All Chapters of Amarta : Eternal Curse: Chapter 41 - Chapter 50
65 Chapters
Bab 41 Dia yang Terpilih
Wajah Frans terlihat menahan amarah. Garis rahangnya tegas dan kasar, kedua bibirnya mnegatup rapat. Tatapannya tajam dan sangat mengusik hati Amarta."Lelaki ini berbahaya," batin Amarta."Menuruti keinginanku? Memang kamu tahu apa yang aku inginkan?" Frans mengendorkan cengkramannya pada tangan Amarta.Wajah Amarta meringis kesakitan, ditambah suasana yang sudah sangat tidak nyaman diantara mereka berdua. Rasanya Amarta ingin segera pergi dari sana. Seharusnya Amarta tahu sejak awal bahwa Frans adalah jenis lelaki yang seharusnya ia hindari."Jangan seperti ini Frans." Amarta mendorong tubuh Frans perlahan."Lalu kamu ingin aku bagaimana? Aku tidak suka terus bermain-main." Jawab Frans dengan suara baritonnya yang tegas."Aku tidak suka lelaki seperti mu!" bisik Amarta."Tidak suka? Lalu apa kamu menyukai lelaki seperti Tomy? Lelaki yang selalu menjadikan wanita sebagai permainan?" Amarah Frans semakin menjadi.Amarta menatap sengit Frans yang juga menatapnya tak kalah tajam. Dengan
Read more
Bab 42 Malam Pertama
Sejenak pandangan mereka bertemu. Tatapan mendamba dari sepasang kekasih jelas ketara. Tommy mengerti apa yang dimaksud oleh Amarta. Dia bukan pemuda polos tanpa pengalaman. Namun dalam hatinya bertanya, "Secepat inikah dia memberikan apa yang seharusnya ia jaga baik-baik?" Dengan manja jemari Amarta menari di atas dada bidang milik Tommy. Tangannya terampil membuka satu persatu kancing kemeja lelaki dihadapannya itu."Tu-tunggu... Apa maksudnya ini?" tanya Tommy terlihat ragu.Amarta tersenyum, "Apa? Ayolah... Jangan pura-pura polos." "Tapi kita baru satu bulan-" Amarta menaruh jarinya pada bibir Tommy, membuat lelaki itu kehilangan kata-katanya."Ayo!" Amarta menarik tangan Tommy menuju kamarnya."Jawab jujur, kamu mau tapi malu atau memang tidak tertarik?" Amarta dengan paksa menarik tubuh Tommy hingga lelaki itu duduk di atas tempat tidur."Bukan begitu! Aku cuma sedikit kaget," jawab Tommy.Amarta menghela nafas. Ia menyapu lembut wajah Tommy, "Kalau kamu takut, maka lakukan s
Read more
Bab 43 Awal Kecurigaan
Jakarta, Agustus tahun 1996.Frans berjalan di lorong hingga langkah kakinya terhenti didepan sebuah pintu kayu bergagang hitam. Ia mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya masuk."Kamu datang juga." Ucap seorang lelaki yang sudah menunggunya didalam.Ia adalah Jacob, kakak kandung Frans. Bagai pinang yang dibelah dua, Frans dan Jacob terlihat mirip bahkan mereka selalu dianggap sebagai saudara kembar. Frans tersenyum, "Sedang sibuk, kak?" tanyanya."Tidak, aku hanya sedang membaca berkas-berkas yang cukup menarik." Ucap lelaki itu sembari memamerkan map bewaran coklat."Bukannya ini kasus mayat di Jogjakarta? Kenapa berkasnya ada di sini?" Frans melihat lebih detail berkas kasus yang sedang Jacob pelajari.Jacob menaruh satu jari di depan bibirnya, "Anggap kamu tidak melihat semua ini," perintahnya."Ya aku mengerti prosedur. Tapi sebenarnya kenapa dilimpahkan kesini? Setahuku kasus ini masih terus diselidiki. Apa mereka tidak mendapatkan kemajuan?" Frans merasa penasaran."Benar.
