Dua bulan berlalu, Dania sudah sehat dan kembali bekerja seperti sedia kala, bahkan pekerjaannya kini bertambah, ia tidak seperti pelayan pada umumnya malah lebih seperti seorang asisten pribadi.
Pada suatu pagi Dania menemani Bu Dewi memindahkan bibit bunga mawar dari polibag ke tanah di pekarangan rumah. Bu Dewi memang orang tua yang lincah hanya saja pelupa, ia masih kuat melakukan apapun di usianya yang senja. Saat sedang sibuk menguruk tanah, tiba-tiba handphone-nya berdering. Nama Nena menari-nari di layar ponselnya, Dania dapat membacanya karena ukuran font yang digunakannya sangat besar. Ternyata Nena mengabarkan kepada ibunya kalau cicitnya akan lahir. Bu Dewi segera berdiri dan meminta Dania menemaninya, mereka pun masuk rumah untuk bersiap-siap. Bu Dewi sudah selesai, saat melihat penampilan Dania ia salah fokus ke bagian dada Dania yang basah. "ASI-mu belum berhenti?" tanya Bu Dewi. "Iya, Bu." Dania menjawab dengan canggung. "Nggak apa-apa, itu hal biasa nanti juga berhenti dengan sendirinya. Ganti baju dulu sana, jangan pakai yang itu," Bu Dewi takut nanti Dania merasa tidak nyaman saat bertemu dengan keluarga besarnya dalam kondisi dada yang basah. "Baik, Bu." Dania menurut dan segera berlalu ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia kembali lalu mereka pun berangkat. Mereka tiba di rumah sakit di mana istri cucu kesayangannya melakukan persalinan. Bu Dewi begitu bangga saat bertemu cucunya yang gagah dan tampan sedang menanti menjadi seorang ayah. "Ini baru cucuku," puji Bu Dewi. "Nenek sehat? Kenapa repot-repot ke sini, tunggu saja di rumah nanti Rain yang mengantarkan cicit nenek." ucap Rain sambil mencium tangan Bu Dewi. "Rasanya tidak tenang kalau tidak datang langsung. Lagipula Nenek masih kuat." "Ya sudah, ayo duduk. Operasi masih berjalan." Rain memperlakukan neneknya begitu hangat. Tapi tidak menghilangkan karakternya yang tegas dan berwibawa. 'Beruntung sekali keluarga ini' ucap Dania dalam hati. Ia juga kagum pada sosok cucu yang begitu tampan menawan tapi benar-benar hanya di mata saja tidak sampai turun ke hati, mereka tidak selevel. Sayang sekali, ternyata keberuntungan yang dimaksud Dania tidak berlangsung lama, karena Marina mengalami pendarahan hebat, suasana menjadi sangat tegang. Tidak berselang lama setelah kabar pendarahan itu, dokter kembali mengumumkan bayi telah lahir dengan sehat tapi ibu bayi tidak berhasil diselamatkan. Antara senang dan sedih menyelimuti keluarga itu. Senang karena akhirnya cucu pertama lahir sedih karena sang ibu pergi untuk selamanya. *** Beberapa hari telah berlalu, ternyata keadaan belum juga berjalan mulus, si bayi tiba-tiba menolak minum susu formula. Suster yang menjaga, kebingungan karena bayi terus menangis, Nena menceritakan keadaan cucunya kepada Bu Dewi. Lagi-lagi Bu Dewi mengajak Dania ke rumah utama keluarga Milano, di mana bayi tinggal. Bu Dewi sendiri sengaja memilih tinggal di tepi kota karena suasana lebih sepi dan damai di banding di tengah kota. Saat mereka sampai, keadaan bayi masih menangis hingga seluruh badannya memerah, semua keluarga berkumpul di sana begitu juga Rain, ia tidak berangkat ke kantor karena khawatir pada bayinya. Semua orang tampak kusut karena seorang bayi, mungkin karena lelah begadang. Bu Dewi yang baru saja datang inisiatif mengambil bayi dari gendongan Nena. Bayi itu masih menangis. "Sayang, kenapa tidak mau minum susu?" Bu Dewi mencoba lagi memberikam botol susu kepadanya tapi bayi semakin menangis