Arik hanya bisa pasrah. Di pabrik dia biasa ngatur orang. Di rumah ngatur orang satu pun dia tak sanggup. Bahkan kini dia yang mulai diatur istrinya.
Setengah jam telah berlalu. Arik menghampiri istrinya di dapur. Ini belanjaannya.
Mata Hayana membola, bibirnya menahan senyum.
"Mas, hebat, ya. Bawa uang dua puluh ribu bisa dapat sayuran banyak. Besok-besok belanja sendiri, ya, Mas. Aku tinggal masak," ujar Hayana sambil tersenyum. Dia layangkan pandangan pada suaminya yang tampak manyun.
Hatinya sangat puas. Dia tahu suaminya pasti kesal karena menambahi uang belanja. Tidak mungkin uang dua puluh ribu dapat segini banyaknya.
"Kamu pikir aku akan kalah sama kamu, Mas! Biar tahu rasa kalau semua itu serba mahal! Suami berlagak istri harus bertindak," monolog Hayana.
"Dek. Selama ini dikasih uang lima belas ribu sehari kok cukup? Apa kemarin harga-harga murah-murah?" tanya Arik dengan polos.
Pria itu heran kenapa istrinya baru protes sekarang, padahal dari kemarin-kemarin uang belanjanya tidak pernah lebih dari lima belas ribu.
"Dek. Kenapa baru protes sekarang? Selama ini dikasih uang lima belas ribu sehari kok cukup? Apa kemarin harga masih murah-murah?" tanya Arik dengan wajah sok polos.
Pria itu heran kenapa istrinya baru protes sekarang? Padahal dari dulu uang belanja yang dia beri tak pernah lebih dari lima belas ribu.
"Murah-murah dari Hongkong! Dari dulu juga sudah pada mahal, Mas. Tahu nggak kenapa dulu lima belas ribu cukup?"
"Nggak." Arik memang tidak mau tahu, masalah uang yang dia berikan itu cukup atau tidak. Baginya yang terpenting sudah memberikan uang belanja.
"Benar dugaanku, kamu tak pernah mau tahu kan uang itu cukup atau tidak? Perlu kamu ketahui, Mas! Uangmu itu dari dulu tak pernah cukup. Aku selalu menambahi menggunakan uangku sendiri. Saat itu aku tahu kamu hanyalah karyawan biasa yang gajinya hanya UMR. Ditambah punya setoran motor pula. Namun, setelah aku tahu gajimu lima juta sebulan jangan harap aku mau menerima nafkah lima belas ribu sehari. Sudah cukup pengorbananku," tegas Hayana.
"Tabunganmu masih ada nggak, Dek?"
"Kenapa memangnya menanyakan tabunganku? Mau diganti? Kalau mau diganti aku akan menerima dengan senang hati. Namun, kalau mau meminjam maaf aku tak bisa," sergah Hayana, tangannya mulai memotong sayuran yang dibeli suaminya tadi.
"Kamu perhitungan sekali, sih? Aku ini suamimu, lho! Masa iya, nggak boleh pinjam uang istri," protes Arik sambil mengamati tangan istrinya yang lincah memotong sayuran di atas talenan.
"Kamu mau pinjam uangku? Mau buat apa?" tanya Hayana sambil terus memotong kacang panjang.
"Buat pegangan sampai gajian. Pinjam dong, Sayang. Nanti aku kembalikan.
Janji," rayu Arik. Hayana yang sedang fokus memotong sayuran, menghentikan aktivitasnya kemudian membalikkan badan menghadap pria yang menjadi suaminya tersebut.
"Boleh. Asal, kembalikan dulu uangku yang kamu pinjam, Mas. Tidak banyak, kok, waktu itu kamu pinjam uangku lima juta. Kembalikan dulu, nanti baru aku pinjami lagi. Aku hanya minta uang pokoknya tanpa bunga, karena uang yang berbunga itu riba. Riba ngeribanget dosanya."
"Kamu apa-apaan sih? Masak uang dipakai suaminya sendiri ditagih! Nggak pantaslah. Kita kan suami istri, ya, harus saling membantu, disaat aku tidak ada uang wajar kalau menggunakan uangmu." Arik tak terima ditagih hutangnya.
