Semua Bab MENGAPA CINTA MENYAPA: Bab 71 - Bab 80
137 Bab
Lebay
Jari-jari Vonny lincah menekan tombol telpon.Terdengar dering dua kali sebelum kemudian gagang telpon di ujung sana diangkat seseorang."Ran, aku dengar suara pintu dibanting.""Lantas?""Itu bukan kamu kan?" Untuk sesaat Rania tak tahu apakah perlu menjawab jujur atau bagaimana. Vonny rupanya mendengar jelas suara pintu yang ia banting tepat di muka Verdi!"Kenapa kamu berpikir begitu? Aku... aku nggak apa-apa."Vonny terdengar lega."Kirain kamu kena apa-apa. Dijahili orang, dirampok, atau diperkosa."“Dasar lebay.” “Idiiiih, dengan postur semlohay seperti kamu, siapa laki-laki yang nggak punya kepikiran kea rah sana. Wueee.”"Aduh kamu itu. Udah ku bantu masih bisa ngeledek. Udah ah. Aku nggak apa-apa koq. Anyway, terima kasih untuk perhatiannya.""Ya udah, aku lanjutin istirahat lagi ya." Klek. 
Baca selengkapnya
Friends Now?
Derai tawa pecah seketika. Dari mulanya senyuman, tawa kecil, sampai berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal. Suasana berubah lega, tak lagi menakutkan atau mengkhawatirkan. Kalau pun ada bencana, itu hanyalah sebuah luka biasa berupa lecet berukuran sangat kecil yang tak meninggalkan luka menganga di kedalaman hati. Tawa lepas keduanya meruntuhkan tembok kekakuan yang selama ini terbangun. “Aku heran. Bukannya kamu dengan Khun Nichaon rencananya mau dinner bareng sehabis mengantar aku dan Vonny?”Diingatkan seperti itu membuat Verdi berpikir sejenak sebelum kemudian tersenyum lebar.“Ooo, aku mengerti.” Ia bangun dan lantas berdiri tegak yang kemudian diikuti Rania.“Tapi ajakan Nichaon bukanlah ajakan makan malam. Kami batalkan. Dia malah meminta untuk aku menemaninya kembali ke kantor.”“Kembali ke kantor? Buat apa?”“Astaga, kamu nggak lupa kan bahwa ada pengiri
Baca selengkapnya
Wei You Flom?
"Bagaimana keadaannya?”“Kondisinya membaik tapi ia belum ingin makan banyak. Aku malah sekarang balik memikirkan dirimu.”“Hidungku?”“Ya.”“Nggak apa-apa. Obat antiseptik yang tadi aku beli sudah cukup. Kamu sendiri bagaimana?”” Rania mengerutkan kening. “Aku nggak paham maksud pertanyaanmu.”“Obat yang kamu pakai untuk mengurut aku, akan jadi dipakai kan?”Rania tertawa keras. Verdi menyusul dalam rentang waktu sedetik kemudian. Suasana sepi malam hari di lobby yang mereka lintasi membuat tawa mereka terdengar begitu keras. “Maaf kalau aku membanting pintu keras sampai hidungmu terluka.”Verdi merapatkan jaket yang memang ia kenakan sejak tadi. “Boleh percaya boleh nggak, aku nggak keberatan hidungku harus terluka lagi kalau harus melihatimu dulu dengan keadaan seperti tadi.”
Baca selengkapnya
Di Bawah Langit Bangkok (1)
"Wai a yu samai, nah?"Rania menaikkan alis mata. Ia sama sekali tak menangkap artinya. Yang ia tahu, akhiran kata 'nah' itu semacam 'sih' atau 'lho' atau 'euy' dalam bahasa Sunda. Tak memiliki arti dan hanya sekedar kebiasaan. Sepertinya bahasa Inggris yang diucapkan orang Indonesia masih lebih jelas dibandingkan jika diucapkan orang Thailand! Di luar dugaan, Verdi ternyata mengerti apa yang diucapkan orang itu. "Do you mean why we smile?" Verdi dan Rania nyaris terlonjak ketika orang itu mengucap "yes" dengan keras dan mengagetkan."We are smiling because we are happy in Bangkok," jawab Verdi.Jawaban tadi membahagiakan pria itu. "Yu hepi? Gut nah. Guuut..."“Yes, it is good,” Verdi menimpali.Pengalaman bergaul yang unik, pikir Rania. Apalagi yang menunggunya setelah ini? Tak butuh lama sebelum kapal kemudian bersandar di dermaga tujuan
Baca selengkapnya
Di Bawah Langit Bangkok (2)
“Ya, ya, ya. Jadi untuk saat ini tolong lupakan mesin penerjemah sialan yang sukses membuat aku malu besar itu, OK? Sekarang, kuminta tolong kamu kenakan jaket ini.”Rania tidak protes saat Verdi kembali memasang jaket itu. Saat di paskan di bahu dan Verdi menutup ekstra hati-hati di retsletingnya, ada getar aneh menyengat dari dalam dirinya. Jelas sekali Verdi tidak memanfaatkan keadaan itu untuk secara pura-pura tidak sengaja menyentuh bagian-bagian tubuh tertentunya. Namun kendati sentuhan demikian tidak terjadi, Rania merasa aneh sendiri. Deru nafas Verdi karena sangat dekat dengan dirinya beserta sentuhan-sentuhan kecil yang hanya sekedar menyentuh bahu, punggung atau lengannya terasa meninggalkan sengatan misterius yang terasa kuat menggetarkan kedalaman sanubari. Setelah selesai memasang dan mematut jaket, Verdi lantas melihati Rania dari berbagai sisi dan khususnya dari arah depan. Jaket dengan bahan semi kulit dan
Baca selengkapnya
Di Bawah Langit Bangkok (3)
