All Chapters of Hamil anak siapa?: Chapter 11 - Chapter 20
98 Chapters
Kebaikan seorang Azil
Hari pertama tinggal di paviliun, Risa dan Nadia tampak masih sungkan dengan Azil. Pria itu bahkan membantu membersihkan beberapa sudut ruangan. Risa sudah menolak, ia menginginkan dirinya saja yang membersihkannya, tapi Azil tak mau dan tetap membantu. “Kamu jangan sungkan begitu, Risa. Aku ikhlas bantu kamu dan Nadia,” tuturnya sambil terus menyapu lantai. “Yakin? Kamu nggak takut timbul fitnah dari tetangga atau bahkan … pasien kamu?” kata Risa sambil memasang taplak meja makan kecil yang juga dijadikan meja serbaguna lainnya. Paviliun itu hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi dengan ruang tamu kecil di depan. Tidak ada dapur sehingga Azil meminta Risa untuk tidak canggung memasak di rumah utama. “Kamu mau cari kerja lagi, ‘kan?” Azil selesai menyapu lantai, lalu duduk di kursi dekat pintu. “Iya. Dari sini ke kebun sayur jaraknya jauh, nggak mungkin juga aku bawa-bawa Nadia jalan kaki.” “Terus, mau kerja di mana?” “Belum tau. Aku coba tanya ke teman di pasar.” “Jangan. K
Read more
Cerita masa lalu
Risa memiringkan tubuhnya lalu memeluk Nadia yang tidur tepat disampingnya. Ia menatap lekat wajah sang putri kemudian menyadari wajah gadis kecil itu semakin hari semakin mirip dengan laki-laki yang seharusnya, bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Risa ingat betul ancaman yang diucapkan lelaki itu, setelah dirinya ternodai lalu dibuang seperti sampai dipinggir jalan. Malam itu, setelah apa yang terjadi dengan dirinya–tepat pukul dua dini hari–lelaki itu mengantar pulang Risa yang memeluk dirinya sendiri dengan kepala tertunduk. “Jangan kamu bocorkan apa yang sudah saya lakukan ke kamu, Risa. Ingat. Kedua orang tua kamu bisa celaka.” Risa ingat kalimat itu, ia tak menjawab, hanya terus diam dengan pandangan ke arah kiri, menatap jalanan yang masih lengang. Saat tiba di rumah, jalannya tidak seperti biasa. Kedua orang tuanya hanya tau Risa pulang terlambat karena menumpang mengerjakan tugas kuliah lalu ketiduran di kosan temannya, tak tau jika putri satu-satunya baru saja teren
Read more
Pencarian
Lelaki itu berjalan mondar mandir di dalam kamar megah layaknya hotel bintang lima. Disisi lain, tepatnya di hadapan meja rias, duduk seorang wanita cantik sedang merapikan tatanan rambutnya. “Kamu kenapa mondar mandir gitu? Kayak orang bingung, Mas?” Suaminya terkejut, ia menatap sang istri lalu tersenyum tipis. “Nggak papa, aku cuma lagi berpikir tentang urusan perusahaan. Apa kamu tau siapa saja investor yang kompeten untuk aku ajak kerja sama?” “Kamu butuh investor untuk apa? Jadi bikin proyek perumahan untuk kalangan pasangan muda?” “Iya, jadi. Itu prospek banget, tapi aku butuh pemodal yang mumpuni. Maksudnya gini, aku butuh mereka yang sejalan. Selama ini aku cuma bisa kerja sama dengan orang-orangnya Papa, ‘kan? Aku mau buktikan aku bisa cari sendiri.” “Oke, aku coba bantu tanya ke Papaku ya. Kamu udah siap mau berangkat? Adeva masih tidur, kamu nggak mau ke kamarnya dulu?” Wanita itu beranjak, berjalan mendekat dengan wajah yang mencoba terlihat baik-baik saja. “Kenapa p
Read more
Kota yang sama
