Jika obat dari merindu adalah sebuah pertemuan, lantas bagaimana caranya menyembuhkan rasa rindu pada seseorang yang telah tiada? Chiara memejamkan mata pedih di ambang pintu kamar Naomi. Sudah berulang kali ia menyeka air mata, tapi berkali-kali pula air kesedihan itu kembali meluncur membasahi pipi, seakan tidak akan ada habisnya. Dia sangat merindukan kakaknya, rindu yang tidak akan mungkin ada penawarnya. Sekarang mereka sudah berbeda dunia.Chiara baru tahu jika kamar mendiang sang kakak telah pindah ke lantai dasar. Kamar yang semula adalah kamar tamu itu kini berubah dipenuhi warna pastel pada setiap sisi temboknya, khas Naomi. Hampa adalah hal pertama yang gadis itu tangkap, sebab dirinya menyadari jika kamar yang sedang dia pijak kini sudah kosong, tidak lagi berpenghuni sebab pemiliknya telah pergi. Dengan langkah sangat pelan gadis itu mendekati sebuah lemari kaca, lemari yang dipenuhi oleh piala-piala mendiang kakaknya. Dia menatapnya nanar dengan setitik air mata. Tanga
"CUT!" Nardo berteriak cukup lantang dengan sebuah megafon di tangannya, memberi aba-aba. Secara otomatis para pemain dalam set di depan sana menghentikan segala peran yang mereka mainkan. Di detik itu pula seorang Clappers memasukkan sebuah clapper board ke dalam frame dalam keadaan terbalik, menepuknya sekali lalu membaca segala informasi yang tertulis di sana."Oke, perfect! Syuting hari ini cukup sampai di sini. Kerja bagus, ucap Nardo setelahnya. Terlihat para pemain serta para kru mulai membubarkan diri, syuting sudah selesai. Seakan tak ingin membuang waktu, Nardo segera membereskan segala barang bawaannya, memasukkannya ke dalam tas. Namun, suara lembut seorang perempuan yang memanggil namanya menghentikan pergerakan pria itu."K-kak Nardo ..."Ketika pria yang dipanggil mengangkat dagu, wajah memerah Almera lah yang masuk ke dalam retinanya. "Hm?" Pria itu hanya menggumam bertanya, keningnya sedikit berkerut. Almera tidak langsung menjelaskan maksudnya, dia justru terliha
Semenjak Chiara tahu tentang kepergian Naomi, semenjak itu pula gadis itu kehilangan senyumannya. Hari-hari belakangan ini dia tampak murung, membuat ayah dan ibunya merasa khawatir. Namun mereka tahu jika Chiara adalah gadis yang kuat, dia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan.Matahari sudah tepat di atas kepala. Hawa panas tidak sedikit pun membuat Chiara beranjak dari tempat duduknya di teras rumah. Gadis itu masih saja betah mengunci mulutnya, padahal ada Evan yang sedari tadi duduk pada bangku di seberangnya, bersekatkan meja kayu bundar berpelitur mengkilap. Perkuliahan hari ini selesai lebih cepat dari hari biasanya, dan Chiara masih enggan untuk sekedar bertanya pada sang sahabat."Hari ini ada tugas. Nanti mau menyalin punyaku, tidak? Kebetulan sudah aku cicil kerjakan. Kamu mulai masuk besok kan, Chia?" tanya Evan, mencoba membuka percakapan. Jujur saja, pemuda itu merasa sedikit tidak nyaman dengan kediaman Chiara. Karena selama ini Chiara adalah gadis yang banyak ber
Paradise columbarium terasa cukup sepi sore ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang berada di setiap sisi dinding berlaci. Chiara mengedarkan pandangannya, menurut petunjuk dari Sang ibu, laci abu Naomi berada di sisi kiri.Ya, setelah Evan pulang, Chiara memutuskan untuk menemui Naomi, sendirian. Dia sudah meminta izin ibunya, beralasan pergi dengan Evan meskipun kenyataannya dia hanya seorang diri. Banyak hal yang ingin gadis itu sampaikan pada mendiang kakaknya, dan dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya. Setelah sejenak mengembuskan napas berat, langkah kaki Chiara menjejak mendekati dinding laci sebelah kiri tubuhnya. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti secara mendadak ketika tatapannya menangkap presensi seseorang yang sangat tidak asing di ujung sana. Sosok seorang pria yang tampak tertidur sambil duduk bersandar pada laci yang Chiara tebak adalah milik Naomi.'Kak Nardo ....'Secara refleks tangan Chiara terangkat menyentuh dada. Entah karena terkejut atau bag
