Yang tak terlupakan

Yang tak terlupakan

last updateLast Updated : 2022-05-14
By:  ngkaa juwiOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Not enough ratings
41Chapters
2.4Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Dia yang hadir memancarkan warna seindah pelangi dan pergi meninggalkan mendung yang tak pernah usai . berawal dari sebuah ketidak sengajaan berubah menjadi sebuah cinta yang sulit dijelaskan. Kebahagiaan, tawa, rasa bersyukur yang terus mengalir disetiap harinya. Sampai pada akhirnya semua menghilang dalam sekejap ..

View More

Chapter 1

Bab 1

Seorang wanita mondar-mandir di depan pintu UGD sembari terus menangis. Raut wajahnya sendu, dengan air mata mengalir deras. Baju putihnya berlumuran darah.

Dia adalah Melinda. Wanita berusia 25 tahun yang tengah menunggu Bimantara-tunangannya yang berada di dalam ruang UGD.

“Ya Tuhan, selamatkan Mas Bima,” lirihnya, mengatupkan kedua tangan dengan cemas. Lama ia mondar-mandir, akhirnya memutuskan untuk duduk.

Ingatannya kembali pada kejadian yang baru saja menimpa, di mana niatnya untuk menyusul sang tunangan, malah berakhir dengan melihatnya terjatuh dari ketinggian.

“Andai Mas Bima tidak pergi. Kalau saja kami tidak bertemu Tuan Gerald .... “ Melinda menyesali semua.

Pertemuan keduanya dengan Gerald Abiyasa selaku Sekretaris Athena Holding di butik menjadi awal mula insiden itu terjadi.

Gerald yang marah melihat karyawannya keluar di jam kerja, memberi hukuman berdalih tugas.

Bima diminta melakukan sesuatu agar semua dewan berpihak pada Gerald saat Rapat Umum Pemegang Saham.

“Ahhh!” Melinda memekik pelan. Suara dentuman keras disusul jatuhnya Bima yang menimpa vas bunga tak bisa lenyap dari ingatannya.

“Kalau saja aku melarangnya untuk pergi.” Melinda terisak. Dengan iming-iming akan diberi jabatan yang lebih baik dan diancam akan di-blacklist jika menolak, Bima setuju tanpa berpikir panjang.

“Semoga Paman dan Bibi segera sampai. Aku takut,” lirih Melinda, membayangkan yang tidak-tidak.

Tak lama berselang, pintu UGD dibuka. Spontan Melinda berdiri, mendekati dokter yang membuka masker.

“Bagaimana keadaan Mas Bima, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” Melinda mengguncang lengan dokter yang kedapatan menarik napas panjang.

“Mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan pasien. Luka di kepalanya cukup parah dan kekurangan banyak darah.”

“A-apa? Tidak mungkin!” Melinda membekap mulutnya, mundur beberapa langkah sampai terjatuh.

“Nona baik-baik saja?” Dokter sedikit membungkuk, menepuk pundak Melinda pelan. Kali ini Melinda tersentak, membiarkan dokter membantunya berdiri.

“Tidak! Tidak mungkin!” Melinda menggeleng, tak percaya dengan apa yang dokter katakan tadi. Didorongnya dokter ke samping, lantas memasuki ruang UGD.

Tampak tubuh terbujur kaku ditutupi kain putih. “M-Mas Bima!” Melinda berhambur mendekat. Perlahan dan gemetaran tangannya membuka kain penutup.

Benar saja. Sosok itu adalah Bima. Perban membalut kepala dan beberapa bagian tubuhnya nyaris membuat Melinda terjatuh.

“Tidak, jangan tinggalkan aku. Mas Bima! Bangun, Mas!” Diguncangnya tubuh itu dengan harapan akan terbangun. Tangisnya kian nyaring terdengar.

“Kita akan menikah dua Minggu lagi. Teganya kau meninggalkan aku,” lirih Melinda, terkulai lemas. Rentetan peristiwa yang pernah dilalui bersama sang tunangan kembali terbayang.

Lama Melinda meratapi, hingga panggilan seseorang menyentak lamunannya. “Linda!” Spontan wanita itu berdiri, lalu berhambur memeluk sang Bibi.

“Apa yang terjadi? Kenapa Bima bisa jatuh?” tanya Irma-Bibinya kala Melinda melepaskan pelukan.

“Iya, Nak, bagaimana dia bisa jatuh? Apa yang terjadi? Siapa yang membawa kalian? Kenapa bisa meninggal?”

Rusdi, paman Melinda memberondong dengan banyak pertanyaan. Ditatapnya lekat-lekat wajah Melinda yang basah karena air mata.

“Jawab, Linda!” Irma mengguncang tubuh ponakannya dengan wajah dipenuhi kebencian. Pandangannya dialihkan pada tubuh terbujur kaku di depannya.

“Aku juga tak tahu apa yang terjadi. Saat aku sampai dan hendak mencarinya, Mas Bima ... Mas Bima jatuh.” Dengan nada bergetar, Melinda menceritakan kronologi kejadiannya.

“Apa? Astaga! Apa tidak bisa sekali saja kau tidak membebaniku dengan masalah?” Sang bibi mondar-mandir dengan dongkol.

