Share

Kemana Uangmu, Mas?

Wah, ibu beli cincin baru, ya. Bagus lho, Bu." Hayana mengalihkan pembicaraan. 

"Iya lah, kan habis dapat duit arisan. Daripada uangnya habis nggak karuan mendingan buat berhias. Benar nggak?" Bu Sastro mengamati perhiasan yang melingkar di jari manisnya tersebut. Tak lama kemudian ngeloyor pulang.

Hayana tampak menghembuskan napas lega, mertua pergi. 

Tinggal di dekat mertua bukan kemauan Hayana. Namun, atas permintaan para kakak ipar dan juga mertuanya. Rumah yang saat ini ditempati Hayana adalah rumah bibinya, orangnya telah meninggal dan tak memiliki keturunan.

Alasan mereka meminta Hayana tinggal di sana, karena kasihan dengan Arik kalau harus membayar kontrakan, sedangkan Hayana sudah resign dari tempat kerja.

****

"Mas, aku lupa bertanya. Gaji kamu, kan sudah lima juta dari bulan kemarin. Kok sudah tidak punya pegangan lagi? Padahal ini baru tanggal lima belas, lho. Kamu kemanakan uangnya? Kan sudah tidak punya setoran. Aku saja hanya kamu jatah lima belas ribu sehari. Kok sudah habis?" cecar Hayana. Wanita itu hanya ingin tahu Kemana larinya uang suaminya.

Arik malah menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Membuat Hayana semakin penasaran. Kemana larinya uang Arik?

 Tiga menit sudah berlalu dan Arik masih belum memberikan jawaban apa pun. Malah menarik kursi bersiap untuk makan.

"Kemana uangnya, Mas? Aku tidak akan meminta hanya ingin tahu."

"Aku kasihkan ke Ibu lah. Kan beliau tidak ada yang mencarikan nafkah. Beliau harus dikasih lebih banyak daripada kamu," terang Arik, pria itu tidak bisa berbohong pada istrinya setelah ketahuan gajinya lima juta terbongkar.

"Semua kamu kasihkan ke Ibu? Kamu sisakan untuk tabungan nggak?" Hayana ingin tahu.

"Ta — tabungannya belum ada," jawab Arik jujur. Dia sedikit terbata saat ditanyakan tabungan. Memang uang tersebut seperdua dari gajinya diberikan pada ibunya.

"Sudah kuduga." Hayana menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa memangnya kalau Arik memberikan gajinya lebih banyak pada ibu? Kamu tidak terima? Ingat surga dia ada pada wanita ini!" Bu Sastro menepuk dadanya.

Bersebelahan dengan rumah mertua itu tak selamanya enak. Sepertinya yang dirasakan oleh Hayana. Setiap ada percekcokan dengan suaminya ibu mertua selalu muncul secara tiba-tiba. Seperti jelangkung datang tak diundang pulang tak diantar. 

"Saya sangat paham bahwa seorang pria surganya ada pada ibunya. Namun, Ibu, juga harus paham bahwa bakti anak laki-laki tidak boleh menghalanginya untuk memberikan nafkah yang layak pada istrinya," bantah Hayana.

"Kamu belagu sekali mau mengajari saya! Ingat anakku bisa menjadi seperti sekarang itu semua berkat aku, ibunya. Wajar kalau akhirnya memberikan uang gajinya padaku. Kalau kamu tidak terima gajinya Arik diberikan pada ibu, sana kerja lagi!" 

"Ooh jadi Ibu sudah tahu kalau gaji Mas Arik sekarang naik? Baiklah aku akan menuruti kemauan Ibu . Aku akan kembali bekerja. Namun, jangan harap aku mau tinggal di sini! Aku tinggal di sini juga atas permintaan kalian, bukan?" Hayana sudah tidak ada selera untuk makan. Dia segera mengambil ponselnya menjauh dari kedua orang tadi, menghubungi nomor rekan kerjanya dulu.

Orang yang pertama kali diberitahu kenaikan gaji Arik adalah ibunya. Menurutnya keberhasilannya adalah buah doa dari sang ibu. Pria itu melupakan doa Hayana yang mengiri setiap langkah usahanya.

"Bu. Kenapa, sih, menyuruh Hayana kerja lagi? Dia itu butuh istirahat untuk bisa cepat hamil," Arik sedikit kesal dengan ibunya.

"Rik. Kenapa, sih, kamu masih saja mempertahankan wanita seperti dia? Sudah wajahnya tidak cantik, selalu membantah sekalipun pada mertua, tidak punya anak pula. Apa yang kamu lihat dari dia? Apa? Jangan-jangan kamu dipelet!"

Arik tercengang mendengar tuduhan ibunya terhadap Hayana. Kenapa wanita yang melahirkannya itu bisa bicara seperti itu?

Bu Sastro tidak mengetahui bahwa ada Hayana yang mendengarnya. Tuduhan mertuanya seperti hantaman batu besar ke arah dada Hayana. Sakit sekali! Hatinya bergemuruh. Ingin rasanya membantah ucapan mertuanya. Namun, takut tak bisa mengendalikan emosinya. Air mata sudah tak dapat lagi dibendung, Hayana buru-buru masuk kamar. Tidak ingin tangisnya diketahui mertua.

****

Melihat pintu kamar mereka terbuka membuat Arik bernapas lega. Dia pikir Hayana tidak mendengar ucapan ibunya, karena jarak antara dapur dengan kamar mereka cukup jauh.

"Dek. Kamu menangis? Kamu mendengar omongan Ibu? Jangan diambil hati, ya!" Hayana tidak menyadari kehadiran suaminya. Sehingga Arik melihat bulir bening itu membasahi pipi istrinya.

"Mas. Kenapa kamu dulu tidak menikah dengan wanita yang cantik, sih? Kenapa harus memilih aku? Apa aku tak pantas untukmu? Sampai ibumu menuduh aku menggunakan pelet." 

"Sudahlah, Dek. Nggak usah diambil hati omongan Ibu. Besok aja ibu udah lupa dengan apa yang diucapkan tadi," hibur Arik pada istrinya.

"Mungkin ibumu sudah tak ingat lagi, tapi seumur hidupku tuduhan itu tak akan terlupakan. Aku mau kerja lagi dan kita ngontrak lagi. Aku sudah tidak kuat di dekat ibumu seperti ini." Hayana menatap lekat wajah suaminya. 

"Kontrak sendiri?" Arik malah mengulang ucapan Hayana. Wanita itu menanti jawaban suaminya dengan seksama. Apa jawaban Arik?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status