Nadia menggenggam erat jemari tangan bundanya, mereka kembali ke kota di mana semua kehancuran dimulai. Risa tersenyum–memaksa sebenarnya–menunjukkan jika kota tidaklah buruk. “Bun, kita mau ke mana?” tanyanya dengan sorot mata yang justru takut. “Kita ke rumah teman Bunda, ya. Dekat dari sini. Nadia masih kuat jalan kaki, ‘kan?” Gadis kecil itu menjawab dengan anggukan kepala. Sejak berpisah dengan Azil dan Bella di terminal bis karena Risa minta turun di sana, sejak saat itu ia berjalan kaki dengan Nadia, hampir sepuluh kilometer. Hal itu sengaja ia lakukan, karena sambil menyusuri jalanan, ia berpikir, bagaimana reaksi keluarga teman lamanya saat bertemu dengannya lagi. Mereka tiba di depan toko yang sangat Risa hapal, tapi mengapa plang namanya berubah, menjadi toko Berkah, bukan nama sebelumnya. Kaki Risa melangkah ke dalam, mengamati sekitar dan terasa begitu berbeda. “Permisi, apa Koh Liem … ada?” tanyanya pelan. Wanita muda yang ditanyai menatap begitu intens sebelum ia m
Read more
Tidak punya Bapak
Risa tak ada pilihan, ia bekerja sebagai tenaga pencuci handuk dan setrika di salon milik Bu Tini. lokasinya berada di dekat toserba milik Ratu. Sial bagi Risa, mengapa ia seperti kembali berada di lingkungan lamanya. Niat awal ingin bertemu keluarga Koh Liem, justru ia terseret ke cerita lama dengan kota yang sama. “Nadia, tunggu, ya, Bunda ambil handuk-handuknya dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Risa sebelum masuk ke dalam salon dan spa untuk mengambil handuk kotor. Nadia mengangguk, bocah empat tahun itu berdiri di pintu belakang salon sambil terus tersenyum. Baju cantik warna merah muda yang ia kenakan, sudah mulai pudar warnanya. Sandal jepit warna kuning yang tampak sudah terlihat dekil juga ia kenakan sebagai alas kaki satu-satunya. Nadia menatap ke arah Risa yang sudah kembali ke arahnya dengan membawa satu keranjang besar berisi handuk kotor. Ia menahan pintu supaya bundanya bisa mudah berjalan. “Kita ke sana, Bun?” tunjuk Nadia ke arah tempat mencuci. “Iya, ayo!” ajak Risa
Read more
Makan kue diam-diam
Mobil sedan mewah berjalan membelah pusat kota yang mulai ramai dengan kesibukan penduduknya. Di dalam mobil itu, duduk seorang anak lelaki berusia lima tahun dengan seragam sekolah TK. Ia merenung, di sebelahnya duduk wanita cantik yang ia panggil Mama sedang menyiapkan buah potong yang dibawa dari rumah. “Dev, makan apelnya,” ucap wanita itu. “Nanti, Ma, masih kenyang,” jawab Deva. “Yaudah, vitamin diminum, ya. Duduknya menghadap Mama, sayang.” Perintah wanita itu harus dituruti anaknya, mau tak mau Deva mengubah posisi duduknya yang tadinya bersandar pada pintu mobil, harus menatap mamanya. Deva membuka mulut, ia menelan vitamin yang diberikan melalui sendok plastik kecil. “Good. Kamu harus sehat terus dan nurut apa kata Mama ya, Nak.” Wanita itu tersenyum lalu mencium kening putranya. Sementara Deva tersenyum tipis sambil meneguk air putih dari botol. Diluar sana, Nadia berjalan bersama Risa menyusuri trotoar. Ia membawa tas kecil berisi kantong plastik dan wadah plastik kecil
Read more
Keterkejutan Arkana
Nadia demam tinggi, hal itu membuat Risa khawatir. Hal ini terjadi apabila putri semata wayangnya itu kelelahan."Nadia, minum obat dulu, 'nak," ujarnya. Nadia bergeming, kedua matanya terpejam. Kali ini tak seperti demam yang sudah-sudah, karena panasnya begitu tinggi. Risa bisa tau walau hanya dengan menyentuh kening sang putri. "Kita ke dokter, sayang, ayo." Risa mengambil dompet, lalu menggendong Nadia di punggungnya. "Peluk Bunda, ya, sayang."Risa memakai sandal jepit, lalu berjalan cepat melalui pintu samping salon dan spa. Jam menunjukan pukul delapan malam, ia menjadi objek orang-orang lalu lalang menatap ke arahnya, selain hari sudah malam juga awan mendung. Klinik yang dituju masih berjarak lima ratus meter lagi, tapi rintik hujan sudah mulai turun.Ya ampun, jangan hujan dulu. ucapnya dalam hati.Risa terus melangkah, tak peduli air dari langit sudah turun semakin deras. Beberapa kali ia membetulkan posisi Nadia digendongannya. Mendadak ia teringat Azil dan Bella, mereka l
