All Chapters of Nafkah yang Disunat Suamiku: Chapter 91 - Chapter 100
133 Chapters
Bab 91 Jangan Dekat Aku
Keesokan harinya, aku terbangun dengan kepala yang terasa menempel dengan bantal. Seakan ada lem kuat yang merekatkan kepala ini dengan benda berisi dakron tersebut. Memejamkan mata lebih lama, lalu beringsut bangun. Aku memijit pelipis perlahan, masih dengan mata terpejam.Meraba leher, terasa olehku kalau suhu tubuh tengah naik. Apakah aku demam? Dan ini, oh, kenapa perutku seperti diaduk-aduk?Mencoba mengingat, apakah semalam aku salah makan, ataukah ini hanya masuk angin saja, sebab semalam kena angin hingga jam sepuluh?Tak tahan lagi, segera saja aku berlari ke wastafel, mengeluarkan desakan lahar dari lambung yang mendesak tak sabar. Namun, hanya cairan kuning yang keluar dari sana, menyisakan rasa pahit di pangkal lidah.Mas Mirza yang muncul di depan pintu langsung menghampiri dengan raut cemas. "Mbak, kamu kenapa?" Lelaki tiga puluh lima tahun itu masih mengenakan baju koko dan sarung. Nampaknya ia baru pulang dari masjid. Kening dan leherku diperiksa dengan punggung tang
Read more
Bab 92 Ibu sakit apa?
Berempat kami menuju klinik terdekat. Badanku terasa lebih baik, meski masih lemas tak bertenaga. Bakso yang dibawakan Mas Mirza, nyatanya tetap tak diterima oleh lambungku.Ia merasa bersalah, meskipun aku mengatakan tak apa-apa. Biasanya memang tak apa, aku menyukai makanan itu dan menyantap sepenuh hati tadi.Hanya saja, entah apa yang terjadi. Mungkin asam lambungku kembali naik, karena beberapa hal yang mengganggu pikiran.Segelas jus wortel dan begkuang yang lezat dibuatkan khusus untukku, yang langsung kuhabiskan. Rasanya badanku jauh lebih baik, hingga ia tak menunda membawaku ke dokter, supaya segera diketahui apa sakitku.Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Hanya beberapa orang yang duduk antri di ruang tunggu. Mas Mirza pun sudah mendaftar online, jadi tinggal menunggu waktu untuk dipanggil.Sekitar lima belas menit duduk di sana, namaku pun disebut, membuatku bergegas memasuki ruang periksa, dengan kedua tangan menggandeng dua bocil.Sebuah ruangan yang cukup luas, de
Read more
Bab 93. Rahasia
"Tega amat nggak mau dekat ayahnya," keluh Mas Mirza, dengan menatap lekat ke perutku yang belum terlihat buncit.Aku dapat melihat dunianya yang berderak patah pada matanya yang kelam. Meski hati dilanda rasa bersalah, tapi, hanya bisa meringis menanggapi ucapannya, sambil mengelus perut."Sabar, ya, Yah," ujarku, mencoba menenangkan. Usia kehamilanku telah memasuki bulan kelima, dan aku masih sama, tak mau dekat dengannya. Kecuali … ."Apakah ini akan berjalan selama kehamilan?" ucapnya, serupa putus harapan.Mama mertua, yang kebetulan sedang berkunjung pun tertawa kecil, lalu berkata, "sabar, Mirza. Nanti juga normal lagi, seiring bertambahnya usia janin."Sosok berhidung mancung itu mengangguk-anggukkan kepalanya."Baiklah, aku akan sabar menunggu," ucapnya pelan."Aku bisa gila kalau lama-lama jauh sama kamu, Mbak," ucap Mas Mirza malam harinya, saat tinggal kami berdua yang terjaga. Aku mulai beradaptasi dengan perubahan kondisi tubuh, serta mood yang naik turun. Meski demikian
Read more
Bab 94. Bumil absurd