keras. "Dia selalu seperti itu kalau dikasih susu, Bu. Padahal sudah berjam-jam dia tidak minum susu, dia terus menolak. Entah ada apa dengan botol susunya, padahal sudah diganti berkali-kali siapa tau ada yang cocok," Nena terdengar putus asa dan kahwatir pada keadaan cucunya. Pantas saja ada banyak botol susu dengan berbagai bentuk di atas tempat perabotan bayi, berbagai merek susu juga ada. "Pasti ada cara," Bu Dewi menenangkan cicitnya sambil berpikir, ia tiba-tiba teringat Dania yang ia suruh menunggu di ruang tamu. "Coba kita beri dia ASI saja," Bu Dewi mengutarakan idenya. "Rain sudah coba menghubungi rumah sakit untuk itu, Nek. Tapi rumah sakit sedang tidak ada stok. Kita perlu berhati-hati juga dalam memilih ASI 'kan, data orang yang memberikan ASI-nya juga harus kita ketahui." Rain ternyata sudah mengusahakan itu. "Nenek sudah menemukan orangnya, dia sekarang ada di bawah," ucap Bu Dewi dengan yakin. Semua orang melihat ke arahnya dengan wajah tidak percaya.Dania ingin kembali ke sofa setelah meletakkan Erlangga, tapi ia membeku saat melihat Rain sudah bangun dan sedang menatapnya lekat seperti serigala yang lapar. "Sebagai laki-laki aku tidak mau munafik, aku bukan tipe laki-laki yang akan melewatkan hubungan suami istri karena tidak cinta, karena itu aku akan meminta hak aku sebagai suami," ucap Rain, ia pikir harus memperjelas semuanya. Dania tau di dalam agama, hukum menolak suami adalah dosa besar, tapi dia benar-benar belum siap secara mental. Baginya berhubungan badan itu musibah karena kehidupan dan masa depannya hancur karena hal itu. "Apa aku boleh menolak? Kalau pak Rain tidak tahan, maka nikahi saja Bu Monika, aku akan membantu menutupinya untukmu." ucap Dania dengan hati-hati. Ia asal bicara saja agar Rain bisa menahan diri. Ia sengaja menyebut nama Monika agar Rain teralihkan. Rain merasa harga dirinya terluka, bisa-bisanya pria sekeren dirinya ditolak mentah-mentah oleh istrinya sendiri. Ia akhirnya bisa merasakan
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang harusnya bahagia itu telah tiba, Dania akhirnya bisa mengenakan gaun pengantin walaupun tidak sesuai dengan impiannya. Setidaknya ia bisa merasakan menjadi seorang pengantin. Ia sudah tidak percaya diri merajut mimpi indah dengan seorang pasangan setelah kehilangan kehormatannya. Tidak normal jika ia tidak memiliki pria di dalam hatinya hanya saja nama itu ia hapus karena merasa noda dalam dirinya akan menjadi pembatas yang sangat tinggi. Adapun Rain, ia sangat memesona dengan penampilannya, sesaat Dania tidak bisa berpaling melihat calon suaminya itu, tapi ia segera menyadarkan diri agar tidak terlalu dini untuk tertarik apalagi jatuh cinta. Perasaan harus dibuang jauh-jauh dalam pernikahannya. Cukup penuhi hak dan kewajiban saja atau mungkin ada kesepakatan yang akan dibuat seperti di novel-novel maka lakukan itu saja. Sampai takdir sendiri yang akan mengakhirinya. Tidak banyak yang menghadiri pernikahannya, hanya keluarga besar kedua belah
