Karina duduk sendirian di meja pojok WarKoDuBa. Biasanya, ia menjadi pusat kehangatan aneh: mengomentari pelanggan dari dunia lain, mengganggu Randi dengan cerita horor romantis, atau membantu Dimas menyesuaikan suhu air agar pas dengan suhu hati. Tapi malam itu, ia hanya diam.Matanya menatap cangkir kosong di hadapannya. Tangan kirinya memainkan sendok kecil berwarna perak kusam, hadiah dari pelanggan tak kasat mata bernama Bu Enti yang dulu suka menceramahi orang bahkan setelah meninggal.Tetesan air jatuh ke cangkir.Air mata.“Karina?”Suara lembut Dimas memecah keheningan.Karina menunduk lebih dalam. “Aku... nggak tahu kenapa nangis, Mas.”Dimas duduk perlahan di seberangnya. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatap sahabatnya, yang sejak dulu menolak untuk mengaku rapuh.Randi muncul membawa dua donat rasa takdir — donat yang hanya bisa dimakan oleh mereka yang sedang bingung dengan hidup. “Ini... gratis, kalau kamu bilang alasannya kenapa nangis.”Karina tertawa kecil, tapi ju
Malam itu WarKoDuBa sepi. Bukan karena tidak ada pengunjung, tapi karena semua pengunjung malam itu... sedang tertidur. Tidak, bukan tertidur karena ngantuk biasa. Tapi karena kopi yang mereka minum malam itu kebetulan tercampur biji “Tenang Abadi” — racikan langka yang disimpan Dimas untuk keadaan darurat.“Mas... kita beneran nyeduh biji itu?!” Randi berbisik panik sambil melihat sekeliling, tempat pelanggan manusia dan non-manusia sedang mendengkur damai. Bahkan arwah yang biasanya melayang-layang pun sedang ngorok di sudut plafon.Dimas mengangguk santai, menggulung lengan bajunya dan mulai membersihkan mesin seduh. “Kita butuh waktu untuk ngobrol tanpa interupsi dari tuyul galau atau hantu bucin, Ndii.”“Ngobrol soal apa?”Karina muncul dari balik rak rempah dengan secangkir teh bunga kenangan yang hanya bisa diseduh oleh mereka yang pernah menangis tengah malam.“Gerbang sebelah mulai bergetar lagi,” ujarnya pelan.Randi langsung duduk tegak. “Gerbang sebelah? Gerbang dimensi?!
Pagi itu, WarKoDuBa terasa berbeda.Bukan karena bau kopi yang lebih harum dari biasanya, atau karena Randi akhirnya menyapu tanpa disuruh, tapi karena seluruh dinding warung berubah warna — dari coklat kusam menjadi abu-abu muda yang... berkedip?“Mas... ini catnya hidup, ya?” tanya Randi sambil menempelkan pipi ke dinding.Dimas mengangguk pelan. “Bukan cat. Ini tanda. Warung ini sedang memilih.”Karina yang duduk di meja pojok mengangkat alis. “Memilih?”“Ya,” lanjut Dimas. “WarKoDuBa hanya muncul bagi yang membutuhkan. Tapi sekarang... dia juga mempertanyakan siapa yang masih pantas tinggal.”---Hari-hari terakhir sejak Karina kembali berjalan aneh. Seolah-olah waktu di warung tidak linier.Tamu datang, lalu menghilang. Beberapa hanya diam di sudut, menyeduh kenangan. Beberapa tertawa keras dengan makhluk tak kasat mata. Dan beberapa... tidak pernah benar-benar datang secara fisik, tapi cangkir mereka kosong saat pagi.Suatu malam, lonceng pintu berdenting tiga kali.Tiga pria be
Langit di atas WarKoDuBa malam itu tampak tidak biasa. Bintang-bintang bersinar lebih redup, tapi justru terasa lebih dekat. Seolah-olah langit ingin mendengarkan. Atau mungkin, sedang menunggu seseorang kembali.Dimas berdiri di ambang pintu, mengenakan celemek lama yang sempat disimpan sejak Toyo pergi. Aroma kopi dan rasa-rasa lama masih tertinggal di kainnya. Di dalam, Randi sedang membersihkan mesin giling, sambil menyanyikan lagu tema telenovela yang tidak cocok dengan suasana.Tiba-tiba, angin masuk dari arah belakang, padahal semua jendela tertutup. Lonceng pintu berdenting tanpa alasan.“Mas Dimas...” suara itu lirih, tapi familiar.Dimas berbalik. “Karina?”---Dia berdiri di tengah ruang, tidak datang dari pintu maupun jendela. Karina tampak seperti versi dirinya yang dulu... tapi berbeda. Rambutnya lebih panjang, matanya dalam seperti sumur yang penuh rahasia, dan senyumnya lebih teduh.Randi menjatuhkan lapnya. “ASTAGA! Kamu balik! Dari mana aja kamu? Kamu glowing, Rin. S
Sejak kepergian Toyo, WarKoDuBa seperti kehilangan napas lembutnya. Dimas tetap menyeduh, Karina tetap duduk di pojokan, tapi ada ruang yang tak terisi. Randi mencoba mencairkan suasana seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang tidak seperti dulu.“Mas Dimas,” katanya suatu malam. “Aku... kayaknya mulai dilirik agensi.”“Agensi mana?” tanya Dimas, meletakkan teko di atas kompor.Randi mengangkat tablet-nya. Di layar muncul sebuah surel dari alamat misterius: konten.dimensi.88@interreal.stream.> “Kami tertarik dengan kemampuan Anda menyampaikan cerita dari dunia rasa. Mari bekerjasama untuk proyek lintas realitas. Hadiah? Ketenaran abadi.”---Karina menatap Randi curiga. “Kamu yakin itu bukan phishing antar-dimensi?”“Enggak! Mereka udah ngirimkan teaser! Nih, bahkan ada footage gue nyeduh kopi pas kejadian Tuyul Galau episode 3!”Dimas menatapnya tajam. “Tunggu... itu rekaman dari dalam warung? Dari POV orang ketiga?”---Malamnya, ketika semua sudah tenang, Randi mengh
Malam WarKoDuBa tenang, tapi tidak benar-benar damai. Sejak penyeduhan Resep Terakhir, suasana terasa sedikit... kosong. Seperti ada kursi yang tak terlihat, namun selalu mengundang tatapan ke arahnya.Toyo duduk di meja pojok, tempat biasa Karina menyendiri. Tangannya menggambar di atas tatakan gelas—sebuah rumah kecil, dengan dua pintu. Satu terbuka, satu tertutup.“Mas Dimas,” katanya perlahan. “Boleh tanya sesuatu?”Dimas yang tengah menyeka teko hanya mengangguk.“Kalau seseorang... punya tempat lain yang memanggil, tapi hatinya masih tertinggal di sini... dia harus ke mana dulu?”---Dimas menghentikan lapnya.“Kamu mau pergi, Yo?”Toyo tidak langsung menjawab. Ia menunduk, lalu menyodorkan selembar surat yang terlipat rapi. Di atasnya tertulis dengan tinta biru:> “Dari Ayah - Dunia Sebelah”---Isi surat itu ringkas tapi padat emosi:> “Toyo, anakku. Dunia kita tak lagi seperti dulu. Kami butuhmu di sini. Suaramu... bisa menyelamatkan rasa yang mulai hilang. Tapi aku tahu kamu