“Ya, ya, ya. Jadi untuk saat ini tolong lupakan mesin penerjemah sialan yang sukses membuat aku malu besar itu, OK? Sekarang, kuminta tolong kamu kenakan jaket ini.”
Rania tidak protes saat Verdi kembali memasang jaket itu. Saat di paskan di bahu dan Verdi menutup ekstra hati-hati di retsletingnya, ada getar aneh menyengat dari dalam dirinya.
Jelas sekali Verdi tidak memanfaatkan keadaan itu untuk secara pura-pura tidak sengaja menyentuh bagian-bagian tubuh tertentunya. Namun kendati sentuhan demikian tidak terjadi, Rania merasa aneh sendiri. Deru nafas Verdi karena sangat dekat dengan dirinya beserta sentuhan-sentuhan kecil yang hanya sekedar menyentuh bahu, punggung atau lengannya terasa meninggalkan sengatan misterius yang terasa kuat menggetarkan kedalaman sanubari.
Setelah selesai memasang dan mematut jaket, Verdi lantas melihati Rania dari berbagai sisi dan khususnya dari arah depan. Jaket dengan bahan semi kulit dan
Rania mendekat. "Aku bukan cenayang tapi aku melihat kegundahan di matamu mengenai perusahaan. Kamu seperti berhenti berharap. Janganlah seperti itu.""Maksudmu?""Aku mungkin tidak terlalu religius. Tapi kurasa ada saat-saat dalam hidup dimana kita betul-betul berpasrah pada keadaan. Kita tidak bisa berbuat apa pun tanpa campur tangan Yang Di Atas sana."Sesaat Verdi tidak bereaksi. Namun tak lama kemudian ia mengangguk setuju."Thanks for your advice," katanya sambil menatapi cermat seorang gadis remaja Thailand yang tengah menaruh dupa di tempat persembahyangan pada sebuah sudut jalan. Kekhusukannya tidak terganggu kendati banyak orang berlalu-lalang di belakangnya. Verdi menghela nafas dalam-dalam dan dengan cepat Rania menangkap sesuatu di mata Verdi.“Kamu seperti cemas?”Verdi tak bereaksi beberapa lama sebelum akhirnya memberikan jawabnya. “Memang.”“Kenapa?&rd
“Kenapa malah berhenti?” tanya Verdi. “Alat fotonya rusak?”“Tidak, bukan itu. Aku penasaran dan izinkan aku bertanya sesuatu. Mmm, kalian tidak sedang bermusuhan kan?”“No!” – 2x. Rania dan Verdi memang menjawab serempak.“Sama sekali tidak,” kata Verdi."Kenapa bisa berpikir begitu?" tanya Rania. “Bisa-bisanya berpikir kami berdua sedang bermusuhan.”Si juru foto menghentikan pemotretannya sejenak. Ia kemudian mendekati mereka berdua. “Kalau begitu, izinkan aku untuk mengatur posisi kalian. Memalukan. Kalian suami isteri tapi bersikap seperti baru saling kenal. Kalian benar-benar pasangan suami isteri paling pemalu yang saya pernah lihat. C’mon, this is Bangkok!”Rania mendegut ludah. Ekspresinya gugup dan panik sementara Verdi sendiri nampak antara bingung dan ingin tahu namun masih sempat ters
Air liur nyaris menitik keluar dari mulut Vonny saat melihat deretan makanan kecil serta minuman di meja putar didepannya. Di Lounge, ruang tunggu penumpang kelas bisnis dan VIP, salah satu maskapai penerbangan besar, para calon penumpang dimanjakan dengan makanan dan minuman serba istimewa. Roti berbagai jenis yang masih menyisakan kehangatan dari oven, aneka cupcakes, croissant, kue-kue berbagai bentuk dan warna, soft drink, juice, red wine, white wine, champagne sampai teh dan kopi. Belum termasuk es krim, kembang gula dan coklat. Bagi Vonny, berpikir untuk diet di saat itu benar-benar merupakan kebodohan besar.Alunan musik resital piano terdengar mengalun dari pengeras suara, sementara di empat sudut terpampang masing-masing sebuah televisi LED berukuran 40 inci yang menyiarkan berbagai tayangan, mulai dari siaran lokal hingga TV kabel. Dari balik kaca yang berbatasan langsung dengan apron bandara, beberapa pesawat jenis