Read more
Bertemu tatap
“Permisi,” pamit Risa sambil menggandeng tangan Nadia, mereka berjalan kembali ke arah dapur. Tempat di mana mereka berada jika di rumah itu, menunggu selesai makan siang karena Risa akan membereskan makanan yang tersisa. Risa duduk di kursi kecil bersama Nadia di sebelahnya. Putri kecilnya itu tersenyum sumringah. “Bunda, kita tinggal di sini selamanya?” bisik Nadia. “Nggak, sayang. Bunda mau nabung supaya kita suatu hari bisa punya rumah sendiri, ya. Jangan numpang sama orang lain terus.” Risa mencolek hidung mancung Nadia. “Bun.” “Ya,” sahut Risa yang kini, dengan jemarinya merapikan helai rambut Nadia. “Tadi … tuan yang punya rumah ini, Bun?” Risa diam, ia tau siapa yang dimaksud Nadia. “Iya. Kita panggil dia Tuan Arkana, ya, atau Pak Arkana. Nadia suka panggil yang mana?” “Mmm … Tuan aja, Bunda.” Nadia menatap Risa dibarengi senyuman. Risa mengangguk. Di meja makan, Arkana makan dengan perasaan tak karuan. Sang istri tidak menyadari perubahan raut wajah suaminya k
Read more
Sama-sama cantik
Nadia memekik senang saat Risa membeli ikan mujair satu kilo sebagai makanan mereka nanti siang. Keduanya berjalan kaki menyusuri pasar bersih yang ada di dalam perumahan besar nan elit itu."Bunda, belanja apa lagi?" tanya Nadia sambil terus menggandeng Risa."Sudah, kok. Ayo pulang," ajaknya. Nadia mengangguk, mereka berjalan kaki, karena sudah terbiasa dan Risa tak enak hati untuk minta diantar sopir walau Bu Sumi sudah mengizinkan, rasanya ... canggung.Sambil berjalan ke arah rumah, Risa menatap sekitar hingga kedua matanya berhenti pada penjual gorengan. Ia menyeberang jalan sambil memberi kode tangan supaya kendaraan memelankan laju."Nadia mau ubi goreng?" Risa menyiapkan uang sepuluh ribu."Mau, Bun, sama tahu tepung, ya," lanjut bocah itu."Oke," jawab Risa lalu memesan ke penjual gorengan. Setelah membeli, mereka berjalan ke arah taman yang tak jauh dari rumah. Keduanya duduk setelah berjalan kaki sepuluh menit. Risa memberikan gorengan kesukaan Nadia. Terkadang, ia memberi
Read more
Pelukan
"Bunda, nggak makan? Ikannya enak, Bun," puji Nadia yang duduk di dingklik kecil sambil memangku piring berisi ikan goreng."Udah kenyang, untuk Nadia aja. Makan yang banyak, biar gemuk." Risa merapikan rambut Nadia dengan tangan kanannya lalu ia ikat dengan kuncir rambut warna pink. Risa menempelkan dagu pada kedua lutut yang ia lipat lalu dipeluk erat. Ia tersenyum, bahagia melihat anaknya makan dengan lahap walau dengan ikan goreng.Bukannya di rumah itu ia tidak diberi makan, ia hanya ingin memberi makan Nadia dengan uang yang ia punya. Terkadang, hatinya berat untuk menikmati makanan di rumah itu, seperti ... tidak tertelan.Perut Risa lapar, ia sendiri belum makan, ia ingin anaknya makan sampai kenyang baru ia makan. Bahkan memasak nasi juga setelah matang, ia pindah ke kotak makan miliknya."Bunda setrika baju, ya, Bu Sumi masih belanja. Nadia makan sendiri bisa, 'kan? Nanti cuci tangannya sama Bunda, ya, biar nggak bau amis.""Iya, Bun," jawab Nadia dengan mulut penuh.Arkana
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status