"Mas. Waktu itu akadnya adalah pinjam. Bukan minta. Pinjam itu harus dibayar. Aku tidak ikhlas kalau kamu tidak mengembalikan uang itu. Ingat uang suami itu uang istri, tapi uang istri itu, ya, uang istri sendiri. Suami tidak boleh menggunakan uang istri. Apalagi kalau istrinya tidak ikhlas. Aku akan selalu mengingat itu sebagai hutangmu!"
"Nanti aku ganti, deh. Sekarang pinjam dulu," rengek Arik.
"Memangnya gaji kamu sudah ha—." Ucapan Hayana terpotong oleh panggilan ibu mertuanya.
"Haya. Ibu minta berasnya," ucap mertua Hayana, yang muncul dari pintu dapur sambil membawa baskom.
"Monggo, Bu. Ibu ngambil sendiri, ya. Itu di tempat biasa."
Hayana menunjukkan tempat beras, kemudian tangannya kembali sibuk memotong sayuran yang sempat tertunda.
Bu Sastro walaupun kemarin telah mengatakan menantunya mandul, tetap berlaku biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Tanpa merasa bersalah, meminta beras pada menantunya. Tidak punya rasa malu memang.
Itu lah Hayana wanita yang disebut mandul oleh mertua tetap memperlakukan mertuanya dengan sopan. Baginya apa yang terjadi di hari kemarin biarlah berlalu, tidak ingin menyimpan dendam dengan ibu mertuanya.
Ponsel Arik berbunyi tanda ada panggilan masuk. Dia pun segera mengangkat telepon dan menjauhi dapur.
"Ya Allah … Haya. Banyak banget berasmu. Kok, ibu nggak dikasih? Pelit amat kamu!"
Hayana mengernyitkan dahi menautkan kedua alisnya. "Beras cuman sekarung dibilang banyak?" monolog Hayana dalam hati.
"Memangnya ibu tidak dikasih uang sama Mas Arik?" tanya Haya hati-hati. Takut mertuanya mengamuk. Kan repot, kalau kepala mertuanya mengeluarkan tanduk.
"Dikasih, memangnya kenapa?" Bu Sastro balik bertanya sambil mengeruk beras dalam karung.
"Alhamdulillah kalau begitu. Kirain tidak dikasih uang, soalnya Haya beli berasnya hanya sekarung untuk jatah satu bulan sekalian," jelas Haya.
"Oh, maksud kamu kalau ibu sudah dikasih uang, berarti tidak dikasih beras, begitu? Uang itu hak ibu dong mau buat beli apa? Tidak harus beras. Seharusnya beras itu tetap dibelikan untuk ibu!" sungut Bu Sastro sambil menggaruk-garuk hidung menggunakan jari. Menantunya itu segera paham dengan kode yang diberikan mertuanya.
Ada cincin baru yang melingkar di jari Bu Sastro. Uang pemberian dari Arik dia kumpulan untuk membeli perhiasan, padahal niatnya Arik memberikan uang tersebut untuk biaya hidup ibunya.
Memang mertua Hayana suka membeli perhiasan sebagai bentuk tabungan. Apalagi mendadak butuh uang maka perhiasannya pun jadi incaran untuk dijual.
"Kan sekarang yang kerja hanya Mas Arik, Bu. Jadi Haya tidak bisa seperti dulu lagi. Tidak bisa memberi beras lagi pada, Ibu."
"Kamu alasan saja. Dulu waktu masih ngontrak kamu bisa membelikan beras setiap bulannya. Di sini sudah tidak pusing membayar kontrakan, justru kenapa tidak bisa membelikan beras ibu?" tanya wanita beranak enam tersebut.
"Bu. Kan sudah dijelaskan ini semua karena hanya Mas Arik yang bekerja," jelas Hayana. Bu Sastro mendengus kesal.
"Dagang saja kamu. Supaya tetap bisa cari uang walaupun di rumah," saran Bu Sastro.
Hayana menahan geram. Dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan. "Ya Allah … berikan hamba kesabaran menghadapi mertua yang ajaib ini." Doa Hayana dalam hati.
"Bu. Di sini tempatnya terpencil. Itu kiri kanan sudah ada tiga warung berjajar, Haya nggak mau ikutan membuka warung," ungkap Hayana.
"Dasar maunya mengandalkan gaji suami saja!" Hayana sudah tak berniat membalas ucapan mertuanya. Bisa tersulut emosinya.
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."