Sudah berbulan-bulan dari terakhir kali Chiara bertemu dengan Nardo di Columbarium, selama itu pula mantan calon Kakak iparnya itu tidak lagi menunjukkan dirinya. Kurang lebih enam bulan lamanya mereka tidak lagi berjumpa, namun siapa yang mengira jika Chiara selalu saja memikirkan pria itu?Sebenarnya Chiara pun bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia merasa aneh dengan jantungnya, bahkan hatinya. Perlahan dirinya memang berhasil mengikhlaskan kepergian Naomi, tetapi rasa lain justru datang menghantui.Sejak saat itu, tidak ada lagi malam tanpa memimpikan wajah pria yang harusnya menjadi suami dari kakaknya. Jantungnya selalu saja berdenyut ngilu setiap kali mengingat wajah penuh duka Nardo. Debaran jantungnya seakan terus menerus menyerukan nama sang pria.Pada awalnya Chiara berpikir jika debaran tidak wajar yang dia rasakan pada Nardo akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi nyatanya justru sebaliknya; rasa itu tidak pernah bisa lenyap, justru semakin kua
Rumah yang sunyi sudah bukan lagi sebuah hal baru bagi Chiara. Setelah melewati ruang keluarga, gadis manis itu segera mencari presensi ibunya. Sore hari begini biasanya Ambar sedang menonton drama kesayangan mereka, tapi televisi di ruangan yang sebelumnya Chiara lewati dalam keadaan mati. Dan instingnya membawa langkah gadis itu menuju dapur, tempat favorit ke dua bagi sang ibu.Dan tebakannya benar. Ketika sudah sampai di ambang pintu dapur, sosok Ambar terlihat sedang mengiris sesuatu di dekat kompor listrik, membelakanginya. Senyuman gadis itu mengembang, lalu mengucapkan salam."Chia pulang, Ma ....""Selamat datang, Sayang." Ambar hanya menoleh sejenak, sebelum kembali berkutat dengan kegiatannya. Dengan sedikit mengerutkan kening Chiara memutus ruang. Dia berdiri tepat di sisi ibunya, memperhatikan apa yang sedang Ambar kerjakan dengan senyuman tak pudar. "Tumben sibuk sekali, Ma. Masak apa?""Mama membuat sate, makanan kesukaan Nak Nardo."Seakan mendapatkan serangan jantung
Jalanan di kala senja itu terasa cukup lengang. Nardo melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan. Ada sosok lain yang duduk pada kursi di sebelahnya, dialah Rendy.Bukan hanya sekali, sudah berkali-kali sahabatnya itu menumpang pulang dengannya jika dia sedang memiliki kendala. Seperti saat ini, motor si asisten sutradara itu sedang masuk bengkel. Daripada harus naik taksi, Rendy memilih untuk pulang bersama sang sutradara. Maklum saja, ia memang sedang berhemat, mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk resepsi pernikahannya."Setelah ini belok ke kiri jangan lupa, rumahku ada 50 meter dari sana." Rendy berucap seraya menunjuk gang masuk rumahnya. Sedangkan Nardo terlihat melirik sinis padanya. "Aku sudah tahu. Kamu kira aku pikun?""Hanya Berjaga-jaga." Rendy menjawab ringan dengan bahu mengedikkan bahu singkat. "Menggalau sepanjang waktu bisa saja membuatmu menjadi pelupa. Jangan marah." Sebelum Nardo menimpali, ia lebih dulu memperingatkan. "Sialan!" dan umpatan adalah opsi kalim
Cuaca yang masih cukup terik sore itu tidak membuat Nardo untuk beranjak dari posisinya. Dengan sebatang rokok yang terselip di celah bibir, pria itu bersandar pada kap mobil hitam miliknya sambil sesekali melihat pada segerombolan mahasiswa dan mahasiswi Nusa Bangsa yang berlalu-lalang tidak jauh darinya. Hingga akhirnya sosok gadis yang dirinya tunggu berhasil tertangkap pandangannya. Nardo melepas sebatang nikotin itu dari mulutnya, mengapitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu mengembuskan asap ke udara sebelum memberikan sebuah senyum manis pada Chiara. Gadis itu berjalan menghampirinya dengan tergesa."Kak Nardo ... cepat sekali sampainya.""Baru sampai beberapa menit yang lalu. Kebetulan lokasi syuting harus lewat jalan ini, jadi sekalian Kakak bisa menjemput kamu," ujar Nardo, menjelaskan hal yang sebenarnya sudah dia sampaikan pada chat pribadi mereka. "Mau langsung pulang?"Bukannya menjawab, tatapan Chiara justru tertuju pada rokok si pria, dahinya mengerut, se