Disergap rasa ingin tahu sekaligus dibumbui sedikit jiwa petualang, Vonny merasa 'gatal' ingin memeriksa. Betul, itu tidak sopan. Tapi rasa 'kepo' yang menjadi-jadi begitu kuat. Semalam, dari dalam kamar, ia sempat mendengar suara-suara Rania dan Verdi. Tapi rasa letih membuatnya mengabaikan semua itu. Dan pagi ini, ia memiliki kesempatan untuk secara nekad ikut mengintip isi email tadi. Feelingnya menyatakan bahwa email itu ada hubungannya dengan apa yang ia dengar semalam.Akhirnya, dengan nekad ia menolehkan kepalanya sedikit serta memicingkan mata untuk mencoba mengintip isi email yang pesannya nampak sangat singkat itu. Senyumnya melebar melihat isi email singkat tadi.Betul dugaannya.Verdi menyatakan cinta!*Siang itu cuaca panas terik. Itu dibuktikan dengan dua orang di kejauhan yang berpayung karena tak tahan terhadap sengatan matahari. Ini sebuah momen yang pas untuk Terry
“Apa yang disampaikan oleh Verdi tak sepenuhnya benar,” Rajha mulai bersuara. “Jika aku dipersoalkan karena mempekerjakan orang-orang yang berasal dari negaraku – seperti yang dituduhkan Verdi – pertimbangannya adalah benar-benar profesionalitas.”Semua orang terdiam. Beberapa orang seperti Renty dan Edwin nampak manggut-manggut seolah memahami betul konteks permasalahan yang ada. Rania tahu, mereka adalah tipe yes-man yang akan selalu mengiyakan apa saja yang dikatakan Rajha sebagai General Manager.“Ucapan Mr. Rajha benar.”Betul kan? Kata Rania dalam hati. Ia melirik ke orang yang tadi berkata demikian, dan melihat Renty di sudut lain. Mendadak Rania teringat peristiwa hari Sabtu pagi, hampir sebulan lalu ketika memergoki wanita itu bersama Rajha melakukan hal yang tidak semestinya di ruang kerja General Manager.“Hanya para profesional yang bek
“Kita bicarakan kasus ini secara terpisah pada waktu dan kesempatan berbeda.”“What?” Verdi nampak kaget. Kekagetan yang sama ditunjukkan para manajer lokal yang ada di ruangan.“Anda dengar ucapan aku tadi kan? Kita akan bicarakan kasus ini secara terpisah pada waktu dan kesempatan berbeda.”“Anda tidak ingin kasus ini terselesaikan?”“Absolutely. Tapi bukan sekarang ini.”“When?”“Pada kunjunganku berikut,” jawabnya santai. “Entah kapan.”Verdi langsung lesu. Tidak perlu menjadi seorang yang jenius untuk mengerti makna ucapan Lakshmanan tadi. Kasus yang diungkit oleh Verdi dalam pertemuan ini, ternyata tidak ditanggapi serius.“Aku memahami kekecewaan.... maaf, siapa namamu tadi?""Verdi.""Aku memahamimu, Verdi. Tapi, aku harus mengejar pesawat sore ini.”&n
Betul, pria itu tak bisa lagi mengancam dirinya sejak Edwin sebagai atasannya menolak dan bahkan merobek laporan mengenai kondisi klepto yang ia alami. Pria jahat itu sudah menyerah. Tapi faktanya kini adalah bahwa ia sudah merasa tercemar.“Mengapa diam?”Tak tertahankan, setitik air akhirnya bergulir. Menganak sungai di pipi. “Aku…. Tidak tahu.”“Tidak tahu?” Verdi nampak bingung. “Kissing di Bangkok tempo hari, itu bukan cinta?”“Aku tidak tahu, Verdi,” Rania menggeleng cepat. “Semua ini terlalu cepat bagiku. Yang kulakukan di Bangkok, bisa saja itu hanya sekedar sikap emocional sesaat. Jadi, tak perlu terlalu disimpan di dalam hati.”*Sejak berjam-jam tadi rupanya sebuah pesan chat masuk di ponsel dan baru Rania baca saat itu. Mulutnya seketika menggurat senyum. Terry mengirim sebuah pesan chat joke. Joke ata
Walau dituduh gagal dan dianggap bertanggungjawab oleh pihak perusahaan dalam melakukan teknis pekerjaan, seluruh karyawan dapat dengan mudah memahami bahwa penyebab utama permasalahan bukan di situ. Masalah utama adalah ketegasan sikap Verdi saat dengan tegas hendak membongkar kebusukan nepotisme yang terjadi. Harapan karyawan lokal yang memimpikan persamaan hak dengan tenaga kerja asing, pada akhirnya harus ikut terkubur seiring dengan akan hengkangnya Verdi dari posisinya selama ini.Email balasan dari pesan perpisahan Verdi yang mengungkapkan simpati dan pujian terus berdatangan. Semuanya masih belum sepenuhnya ia baca ketika Verdi mulai melakukan pamit dengan mendatangi rekan kerja satu per satu. Ini benar-benar merupakan momen yang mungkin tidak akan dapat ia lupakan seumur hidup. Beberapa karyawan wanita malah begitu emosional sehingga tidak sanggup lagi membendung air mata tanda perpisahan. Verdi nampak mencoba sekuat tenaga untuk