All Chapters of KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK: Chapter 51 - Chapter 60
72 Chapters
Bab 52
“Bun, habisin yang punya ayah saja. Ayah sudah kenyang!” Aku melongo melihat Ayah Driga yang beranjak pergi, tapi sebelum dia bangun, tak biasanya satu kecupan dia hadiahkan pada kening Ibu. Prang!Kami terkejut, ternyata gelas di dekat Tante Fatima yang tersenggol dan menimpa piringnya. Sementara itu, sekilas aku melihat sudut matanya memperhatikan punggung Ayah Dirga. “Ada apa dengan mereka sebenarnya?” Hanya saja, pertanyaan itu cukup kusimpan saja di dalam hati. Mana berani aku bertanya pada Ibu. Apalagi kulihat wajah Ayah Dirga yang seperti tak nyaman. Usai sarapan, kulihat Tante Fatima membantu Ibu memasak untuk di warung. Mereka bertiga bersama Nek Wasti. Dari jauh, terlihat akrab. Sementara itu, aku dan Idawati memilih bermain games. Jarang-jarang bisa sesantai ini dan tak terpisah dari gawai. Di asrama, semuanya serba terbatas dan dilarang. Sesekali kami tertawa karena permainan games ini diselingi obrolan. Adrian masih ada di rumah. Hari ini, belum aku tahu acara dia. M
Read more
Bab 53
Aku yang berada di ruang tengah, bergegas masuk ke kamar Adrian, lalu mencari kontak Genta. Ah, dapat. Setelah itu, tak banyak pikir panjang, aku segera menghubunginya, “Hallo, Genta! Adrian sudah sampai?” tanyaku tak sabar. Ingin segera memberi tahu pada Adrian tentang Tante Fatima yang sebenarnya. “Hallo, ini siapa? Ceweknya, ya?” “Hah? Adrian pacaran?!” Mendengar pertanyaan Genta membuatku sedikit kaget. Jadi selama ini kalau ke rumah Genta, Adrian ketemuan sama perempuan? “Eh, bukan, bukan. Kamu ini siapa? Cari Adrian tiba-tiba?” “Eh, Genta! Kamu emang gak kenal suara Mbak, hah?!” omelku.“M--Mbak? Mbak siapa, ya?” Genta malah tampak bingung.“Alihsa, Genta! Ini Alisha! Astaghfirulloh!” omelku lagi. “Oalah ya ampuuun bidadariku!” Suara Genta yang spontan membuat aku mengernyit. “Eh, Kak Icha, Ta?” Lalu suara Adrian terdengar samar, sebelum aku bicara lagi terdengar suaranya. “Hallo, Kak!” “Ian, kamu di rumah Genta? Jauh gak?” “Kenapa, sih, Kak?” “Kakak mau ke sana! Gent
Read more
Bab 54
“Adrian?!” Ibu dan Tante Fatima menoleh bersama-sama. Aku mengikuti Adrian dari belakang yang kulihat sejak tadi matanya sudah berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. Lalu dia membagi pandangan pada Ibu dan Tante Fatima yang sama-sama terkejutnya. “Tante! Kamu tak berhak bicara begitu sama Ibuku! Walaupun jika benar, kamu yang mengandungku, tapi Ibu yang membesarkanku!” Suara Adrian terdengar bergetar. Aku tak bisa melihat wajahnya karena aku berada di belakangnya. “Ian ….” Suara Ibu terdengar lirih. Netranya mengembun. Kulihat Fatima sudah menyeka air matanya dan menunduk lesu. “Maafin, Mama Adrian ….” Suara Tante Fatima bergetar. Adrian tak bicara. Dia hanya mematung dan kulihat napasnya bergerak cepat. Aku menghampirinya dan kutepuk pundaknya. “Ian, bicaralah …,” tukasku. Kuingatkan pada apa yang tadi kami rencanakan. Tadinya kami akan menemui Ibu, lalu bicara pada Tante Fatima untuk tak mengganggu kami setelah mendapat kejelasan dari Ibu. “Maafin Mama, Adrian … Maaf.” Tante Fatima m
Read more
Bab 55
