Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.
Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.
Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.
Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.
Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?
Atau malah beneran sudah mati?
“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”
Rasanya sakit banget, setan.
Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”
“Ck! Udah, ah. Sana.”
“Tapi—”
Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam
Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?Baiknya, sih, kau terapkan juga.Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.Tapi, si Alfie ini sudah angku
Hidupku hancur.Runtuh.Jadi sebuyar abu.Jadi, kesimpulan dan pesan moral dari metafora nirguna di atas adalah: jangan sekolah kalau mood-mu lagi jelek.Jujur, aku ini orang baik. Dan sangat normal.Lagian, banyak skenario buruk yang mungkin akan terjadi ketika orang kelepasan marah, ‘kan?Malah, ada yang lebih buruk.Seenggaknya, tingkahku enggak melibatkan senjata api.Boro-boro AK-47.T-tapi, katanya, sih, orang terpandang itu punya hati sensitif.Dan kalau berani macam-macam dengan mereka, bakal ada konsekuensi yang mengerikan menanti.Semoga saja orang-orang kaya ini tidak sama brengseknya dengan yang ada di dunia nyata.
“Lebih tegak lagi. Lebih tegak. Kan udah kubilang, tepat sembilan puluh derajat. Kamu ini dengar gak, sih, dari tadi?”Maka, aku pun menurut.Coba mencondongkan tubuh secara vertikal. Setegang pasak. Setenang tombak.Sempat kukira kali ini bakal berhasil, tapi tiba-tiba satu buku yang tertumpuk di atas kepala jatuh.Satu lagi jatuh. Lalu lagi. Lalu yang lain hingga berhamburan.CTAS!Punggungku kembali disabet rotan.Rasanya sakit banget, setan.Panas melepuh dan lama-lama jadi pedas. Seperti ditempeli puluhan koyo cabe sekaligus—serangan perih berdenyut-denyut yang dipadukan sensasi terbakarPadahal yang sebelumnya masih belum pulih dan berdenyut-denyut, tambah lagi ini.Aku yakin punggungku kini sudah jadi merah, atau biru, atau malah timbul bekas lebam melintang yang jelek—awas saja kalau itu yang kejadian, enggak bakal kubiarkan wanita tua ini hidup dengan anggota tubuh utuh.“Etika di meja makan nol besar, gak tahu cara menulis dan mengeja yang benar, dan ini … bahkan duduk aja m
Maut itu lelucon tolol.Apa? Enggak senang? Terlalu edgy?Padahal begitu kenyatannya.Kau pikir sudah berapa kali aku berdoa supaya mati muda?Ratusan. Ribuan Puluhan ribu. Ratusan ri …Zzz …………Hoam!Ya ampun, kebanyakan menghitung, mataku jadi berat—nah, satu nasihat lagi, kalau otakmu kebanyakan diisi angka, matamu bakal cepat rabun.Kesimpulannya: doa itu sia-sia dan cuma buang-buang waktu.Jadilah, aku mengambil aksi nyata dan mulai mencari cara bunuh diri tanpa rasa sakit.Tapi, dari sana, halangannya malah makin berengsek.Mulai dari harga senjata api itu rupanya mahal—belum lagi kepengerusannya secara legal.Racun? Aku trauma setelah menonton efeknya di sinetron.Ada godaan untuk gantung diri saja, tapi prosesnya diasumsikan sebagai yang paling menyiksa.Kemudian, secara ironis, aku malah terperangkap dalam realitas konyol; disusahkan masalah yang sebenernya bukan urusanku; dan kini berhadapan dengan dua malaikat maut berwujud dua pangeran ingusan.Entah kenapa, kematian ja
Berprasangka buruk itu menyehatkan.Sejak dulu, manusia itu makhluk yang rumit.Karena begini, sebagai satu-satunya organisme yang cukup cerdas untuk mengolah hal teribet di alam semesta yang dinamakan bahasa, kita malah suka nyusahin diri sendiri.Satu kata bisa punya jutaan arti.Satu nada bisa merubah keseluruhan kalimat.Jadilah, yang gak diucapin itu jauh lebih penting daripada yang diucapin.Intinya sih, manusia itu sejak dini sudah dididik jadi munafik dan pembohong. Dan, makin tinggi status sosialmu di masyarakat, makin lihai dan mulus pula kepalsuan yang bakal kau temui.Semua jadi terselubung.Cemoohan. Sindirian. Pujian. Ekspresi hasrat.Bahkan, ancaman.&
Rasanya seperti masuk ke ruangan campuran antara perpustakaan, geladak kapal karam, dan kandang babi.Banyak barang yang berserakan di lantai.Perkamen bertulisan gak jelas, tabung kaca dengan permukaan keroak, bahkan kepingan tanah liat yang sepertinya dulunya tembikar atau hiasan.Aku mengambil satu pecahan tembikar.Mengilap. Dipoles dengan hati-hati. Aku yakin, dulunya ini adalah barang mahal yang estetik.Tapi, yang lebih mencolok di sini adalah baunya.Masam keringat. Busuk menyengat. Dan yang paling tercium di antara semuanya: keputusasaan.Di antara gunungan perabot rongsok yang menyerupai reruntuhan purba itu, Lucian masih asyik berkutat dengan perkamen lain—dengan warna lebih cerah, kuduga yang ini baru—dan tabung kaca baru pula.
Ibu tumbang, beberapa kali batuk darah.Dilihat bagaimanapun, dia akan tewas.Enggak. Enggak mungkin.Kenapa?Siapa?Air mata turun dari mataku dengan begitu deras. Aduh … aku kenapa, sih?Saat begini, aku gak boleh nangis. Aku mesti kuat. “Ibu ... Ibu … Ibu …” Aku berusaha berhenti, tapi makin ditahan, raunganku makin nyaring.Ibu mengulurkan tangan.Itu … entah kenapa terasa jauh.Aku berusaha menggapainya, dan saat itulah aku melihatnya.Tangan berlumuran darah. Sehitam ter dan lebih pekat dari kegelapan.Tangaku.Aku tak tahu kapan aku mulai berteriak dan bergetar tanpa ke