Dipijatnya kepala dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

“Irma! Jaga ucapanmu! Ini musibah. Nak, tenang dulu, ya. Kita tunggu dokter. Jangan dengarkan Bibimu.” Rusdi berusaha menenangkan meski istrinya mengomel.

“Musibah apanya? Dia pasti sengaja,” ketus Irma, membela diri. Rusdi menghela napas, memeluk erat sang keponakan. Dilihatnya wajah Bima dipenuhi luka dan kepalanya diperban.

“Kau pasti tahu lebih banyak, kan? Katakan padaku sekarang!” desak Irma pada Melinda.

Melinda mencoba menenangkan pikiran. Merangkai kembali hal-hal yang terjadi. “Mas Bima diberi tugas Tuan Gerald untuk ... untuk ke kantor secepatnya,” kata Melinda.

“Tuh, kan! Pria itu pasti terlibat. Bukan kita yang harus menanggung semua, tapi dia.” Irma mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Tepat saat Rusdi menutup tubuh Bima dengan kain putih, dokter dan perawat memasuki ruangan

“Dokter, apa yang sebenarnya terjadi? Kami ... kami mendapat informasi bahwa Bima meninggal setelah jatuh. Benar seperti itu?” tanya Rusdi.

“Benar. Kondisinya cukup parah dan patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, kecuali luka akibat jatuhnya korban,” jelas dokter.

Perawat pun menyerahkan hasil autopsi jenazah pada Irma yang langsung menahan geram setelah membaca hasilnya.

“Ini seharusnya tidak terjadi. Kalau Bima mati dan Melinda gagal menikah, dia akan tetap di rumahku dan menjadi benalu.” Kalimat Irma membuat Rusdi meradang.

“Dia kan tidak punya keluarga. Pasti aku yang dibebani biaya,” sambung Irma, meremas jemari.

“Tutup mulutmu! Bukannya bersedih, kau malah sibuk memikirkan diri sendiri!” Rusdi menahan diri agar tangannya yang gatal tak sampai bergerak.

“Jangan salahkan aku. Bima jatuh kan pasti ada sebabnya. Aku rasa, Tuan Gerald itu terlibat. Awas saja dia!” cemooh Irma.

Irma memutar bola mata. Tak dipedulikan sang suami yang mencoba menenangkan Melinda agar menerima kenyataan tunangannya sudah meninggal.

“Sudahlah, Nak. Yang sabar. Relakan kepergiannya. Kita urus pemakamannya segera, ya. Arwah Bima pasti sedih melihatmu begini.” Rusdi berupaya membujuk.

Sayangnya, tangis Melinda semakin menjadi-jadi. Teringat wajah Bima yang pucat, Melinda merasa seolah merenggut separuh nyawanya juga.

“Tak guna kau menangis. Bima tidak akan hidup hanya karena kau tangisi. Lebih cepat dia dimakamkan, akan lebih baik bagi kita,” cerca Irma.

“Tidak bisakah kau menenangkan Melinda? Dia keponakanmu,” tegur Rusdi.

“Dari mana kita bisa mendapat biaya untuk membayar rumah sakit? Apa harus pakai daun? Kau lupa, anak kita ada tiga.” Irma berdecak, melempar hasil autopsi pada jenazah Bima.

Wanita itu pun keluar saat dirasa amarahnya kian memuncak.****

Panas matahari mulai menyengat saat Melinda beserta keluarganya berada di area pemakaman umum. Dengan pengawasan beberapa polisi, proses pemakaman pun selesai cepat.

“Aku tak menyangka kita tidak jadi menikah, Mas. Padahal gaun pengantin dan persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Kenapa kau bisa jatuh? Kenapa .... “

Melinda menyentuh batu nisan bertuliskan nama tunangannya. Air matanya menetes membasahi tanah yang masih basah.

“Sudah, jangan menangis lagi. Pokoknya sekarang, kita usut tuntas masalah ini. Paman ingin kau memberi tahu polisi dengan detail,” kata Rusdi, berjongkok di dekat keponakannya.

Irma hanya melengos, memerhatikan para polisi yang berkumpul tak jauh dari tempatnya kini. “Kau juga harus mengabari Tuan Gerald itu. Dia harus tahu apa yang terjadi,” ujarnya.

Melinda mengangguk. Pandangannya dialihkan pada makam-makam. Sejurus kemudian, ia melangkah menuju para polisi.

“Mari, ikut saya ke rumah. Kita bicarakan semua di sana,” ajak Rusdi. Para polisi mengangguk, mengikuti keduanya yang melangkah meninggalkan area pemakaman.

“Kami sudah mengirim petugas untuk mendatangi rumah Tuan Gerald dan memeriksa kantornya,” kata polisi, membuka pintu mobil.

Melinda hanya diam, sementara Rusdi manggut-manggut. Mereka pun terpaksa pulang naik mobil polisi.

Tanpa mereka sadari, tak jauh dari makam Bima, sesosok misterius berpakaian serba hitam dan masker tengah mengintai dengan tangan memegang kamera.

Siapakah sosok misterius itu? Adakah hubungannya dengan kematian Bima?****

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
41 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status