Di asrama, Idawati sudah menungguku. Sepertinya dia masih terkaget-kaget dengan kejadian kemarin. Hanya saja, aku mencoba bersikap biasa. “Sudah sampai, Da?” Aku berbasa-basi. “Sha, sorry, ya!” Idawati mendekat dan menatapku. Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi dia malah membuka topik baru.“Untuk?” tanyaku lagi. “Aku gak tahu, Ibu tiriku ternyata Ibu kandung adikmu.” “Oh, itu … sudah, gak apa-apa.” “Gak enak saja, Sha.” “Semua orang punya masa lalu, Da. Kita mana boleh menghakiminya.” “Iya, Sha.”Ketukan pada pintu kamar kami membuat obrolanku dengan Ida terhenti. Rifani yang datang. Seperti biasa, wajahnya muram. “Sini, cerita!” Aku menepuk tempat kosong di sampingku. Rifani berhambur, tapi bukannya bercerita. Dia malah menangis. Aku dan Idawati saling bertukar pandang. Kami bertiga cukup dekat karena bagaimanapun memiliki latar belakang keluarga yang sama. Sama-sama bermasalah. Aku dan Idawati hanya duduk diam membiarkan dia menyelesaikan tangisnya. Kadang, tak semua hal
Read more
Bab 56
“Sha!” tepukan pada bahu mengagetkanku. Mizan masih mematung dan kini dia mengulurkan buket bunga padaku. “Apa ini, Zan?” “Ucapan selamat dariku, Sha. Kamu keren. Tak banyak perempuan tangguh seperti kamu.” Dia tersenyum dan entah kenapa, hatiku malah teringat pada Genta. “Thanks.” Aku menerima buket bunga itu. Di setiap kelulusan sudah lazim memberikan buket bunga sebagai ucapan. Bunga yang dia belikan adalah bunga tulip orange. Di mana melambangkan kehangatan, kegembiraan dan lambang sebuah keberuntungan. "Wish me luck!" tukasnya lagi sambil tersenyum. "Mee too." Aku menimpali dann mengangguk. Setelah saling mengucapkan selamat, acara pun bubar. Ayah Dirga dan Ibu seperti biasa mengajak kami merayakannya dengan makan di luar. Tak ada lagi pembahasan mau kuliah di mana? Hanya membahas masalah tempat tinggal dan lainnya. Jelas nilaiku yang di atas rata-rata menjadi golden ticket untuk masuk ke kampus yang masih satu grup dengan SMP dan SMA-ku ini.Idawati yang mendapati peringka
Read more
Bab 57
Pov Heru Aku selalu mengawasinya diam-diam. Setiap kali mencari penumpang, aku pasti menyempatkan diri mampir ke komplek sekolah elit itu. Jika beruntung, aku bisa melihat Alishaku di sana. Hanya melihat, bahkan aku tak berani untuk sekadar menyapa. Dia sudah besar, sudah remaja, cantik seperti Salmah. Sebagian wajahnya mirip juga denganku, yang kata Salmah dulu memang tampan. Menyesal. Aku benar-benar menyesal. Namun, sepertinya tak guna juga penyesalan ini sekarang. Semua sudah hancur karena egoku sendiri.Aku membuka tas pinggang di mana selalu kubawa-bawa uang yang kusisihkan, kuhitung beberapa lembar uang yang ada. Tadinya aku mau memberikannya di hari kelulusannya pas SMA. Namun, melihatnya dikerubungi teman-temannya dan juga Dirga dan Salmah. Nyaliku menciut. Sampai hari ini, uang ini masih kusimpan. Tak seberapa, tapi aku benar-benar ingin berguna untuk dia. Semenjak hari kelulusannya itu. Aku tak pernah melihatnya lagi. Mungkin dia tengah liburan. Aku narik mobil online s
Read more
Bab 58
Aku merasa terkejut ketika tiba-tiba saja Mas Ramdan---pengurus tempat indekosku mengetuk pintu kamar. “Ini buat Alisha, ya! Terima kasih sudah memilih tempat kami untuk tempat kosnya!” Aku menatap tas punggung berwarna hitam itu. Modelnya tampak sederhana, tapi aku tahu ini adalah tas dengan merk ternama.“Betulan, Pak? Dapat cashback tas?” Aku menatapnya tak percaya.“Iya, kebetulan ini stock terakhir,” tukasnya. “Alhamdulilah, makasih!” Aku menerima tas itu sepertinya cocok untuk tempat laptop. “Sama-sama, Neng!” Pak Ramdan mengangguk dan berpamitan. “Oh iya, Neng. Itu AC-nya sudah nyala, ya!” Pak Ramdan menghentikan langkah dan berbalik menatap ke arahku. “Loh, kan saya minta yang AC-nya rusak saja, Pak. Kalau sudah dibenerin, naik dong harganya?” Aku sedikit mencelos. Padalah sudah punya banyak plan dengan uang yang diberikan Ayah Dirga. Mungkin aku akan berjualan juga agar bisa nambah-nambah pemasukkan. “Enggak, kok, Neng! Harganya masih sama. Permisi, ya!” Pak Ramdan tam