"Ibu … jilbabku mana?"Suara Arsy menggema di Senin pagi. Aku yang tengah memindahkan nasi goreng ke piring, bergegas mencuci tangan, lalu menghampiri anakku yang telah tumbuh besar dan semakin tinggi."Di tempat jilbab kan, Kak?" Aku bertanya sambil masuk ke kamarnya.Gadis cantik itu masih cemberut, menunggu di depan pintu. Gegas aku meraih jilbab putih yang kutemukan di balik lemari kamar, tergantung rapi di sana.Membuka lipatan dan bersiap memakaikan padanya yang telah menyandang tas ransel, dengan wajah ditekuk. Hem, dia selalu begini jika tak segera menemukan yang dicari. "Makanya kalau nyari apa-apa itu yang teliti. Dibuka satu-satu, biar kelihatan."Terngiang lagi ucapan ibu, saat aku masih kecil dulu, yang selalu tak menemukan barang yang dicari, padahal hanya dekat saja. Lalu ibu lah yang akhirnya menjadi mata, menemukan benda apa pun yang kucari. Ah, mungkin Arsy ini bentuk lain dari diriku di masa lalu. Buah jatuh t
Read more
Bab 95. Lelaki berhati malaikat
Lima bulan berlalu. Janin dalam rahimku kini telah lahir dan tumbuh sebagai bayi kecil nan lucu dan menyenangkan setiap mata yang melihatnya. Najwa Humaira, nama yang indah diberikan oleh sang ayah untuknya.Kehadirannya, telah memberikan warna baru di hidupku. Kedua kakaknya, meski menyambut kehadiran sang adik dengan hati gembira, nampaknya mulai muncul percikan api cemburu, karena tentu saja sebagian besar perhatianku tercurah untuk si bayi yang sedang bertumbuh dan butuh perhatian ekstra.Mas Mirza menambah lagi satu asisten, demi memudahkan aku mengurus ketiga buah hati. Hal ini membuat rasa syukurku berlipat-lipat."Aku tak mau kamu kelelahan. Jadi, tolong jangan ditolak semua ini," ujarnya saat aku menolak asisten yang ia sodorkan hari itu.Yang sebenarnya, aku takut kalau ada keluarganya yang keberatan atas kebaikannya padaku selama ini. Ia cenderung memanjakan, memenuhi semua apa yang kuinginkan, bahkan sebelum aku sempat berucap. Ia seakan bisa membaca isi hati ini.Pada akhi
Read more
Bab 96. Ada Aku
Hari masih sangat muda, ketika sebuah telepon masuk ke ponselku. Deringnya yang menjerit tak sabar, seketika menghentikan kegiatanku menyusun piring di meja.Bu Joko?"Mbak Lisa, saya pesan arem-arem sama risoles, masing-masing seratus, ya. Buat nanti jam dua belas siang. Bisa, kan, Mbak?"Pertanyaan Bu Joko membrudul setelah kujawab salamnya. Niat hati bersantai di hari libur, tapi hendak menolak juga sungkan sebab sudah langganan.Dengan tangan kiri memegang ponsel, aku memeriksa isi kulkas. Sayur ada, daging ayam fillet masih cukup. Daun pisang masih banyak di kulkas paling bawah. Kini aku beralih memeriksa stok beras ketan, abon dan tepung-tepungan.Tanpa sadar aku mengangguk-anggukkan kepala. Semua bahan komplit, maka aku mengiyakan, dengan pertimbangan, ada Bu Marni dan Mbak Asih yang akan membantuku menghandle pesanan kali ini. Pun Mas Mirza libur, bisa menjaga anak-anak."Uangnya sudah saya transfer, lunas.
Read more
Bab 97. Ancaman
Mama melangkah dengan anggun. Wanita di ujung usia kepala enam itu masih terlihat cantik dan modis. Meski sedikit terkejut saat beliau tiba-tiba muncul di rumah tanpa kabar lebih dulu, aku tetap menyambut beliau dengan senyum terbaik."Lisa, itu tadi Mama bawakan buah sama sayur katuk, biar banyak ASI buat cucu Mama yang cantik."Mama menuju bagasi dan membukanya. Aku mengekor di belakang beliau. Terlihat olehku di sana penuh berisi buah-buahan segar, juga beberapa kotak donat dari merk terkenal. Mama bahkan mengerti kalau Arsy dan Arkan menyukai donat tersebut. Sungguh eyang yang baik dan penuh kasih sayang. Mereka akan senang sekali menerima ini nanti. Aku segera beranjak mengikuti Mama yang sudah lebih dulu memasuki rumah, tak sabar hendak memberikan oleh-oleh ini untuk dua anak manis.Arsy dan Arkan yang sedang asyik menggambar sambil nonton kartun kesayangan, langsung menyambut kedatangan Mama.Aku bersyukur Mama menerima mereka berdua sebagai cuc
Read more
Bab 98. Kamu tak Marah?