Read more
Bab 44 Dia yang selalu terbayang
Hari itu adalah hari terakhir Frans melihat wajah Amarta. Surai merah kecoklatan yang terlihat berkilau dibawah sinar mentari, kulit putih yang kadang telihat kemerahan karena tersipu, binar mata berwarna kecoklatan yang banyak menyimpan misteri. Semua keindahan yang misterius itu akan selamanya terpatri dalam ingatan Frans.Didalam hatinya ia masih menyimpan harapan. Entah cepat atau lambat ia ingin sekali dipertemukan kembali dengan gadis itu. Tentunya dipertemukan dalam keadaan yang memungkinkan untuk bersama. Walau masa lalu bersamanya tidak begitu menyenangkan, namun setidaknya ia harus berharap untuk pertemuan selanjutnya.Hari sudah gelap saat Tommy mengantarkan Amarta pulang. Sesekali Amarta melempar pandangan pada gelapnya jalanan. Bayangan wajah Frans masih menghantui pikirannya. "Dia tampan, dan sikapnya yang tidak berisik juga sebenarnya adalah tipeku. Andai saja intuisi lelaki itu tidak terlalu kuat, mungkin aku bisa bersamanya sekarang." Amarta bergumam dalam hati.Tomm
Read more
Bab 45 Pohon yang Mulai Mengering
Suara gemericik air hujan di luar membangunkan Tommy. Rasa hangat juga harum pada tempat tidur dan selimut begitu familiar menyapa tubuhnya. Netranya menangkap pemandangan langit-langit kamar yang juga tidak asing baginya.Wangi vanilla dengan lembut menyapa indra penciuman miliknya, disusul dengan suara langkah kaki yang terdengar samar."Amarta?" Suara Tommy terdengar serak karena tenggorokan yang kering.Tak ada suara yang terdengar, namun tiba-tiba saja Tommy merasakan sentuhan lembut pada pucuk kepalanya."Sudah bangun, sayang?" Suara yang terdengar begitu lembut ditelinga Tommy. Lelaki itu langsung menengadahkan kepalanya, dan mendapati seorang gadis dengan rambut merah kecoklatan yang masih basah tengah duduk bersandar dikepala ranjang.Tommy menatap lembut wajah cantik itu, "Lagi-lagi aku tidak ingat jelas bagaimana malamku bersamanya berakhir. Rasa pening dan tubuh yang lemas ini sepertinya jadi hal rutin terj
Read more
Bab 46 Gadis Kedua
"Apa ini semua karena itu? Aku tidak bisa langsung menuduh seperti itu. Lebih baik aku mulai mengamati polanya." Tommy bergumam dalam hati."Sudahlah, ayo cepat berikan infus vitamin seperti biasanya." Tommy meminta Adara segera melakukan tindakan.Adara pun menurutinya tanpa bertanya apapun lagi.Lembayung sore sudah memenuhi langit. Cahaya jingganya terkadang membentuk siluet gedung-gedung. Tommy mengakhiri hari itu dengan tubuh yang kurang baik juga pikiran yang cemas.Ia belum mengabari Amarta lagi, hari ini rasanya ia ingin beristirahat di rumah dan tidak menemui wanita itu untuk sementara waktu.Tommy menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah mewah bergaya arsitektur khas kolonial Belanda. Halamannya yang luas dengan berbagai jenis tanaman membuat rumah itu semakin terlihat megah.Seorang lelaki berseragam hitam segera menghampiri Tommy begitu ia keluar dari mobil."Akhirnya den Tommy pulang juga. Mari saya masukan ke garasi mobilnya." L
Read more
Bab 47 Gadis Kedua ( Part 2 )
Dyah semakin merasa tak nyaman. Rasanya ia ingin mendekap tubuh dihadapannya itu. Rasa rindu yang sudah lama ia pendam seolah akan meledak keluar.Tok... Tok... Tok...Terdengar suara ketukan pada pintu, Bu Maryam mendapati dokter yang sudah ia hubungi berdiri di sana."Silahkan masuk dok." Bu Maryam mempersilahkan dokter untuk memeriksa Tommy.Dyah menarik nafas lega. Ia sempat khawatir kecemasannya terlihat mencurigakan dimata Bu Maryam. Namun untungnya dokter datang sebelum semua semakin terlihat.Dengan hati-hati Dyah membaringkan kembali tubuh Tommy, "Saya izin ke dapur lagi bu." Dyah berpamitan.Bu Maryam mengangguk, "Dyah tolong buatkan minum untuk dokter dan simpan di meja ruang tamu, ya." Perintah Bu Maryam.Dyah mengangguk dan segera pergi. Gadis itu menghela nafas panjang merasa beruntung nyonya rumah tak menyadari perubahan rona pada wajahnya.Bu Maryam memerhatikan dokter yang sedang melak