Read more
Bab 59
Suara itu. Aku lekas mendongak untuk memastikan. Rasanya sudah lama sekali tak mendengarnya. Apakah pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan yang aku pikirkan? “Sebentar, coba saya hubungi ke telepon rumah!” Bi Marsah lekas mengambil gagang telepon yang memang ada di meja depan. Kudengar dia berbicara dengan Pak Ramdan. Tak lama, dia menutup teleponnya. “Silakan, Pak! Ditunggu saja, ya! Sebentar lagi Pak Ramdan keluar.” Sepasang mata aku tajamkan, tapi wajahnya tak terlihat jelas. Dia mengenakan masker. Hanya saja … gesture tubuh itu aku kenal. Perlahan setrikaan yang tengah kugunakan itu kusimpan. Laki-laki itu sepertinya tak menyadari keberadaanku yang terhalang oleh pakaian-pakaian yang tergantung. Aku mendekat dan menyibak baju-baju yang masih menunggu kering betul. Sepasang mataku menyipit memperhatikan gerak-geriknya. Dia tampak menunggu dengan gelisah. Sesekali tangannya mengusap ujung hidung, menyugar rambut, dan sesekali melirik jam tangan. Bahkan ujung sepatunya y
Read more
Bab 60
Usai berbicara dengan Pak Ramdan, aku kembali ke dalam kamar. Rupanya dia hanya hendak memberiku wejangan. Panjang kali lebar. Huft.Aku tahu, semua yang dia sampaikan adalah benar. Namun, dia hanya memandang semua itu dari konsep logika. Dia tak merabanya dari sudut hati yang terluka. Apalagi, dia adalah seorang laki-laki. Bukankah kata orang-orang, laki-laki cenderung memakai akal dan mengesampingkan perasaan? Jadi dia hanya memandang dan menilai dari kaca mata pemikiran, pantas dan tidak, dosa dan tidak. Dia sama sekali tak akan paham pada apa yang aku rasakan.Memaafkan dia yang sudah membuang dan menyia-nyiakan itu sulit. Apalagi menghapus lukanya? Mulai hari itu, hubunganku dengan Pak Ramdan merenggang. Aku pun tak mau sering terlibat apapun dengannya, selain urusan laundry dan tempat indekosku. Sebetulnya pemilik indekos ini Bu Hasanah, hanya saja beliau terlalu sibuk dengan urusan keluar. Hampir setiap hari aku melihatnya keluar. Jadi yang mengurusi semuanya adalah Pak Ramda
Read more
Bab 61
“Fokus, Alisha! Kamu di sini untuk belajar, bukan? Lupakan dulu semua hal yang mengganggu termasuk Mizan.” “Baiklah … aku sudah terbiasa ditinggalkan,” batinku bicara sambil tersenyum miris pada hidup yang aku jalani. Aku menjalani hari-hariku kembali dengan fokus pada tujuan yaitu nilai bagus agar bisa lulus cumlaude. Pada tahun ini, Adrian sudah masuk juga satu tingkat di bawahku. Dia indekos bareng teman kuliahnya, untuk menghemat uang katanya. Ya, aku dan Adrian punya cara yang berbeda. Kalau aku, tak terlalu suka berbagi tentang tempat. Hanya memang jika terdesak seperti di asrama kemarin, apa boleh buat. Hanya saja, jika ada pilihan, aku lebih memiliih menekan keinginanku yang lainnya dan tetap memilih tinggal sendirian. Lebih bebas, lebih privat. Satu tahun akhirnya bisa kulalui sebagai mahasiswa dan karyawan laundry. Beberapa teman yang tahu aku nyambi sebagai pekerja laundry, kerap sengaja melaundry ke tempatku. Katanya itung-itung bantu teman. Senang, bahkan Pak Ramdan
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status