Beranda / Romansa / When The Lights Fade / Bab 1 : Lagu Di Tengah Malam

Share

When The Lights Fade
When The Lights Fade
Penulis: Planets

Bab 1 : Lagu Di Tengah Malam

Penulis: Planets
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 18:50:43

prolog

Jakarta, larut malam.

Gemerlap lampu kota menari di balik kaca jendela tinggi, seolah menertawakan orang-orang kecil yang berusaha mengejar mimpi mereka.

Aku duduk di sudut sebuah café tua, memeluk gitar yang sudah usang, membiarkan jemariku bermain di atas senar tanpa berpikir. Di ruangan ini, hanya sedikit yang peduli dengan suara yang mengalun—sebagian besar terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Tapi aku tetap bernyanyi. Bukan untuk mereka. Bukan untuk tepuk tangan.

Aku bernyanyi karena itu satu-satunya cara bertahan.

Di luar sana, dunia berbicara tentang ketenaran seakan itu hadiah.

Mereka tidak pernah menceritakan apa yang terjadi setelah sorotan itu padam.

Tentang harga yang harus dibayar.

Tentang suara-suara yang dipaksa diam.

Tentang mimpi-mimpi yang dipelintir menjadi produk.

Aku tidak tahu malam itu akan mengubah segalanya.

Tidak tahu bahwa satu tawaran akan menarikku ke dalam perang yang tidak pernah kuinginkan.

Tidak tahu bahwa dunia yang selama ini kuimpikan, diam-diam merencanakan kehancuranku.

Semua orang ingin menjadi bintang.

Tidak ada yang memberitahu bahwa kadang, ketika akhirnya kau bersinar—itu hanya awal dari kegelapan yang lebih dalam.

Bab 1 lagu di tengah malam

Jakarta, tengah malam. Kota ini tidak pernah benar benar tidur, tapi bagi sebagian orang, malam bukan tempat untuk merayakan hidup—melainkan tempat untuk lari dari kenyataan.

Di sebuah café kecil di Kemang, cahaya temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan di dinding bata merah. Aroma kopi pekat bercampur dengan asap rokok dari beberapa pelanggan yang tenggelam dalam obrolan mereka.

Di sudut ruangan, seorang pria berjaket kulit usang duduk dengan botol bir di tangannya, matanya kosong menatap panggung kecil.

Di atas panggung itu, aku berdiri. Mikrofon di tanganku terasa berat, tapi suara yang keluar dariku lebih berat lagi—berisi keraguan, harapan, dan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa beri nama.

"Aku bernyanyi untuk siapa?"

"Mereka bilang aku punya cahaya,

Tapi mengapa aku merasa redup?"

Suara itu meluncur, bukan karena ingin didengar, tapi karena perlu dikeluarkan.

Adrian Storm, pria di sudut itu, memejamkan matanya sejenak. Ia mengenal rasa sakit dalam suara semacam itu. Suara orang yang belum tahu apakah mereka ingin berlari atau tetap bertahan.

Saat laguku selesai, tepuk tangan terdengar. Tidak meriah, tidak heboh. Tapi cukup.

Aku turun dari panggung, mengambil segelas air dari meja bar. Saat itulah suara berat menghentikanku.

"Kau nggak seharusnya nyanyi di tempat sekecil ini."

Aku menoleh. Pria itu—Adrian—menatapku. Matanya seperti menilai, seolah-olah bisa menembus semua lapisan topeng yang berusaha kupakai.

"Maaf?" tanyaku, menjaga jarak.

Dia mengangkat botol birnya sedikit, seperti bersulang.

"Suaramu lebih besar dari café ini. Tapi kalau kau nggak hati-hati, dunia ini bisa menghancurkanmu sebelum kau tahu caranya bertahan."

Aku menatapnya curiga.

"Dan kau siapa?"

Dia tersenyum kecil. Ada ironi di dalamnya.

"Adrian Storm," katanya, seolah nama itu seharusnya berarti sesuatu.

Aku berpikir keras. Nama itu terdengar familiar, samar—seperti seseorang yang pernah berjaya tapi sudah lama tenggelam dalam berita buruk.

"Jadi, apa? Kau mau jadi manajerku?" tanyaku, setengah mengejek.

Adrian tertawa pendek. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya.

"Aku hanya bilang, berhati-hatilah. Di dunia ini, kadang yang tampak seperti peluang justru jebakan."

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, seseorang menyela.

"Elara, kan?"

Aku menoleh. Seorang pria dengan jas rapi mendekat, wajahnya penuh percaya diri.

"Aku Nathan Cross. Aku suka penampilanmu. Kita perlu bicara."

Adrian menatap Nathan dengan sorot mata gelap.

Aku berdiri di antara dua orang asing.

Satu memperingatkan.

Satu menjanjikan dunia.

Dan aku harus memilih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • When The Lights Fade   Bab 9 lagu yang penuh kesedihan

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku: “Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit kamar apartemenku yang remang, suara lalu lintas Jakarta terdengar samar di luar jendela. Aku menggenggam ponselku, mengetik pesan:“Bagaimana jika aku ingin keluar?”Pesanku hanya dibaca. Beberapa menit kemudian, Adrian membalas:“Pertanyaanmu salah. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Aku membuka kontrak di email—dokumen yang sempat kubaca dengan penuh harapan, kini terasa seperti perangkap. Satu klausul terlewat saat pertama kali kubaca:“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Lalu angka itu terpampang jelas: 5 miliar rupiah.Bibirku terasa kaku. Itu bukan jumlah yang bisa kubayar—bahkan jika aku mengorbankan seluruh hidupku. Nathan tak mengikatku dengan borgol, tapi den

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status