Lahat ng Kabanata ng Malam Panas dengan Atasan Mantan: Kabanata 41 - Kabanata 50

Saat mereka sedang bicara, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam dagang. Beberapa pria dewasa, tinggi besar, keluar dari sana. Remaja laki-laki itu nampak sangat terkejut. Juliet yang masih kebingungan tak sempat bertanya apa pun ketika remaja laki-laki itu tiba-tiba menggenggam tangannya erat dan menariknya menjauh dari trotoar. “Ayo lari, cepat!!” teriaknya panik. Beberapa pria dewasa bersetelan rapi turun dari mobil hitam yang baru saja berhenti. Tatapan mereka tajam dan langkahnya cepat, jelas mereka sedang mengejar. Juliet menoleh ke belakang, makin bingung tapi ikut berlari secepat yang ia bisa agar tak terjatuh. Hah! Sungguh, entah apa yang sebenarnya sedang dilakukannya. “Nanti saja aku jelaskan!” seru remaja itu saat melihat wajah panik Juliet. Napas mereka tersengal, kaki mereka menerjang jalanan sempit dan gang kecil, melewati tukang jahit, salon, dan warung yang hampir tutup. Juliet mulai merasa lelah tapi genggaman tangan itu tidak pernah mengendur. Setelah bebera

Ketika film memasuki adegan klimaks, seorang atau sebuah, atau Sesetan, hantu perempuan berambut panjang merangkak di langit-langit sambil tertawa menyeramkan, Wilson tiba-tiba memeluk Juliet erat-erat sambil berteriak, “Akh, sialan! Kenapa menyeramkan sekali?!” Juliet menahan tawa. “Pak Wilson, itu hanya hantu yang sedang merangkak, bukan pengumuman kenaikan iuran pajak. Tenang saja.” Wilson memasang ekspresi tegang. “Itu bukan merangkak biasa. Itu parkour versi makhluk halus, tahu. Dan matanya merah menyala! Aku yakin dia punya dendam dengan penata rambutnya.” Juliet akhirnya tertawa. “Kau ini, jadi sebenarnya siapa yang butuh perlindungan, sih?” Dengan gaya dramatis, Wilson menunjuk dirinya sendiri. “Aku. Aku hanya pria biasa yang ingin hidup tenang tanpa dihantui makhluk astral berkuku panjang. Lagi pula, makhluk mengerikan seperti itu kan tidak ada di dunia nyata, aku tidak butuh perlindunganmu jika di dunia nyata.” Juliet naikkan sisi bibirnya. “Cih! Padahal sudah tahu

Sesampainya di apartemen, Juliet membuka pintu dengan sedikit lelah. Ia melihat Wilson sudah duduk di ruang tamu, masih mengenakan kemeja kerja yang sebagian kancingnya sudah terbuka. Juliet langsung memalingkan wajahnya. ‘Gila! Baru buka pintu saja sudah lihat yang lekat berotot seperti ini,’ gumamnya di dalam hati. “Hai, Pak Wilson,” sapa Juliet singkat sambil melepas sepatunya. Wilson menoleh, “Kau sudah pulang juga?” “Iya,” jawab Juliet sambil langsung berjalan menuju dapur, lalu mulai merapikan barang-barang, mengecek isi kulkas, dan menyalakan mesin cuci untuk mencuci pakaian yang tertunda. Wilson hanya memperhatikannya dari sofa, diam-diam tersenyum. Gerakan Juliet begitu cekatan, seperti sudah terbiasa dengan ritme rumah tangga. Dalam diam, Wilson berpikir, Setiap hari dia pulang kerja, Juliet beres-beres, masak... ini rasanya seperti punya istri kan? Ia menggeleng pelan, sedikit malu dengan pikirannya sendiri. Tapi entah kenapa, bayangan itu justru terasa hangat

Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, namun Wilson tidak peduli. Ia duduk di kursi balkon dengan tatapan kosong menembus gelapnya langit kota yang bising. Di tangannya, segelas wine sudah setengah habis, sementara botolnya diletakkan sembarangan di meja kecil di sampingnya. Pikiran Wilson kacau. Percakapan dengan Karina tadi benar-benar cukup untuk mengguncangnya. Tekanan dari keluarga, ancaman kehilangan semua yang ia bangun, dan perasaan tidak ingin menyerah pada hidup yang tidak ia pilih, semuanya menumpuk di kepalanya seperti kabut yang tidak mau menghilang. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir semuanya, tapi justru wajah Juliet yang terlintas. Senyumnya, matanya yang selalu penasaran, dan sikapnya yang keras kepala tapi tulus. Cerewet dan sinis nya, semua itu tergambar jelas di benak Wilson. Wilson menghela napas panjang, lalu meneguk wine itu lagi. “Sial,” gumamnya lirih. “Kenapa kau yang ada di pikiranku sekarang? Kenapa aku jadi mulai tidak sabar

“Ahh!” Jeritan kaget Juliet membuat Wilson segera tersentak dan berdiri, melupakan sejenak rasa nyeri yang masih terasa di kepalanya akibat mabuk semalam. Ia segera berlari ke arah Juliet dan mendapati Juliet memegangi jari telunjuknya yang mengucurkan darah. Tanpa berkata apa pun, Wilson langsung menggenggam tangan Juliet dengan hati-hati dan membawanya ke wastafel. “Pak, kau mau apa? Tunggu—” “Diam di sini,” ucap Wilson, suaranya terdengar tegas namun tetap lembut. Ia membasuh luka di jari Juliet di bawah aliran air, kemudian mengeringkannya dengan perlahan. Juliet terdiam, menatap setiap gerakan Wilson dengan sorot mata yang penuh haru. Sudah lama sekali tidak ada yang memperlakukan dirinya seperti ini. Dahulu, setiap kali ia terluka, ayahnya lah yang selalu sigap merawatnya. Sejak kepergian sang ayah, tidak ada lagi yang peduli ketika ia terluka, hingga detik ini. Namun, Wilson membuat hatinya menghangat. Pada akhirnya, Juliet memilih diam dan membiarkan saja Wilson men