Akhirnya Dania merasa tenang setelah menemui kedua orangtuanya, sekarang masalahnya berada di pihak Rain, ia masih harus berbicara dengan Monika, dan kebetulan hari itu Monika datang lagi ke rumahnya, sepertinya wanita itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk merebut kembali posisi yang telah diambil oleh Marina. Rain merasa tidak nyaman dan bersalah melihat Kedatangan Monika, ia tiba-tiba mengingat kembali bagaimana keadaan wanita itu saat ia mengatakan akan menikah dengan Marina, wajah cantiknya menjadi sendu dan tidak bersemangat, setiap kali bertemu, dia selalu menangis dan menyalahkan diri sendiri. "Apa kamu keberatan kalau aku datang lebih sering?" ucap Monika begitu ia duduk di kursi yang ada di hadapan Rain, kala itu Rain sedang berada di ruang kerja. Mereka sebelumnya memang sedekat itu, Marina bahkan tidak berani memasuki ruangan itu tanpa perintah Rain. "Tidak juga, tapi aku merasa sedikit terganggu kalau kamu seperti ini, kita bukan lagi pasangan dua atau tiga t
Rain memperbaiki posisinya, aura ketampanan dan kharismanya membuat semua orang menunggu ia untuk berbicara. "Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu, Saya Rainer Milano yang akan bertanggung jawab atas Dania, saya datang karena ingin meminta restu kepada Ibu dan Bapak. Pernikahan kami akan segera diselenggarakan dan sudah tidak dapat dibatalkan lagi." Walaupun penyampaiannya cukup santai ada ketegasan dalam ucapannya yang tidak ingin dibantah. "Kamu bukan laki-laki yang melakukannya?" tanya Andre dengan tatapan menyelidik. "Saya bukan laki-laki seperti itu." Rain terlihat sangat berwibawa. Andre menjadi sangat bersalah. "Maaf karena kamu yang datang bersama Dania dan anaknya, aku pikir kamu pelakunya." "Jika aku adalah seorang kakak aku pun akan melakukan hal yang sama," Rain sangat berbesar hati, Dania lega mendengarnya. "Kenapa kamu mau menikahi, Dania?" sahut Bu Tari. "Karena dia ibu susu putraku," jawab Rain. "Anak ini putramu?" Bu Tari tidak ingin percaya.
Akhirnya meraka tiba di depan rumah Dania, beberapa orang yang lewat tidak berkedip melihat mobil mewah terparkir di depan rumah keluarganya. Rain menunggu Dania bersiap keluar dari mobil. Dania berkali-kali menghela nafas untuk menghilangkan rasa gugupnya. Begitu ia hendak membuka pintu mobil, ia melihat ayahnya muncul dari balik pintu sedang mengamati mobil yang sedang terparkir di depan rumahnya. "Itu ayahmu?" Rain penasaran. "Iya," ucap Dania dengan suara bergetar, Rain mengerti keadaannya. Ia mengambil alih Erlangga agar Dania bisa lebih leluasa. Dania keluar dari mobil dengan was-was dan gelisah, Pak Fadli terkesiap melihatnya. Ia diam sambil menatap dengan sorot mata yang penuh kerinduan. Assalamu'alaikum...!" sapa Dania dengan hati-hati. "Waalaikumussalam...!" balas Pak Fadli dengan ekspresi dingin. "Ayah, apa kabar?" Dania tidak berani menyentuh tangan ayahnya, suaranya bergetar dan air matanya luruh begitu saja. Ia beranikan diri untuk menyalami tangan ayahnya
Beberapa hari telah berlalu dan pernikahan yang diputuskan Bu Dewi harus tetap terlaksana. Rain tampak tidak peduli karena sudah tau akhirnya akan tetap seperti itu kecuali kalau neneknya itu tiba-tiba meninggal. Sementara Dania, semenjak kata pernikahan keluar dari mulut Bu Dewi ia menjadi gelisah setiap hari. Dania kembali ingin berbicara dengan Rain, kebetulan Rain sedang ingin menemui putranya, Rain langsung masuk ke kamar putranya setelah memastikan Dania sudah berpakaian rapi dan ada Rena juga. "Maaf, Pak. Bu Dewi sudah mengatur waktu pernikahan kalau kita tetap diam seperti ini pernikahan akan benar-benar akan terjadi, apa tidak ada cara untuk membatalkannya?" Dania ternyata belum menyerah. Rena di sampingnya sampai menyenggol agar tidak berkata sembarangan. "Ternyata kamu belum mengerti juga, ya? Dari pada mengatakannya padaku kenapa tidak langsung bernegosiasi dengan nenek saja?" Rain melihat ke arah Dania yang langsung menunduk. "Sudah, Pak." Dania melemah. Jawaban B