Rania mendekat. "Aku bukan cenayang tapi aku melihat kegundahan di matamu mengenai perusahaan. Kamu seperti berhenti berharap. Janganlah seperti itu.""Maksudmu?""Aku mungkin tidak terlalu religius. Tapi kurasa ada saat-saat dalam hidup dimana kita betul-betul berpasrah pada keadaan. Kita tidak bisa berbuat apa pun tanpa campur tangan Yang Di Atas sana." Sesaat Verdi tidak bereaksi. Namun tak lama kemudian ia mengangguk setuju."Thanks for your advice," katanya sambil menatapi cermat seorang gadis remaja Thailand yang tengah menaruh dupa di tempat persembahyangan pada sebuah sudut jalan. Kekhusukannya tidak terganggu kendati banyak orang berlalu-lalang di belakangnya. Verdi menghela nafas dalam-dalam dan dengan cepat Rania menangkap sesuatu di mata Verdi. “Kamu seperti cemas?”Verdi tak bereaksi beberapa lama sebelum akhirnya memberikan jawabnya. “Memang.”“Kenapa?&rd
Baca selengkapnya
Di Bawah Langit Bangkok (4)
“Kenapa malah berhenti?” tanya Verdi. “Alat fotonya rusak?”“Tidak, bukan itu. Aku penasaran dan izinkan aku bertanya sesuatu. Mmm, kalian tidak sedang bermusuhan kan?” “No!” – 2x. Rania dan Verdi memang menjawab serempak.“Sama sekali tidak,” kata Verdi."Kenapa bisa berpikir begitu?" tanya Rania. “Bisa-bisanya berpikir kami berdua sedang bermusuhan.” Si juru foto menghentikan pemotretannya sejenak. Ia kemudian mendekati mereka berdua. “Kalau begitu, izinkan aku untuk mengatur posisi kalian. Memalukan. Kalian suami isteri tapi bersikap seperti baru saling kenal. Kalian benar-benar pasangan suami isteri paling pemalu yang saya pernah lihat. C’mon, this is Bangkok!” Rania mendegut ludah. Ekspresinya gugup dan panik sementara Verdi sendiri nampak antara bingung dan ingin tahu namun masih sempat ters
Baca selengkapnya
Di Lounge Room
Air liur nyaris menitik keluar dari mulut Vonny saat melihat deretan makanan kecil serta minuman di meja putar didepannya. Di Lounge, ruang tunggu penumpang kelas bisnis dan VIP, salah satu maskapai penerbangan besar, para calon penumpang dimanjakan dengan makanan dan minuman serba istimewa. Roti berbagai jenis yang masih menyisakan kehangatan dari oven, aneka cupcakes, croissant, kue-kue berbagai bentuk dan warna, soft drink, juice, red wine, white wine, champagne sampai teh dan kopi. Belum termasuk es krim, kembang gula dan coklat. Bagi Vonny, berpikir untuk diet di saat itu benar-benar merupakan kebodohan besar. Alunan musik resital piano terdengar mengalun dari pengeras suara, sementara di empat sudut terpampang masing-masing sebuah televisi LED berukuran 40 inci yang menyiarkan berbagai tayangan, mulai dari siaran lokal hingga TV kabel. Dari balik kaca yang berbatasan langsung dengan apron bandara, beberapa pesawat jenis
Baca selengkapnya
Nyatakan Cinta
Disergap rasa ingin tahu sekaligus dibumbui sedikit jiwa petualang, Vonny merasa 'gatal' ingin memeriksa. Betul, itu tidak sopan. Tapi rasa 'kepo' yang menjadi-jadi begitu kuat. Semalam, dari dalam kamar, ia sempat mendengar suara-suara Rania dan Verdi. Tapi rasa letih membuatnya mengabaikan semua itu. Dan pagi ini, ia memiliki kesempatan untuk secara nekad ikut mengintip isi email tadi. Feelingnya menyatakan bahwa email itu ada hubungannya dengan apa yang ia dengar semalam. Akhirnya, dengan nekad ia menolehkan kepalanya sedikit serta memicingkan mata untuk mencoba mengintip isi email yang pesannya nampak sangat singkat itu. Senyumnya melebar melihat isi email singkat tadi.Betul dugaannya.Verdi menyatakan cinta! *  Siang itu cuaca panas terik. Itu dibuktikan dengan dua orang di kejauhan yang berpayung karena tak tahan terhadap sengatan matahari. Ini sebuah momen yang pas untuk Terry
Baca selengkapnya
Meeting
“Apa yang disampaikan oleh Verdi tak sepenuhnya benar,” Rajha mulai bersuara. “Jika aku dipersoalkan karena mempekerjakan orang-orang yang berasal dari negaraku – seperti yang dituduhkan Verdi – pertimbangannya adalah benar-benar profesionalitas.”Semua orang terdiam. Beberapa orang seperti Renty dan Edwin nampak manggut-manggut seolah memahami betul konteks permasalahan yang ada. Rania tahu, mereka adalah tipe yes-man yang akan selalu mengiyakan apa saja yang dikatakan Rajha sebagai General Manager. “Ucapan Mr. Rajha benar.”Betul kan? Kata Rania dalam hati. Ia melirik ke orang yang tadi berkata demikian, dan melihat Renty di sudut lain. Mendadak Rania teringat peristiwa hari Sabtu pagi, hampir sebulan lalu ketika memergoki wanita itu bersama Rajha melakukan hal yang tidak semestinya di ruang kerja General Manager. “Hanya para profesional yang bek
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status