Hujan masih turun membasahi bumi. Mama telah meninggalkan rumah ini sejak sore tadi. Tapi, luka yang beliau torehkan, masih terasa di sini.Mbak Lisa, masih kudengar isakannya, meski aku telah berusaha menenangkan."Kalian jangan bertengkar karena aku. Biarlah aku saja yang mundur, kalian ibu dan anak, jangan seperti ini. Nanti kalau anak-anak lihat, mereka akan sedih melihat orang tuanya saling adu urat," ucapnya sore tadi.Aku geram menatap Mama, yang tak menyangkal tuduhanku, bahwa beliau sering melakukan intimidasi pada istriku. Apa dia lupa, cucu yang ditimang-timang sejak datang tadi itu lahir dari mana, dari rahim siapa?Sudah sejauh ini, kenapa aku baru tau? "Maaf, Mas. Aku tak mau hubunganmu dengan Mama memburuk," ucapnya dengan rasa sesal. Aku mencoba memahami posisinya, menempatkan diri sebagai dirinya."Seharusnya Mama katakan sejak awal, kalau dia terlalu tua menjadi istrimu, Mirza! Dia tak sejajar denganmu, apa kau tau?"Oh, astaghfirullah, apa yang ada dalam pikiran Mam
Read more
Bab 99. Putri dan Ibu
"Lisa!"Putri memekik lalu menghambur memelukku. Meski menjadi wanita super sibuk, ia selalu menyempatkan waktu berkunjung ke rumah.Kami lalu masuk dan bergabung dengan anak-anak. Putri segera mengambil Najwa ke dalam gendongannya."Ya ampun, kamu endut banget, sih, Dek."Diciuminya bayi kecil itu, hingga terdengar suara tawanya yang lucu. Aku ikut tersenyum melihat adegan di depanku. Teriring doa, semoga sahabatku ini diberikan kepercayaan memiliki buah hati.Sesungguhnya ia wanita cantik dan energik, serta penyayang pada setiap anak kecil, termasuk anak-anakku. Dia sukses di karir, memiliki suami yang penyayang, memiliki keluarga yang harmonis. Dari luar, tentu orang akan menganggap bahwa ia memiliki keluarga yang sempurna.Namun, di balik itu semua, dia menyimpan satu kerinduan akan hadirnya buah hati. Setelah sekian lama berumahtangga, belum juga ada tanda-tanda hadirnya zuriat di rahimnya.Berkunjung ke sini dan bermain dengan anak-anakku adalah salah satu kesenangannya, selain b
Read more
Bab 100. Tamu
Aku menghubungi Mas Mirza, menyampaikan keinginan ibu untuk pulang. Lelaki baik itu pun meminta supaya ibu mau bersabar menunggu ia menyelesaikan pekerjaan.Sekitar satu jam kemudian, pria tampan yang dua tahun terakhir menjadi suamiku itu telah memasuki rumah. Ibu sedang istirahat di kamarnya saat ia tiba."Mungkin ibu kangen sama cucunya yang di sana. Nggak apa-apa kita antar, nanti kalau sudah waktunya periksa biar Mas jemput."Aku kembali dibuat terharu dengan kebaikan suamiku. Ia memperlakukan ibuku seperti ibunya sendiri.Selama tinggal di sini, dialah yang lebih banyak berperan pada kesehatan ibu. Membantu ibu berdiri dari kursi roda, lalu mengajari beliau menggunakan kruk.Lelaki baik itu menyediakan waktu khusus demi pulihnya kondisi sang ibu mertua. Tak sekalipun kudengar keluhan dari lisannya, dan semoga saja memang demikian adanya.Aku menatap wajah yang tersenyum itu lekat-lekat, membuat ia mengernyitkan keningnya.
Read more
PREV
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status