Read more
Bab 48 Harapan Gadis Kedua
Dyah terkejut hingga pisau serta apel yang ia pegang terlempar ke atas meja."Kenapa ini?" pekik Dyah.Tommy yang nampak sedikit kesal tetap berusaha membantu Dyah. Lelaki itu mengambil tisu mencoba menutup luka agar pendarahannya berhenti."Duduk! aku akan memanggil suster," perintah Tommy.Dyah pun mengikuti perintah Tommy, ia duduk dengan wajah menahan rasa perih. Tak lama kemudian Tommy datang dengan seorang suster yang membawa peralatan untuk pertolongan pertama.Suster membersihkan darah yang sudah mengering pada tangan dan jemari lentik Dyah, "Lukanya cukup dalam, namun tidak fatal," jelasnya."Sudah saya sterilkan dan ditutup. Jangan sampai kena air untuk hari ini." Lanjut suster kemudian pergi meninggalkan Dyah dan Tommy di sana."Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai tak sadar memotong jari sendiri!" ucap Tommy kesal."Tolong jangan melakukan hal bodoh seperti ini! Bikin khawatir saja!" lanjut Tomm
Read more
Bab 49 Mendekati Babak Akhir
Tommy melihat Dyah dengan tatapan jengkel, "Mau apa lagi kamu Dyah?" tanyanya."Aku hanya bertanya, mau pergi kemana den Tommy yang baru saja pulang dari rumah sakit? Apa aku tidak boleh bertanya? Atau mungkin lebih baik ibu yang bertanya langsung?" Dyah berusaha menekan Tommy.Dyah berjalan menghampiri Tommy dan berusaha mengambil kunci mobil yang Tommy pegang. Namun dengan kasar Tommy menepis tangan Dyah. Gadis itu sempat kehilangan keseimbangannya namun ia masih bisa menahan tubuhnya agar tak terjatuh."Masuk kedalam dan tidak usah ikut campur! Aku bukan anak kecil!" bentak Tommy.Tommy tidak menunggu tanggapan Dyah, dia langsung membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi.Dyah tidak bisa melawan meski dia sangat ingin menahan lelaki itu agar tidak pergi. Netranya menatap nanar Tommy yang perlahan tak bisa ditangkap oleh pandangan matanya.Sepanjang perjalanan Tommy tak henti-hentinya bersenandung. Wajahnya yang sudah cerah dan segar dihiasi senyuman manis dengan lesung pipi yang
Read more
Bab 50 Amarah Menuju Kematian
Amarta terdiam, Ia bimbang harus menangani Tommy seperti apa, "Apa aku harus membunuhnya sekarang? Tidak. Dia kesini tanpa pamit setelah sakit cukup parah, aku pasti langsung jadi tersangka begitu ditemukan. Aku akan ulur waktunya," batin Amarta."Sayang? Bagaimana... Kamu mau kan aku kenalkan pada keluarga ku?" Tommy kembali bertanya.Amarta tersenyum, dengan rapih menyembunyikan keinginan membunuh dalam dirinya."Kenapa kamu tidak menjawab? Ayolah katakan sesuatu! Kita sudah cukup jauh menjalani hubungan ini. Apa kamu tidak ingin ada yang bertanggungjawab atas tubuhmu? Aku sudah menyentuh semua bagian tanpa terkecuali." Tommy memaksa.Amarta tersenyum sinis, "Lalu apa karena kamu pernah menyentuh tubuhku kita wajib menikah? Menikah itu bukan hal yang mudah!" Nada bicara Amarta semakin meninggi."Iya! Apa kamu tidak malu selalu memulai suatu hubungan dengan tubuh yang sudah disentuh banyak pria? Aku akan menerima mu apa adanya." Tommy berusaha meraih tangan Amarta."Hentikan omong ko
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status