaca sepeninggalan Sean. Sungguh, Via menolak air matanya yang hendak luruh. Saat ini dia merasa jauh lebih kesepian dibanding sebelum bersama Sean.
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,