Semua Bab SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI: Bab 31 - Bab 40

“Terkadang, yang paling menyembuhkan bukan tempat yang kita tinggali... tapi orang-orang yang menunggu kita pulang.” --- Pagi Itu – Hari Terakhir di Bandung Hari kedua di Bandung datang dengan tenang. Sinar matahari mengalir pelan lewat jendela kamarku. Udara pagi menyusup ke sela-sela tirai, membawa bau tanah basah dan aroma opor ayam yang masih tertinggal dari malam sebelumnya. Ada rasa damai yang menggantung di udara, seperti sesuatu yang perlahan tapi pasti mulai sembuh di dalam diriku. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecilku yang belum sepenuhnya tertutup. Di atas bantal, tergeletak scarf yang dulu pernah kupakai hampir setiap hari ke kampus. Warnanya sudah sedikit pudar, tapi entah kenapa aku tetap membawanya. "Bandung," gumamku pelan. "Kau tak lagi menyakitiku." Hari ini adalah hari terakhirku di kota ini. Dua hari memang bukan waktu lama, tapi cukup untuk menengok sebentar ke hidup yang dulu. Hidup yang sempat gelap... kini mulai punya cahaya. --- Paket Kec

“Kadang, pulang bukan ke rumah… tapi ke kesadaran bahwa kamu sudah bukan orang yang sama saat kamu pergi.” --- Pagi Itu – Bandung Melepas dengan Tenang Langit Bandung sedikit berkabut ketika aku melangkah keluar rumah. Udara pagi masih menyimpan sisa-sisa embun, dan aroma masakan Ibu dari dapur menggoda hidungku. Tapi koperku sudah berdiri tegak di depan pintu. Aku tahu… sudah waktunya. Ibu memelukku erat, lama, dan hangat. “Kamu nggak pulang dengan luka lagi. Kamu pulang dengan kekuatan,” katanya sambil mengusap rambutku. Aku mencium pipinya. “Terima kasih sudah jadi rumah yang sabar menunggu.” Di pinggir jalan, Dimas sudah menunggu dengan mobilnya. Hari ini dia tak pakai kemeja jaksa, hanya kaus abu dan jaket tipis. Tapi sorot matanya tetap tenang, seperti biasa. “Kamu siap?” tanyanya. Aku mengangguk. “Sudah lebih dari siap.” Mobil pun melaju perlahan, meninggalkan jalanan yang dulu terasa sempit kini terasa seperti pelukan masa lalu yang sudah tidak mengikatku lagi. ---

“Kita tidak selalu butuh waktu yang lama. Kadang, satu hari yang jujur… bisa menyembuhkan luka yang bertahun-tahun.” --- Kabar dari Udara Pagi itu aku baru saja selesai menutup jurnal klien LSM kasus Lila, anak SMP yang jadi korban kekerasan seksual. Aku belum sepenuhnya bisa menenangkan hati, tapi ada rasa lega setiap kali sesi berjalan lebih baik dari yang kupikir. Saat duduk di pojok ruang tengah kosku yang mungil, ponselku bergetar. Dimas: “Sudah mendarat. Di Jakarta akhirnya. Selesai pelatihan jam empat. Bisa kita ketemu setelah itu?” Tersenyum. Dadaku menghangat. Segala lelah hari itu seperti reda hanya dengan satu pesan. Nadia: “Tentu. Aku baru selesai konseling juga. Mau aku jemput, atau kamu langsung ke kosanku?” Dimas: “Aku yang ke sana. Aku bawa oleh-oleh dari Bandung. Tapi jangan berharap bakpia.” Nadia: “Kalau bukan makanan, itu namanya bukan oleh-oleh. Tapi, kalau yang bawa kamu... ya sudah, aku maklumi.” Dimas: “Cie gitu dong. Siap ketemu jam lima, ya

“Ada yang datang sebentar, tapi meninggalkan hangat yang menetap. Dan ada yang pergi… tapi tetap tinggal di cara kita bertahan.” --- Senin Pagi – Kembali ke Ruang Suara Langkahku memasuki kantor LSM terasa berbeda pagi ini. Bukan karena interiornya berubah berkas masih menumpuk, printer tetap berisik, dan aroma kopi sachet masih mendominasi ruangan kecil kami. Tapi karena aku... berubah. Aku baru saja meletakkan tasku di meja ketika suara khas Tiara terdengar nyaring dari seberang ruang. “Nadiaaa! Astaga, kamu beneran balik juga ke dunia nyata!” Aku tertawa. “Memangnya aku sempat pergi ke dunia astral?” “Tiga hari hilang dari radar, nggak update di grup, nggak ikut rapat, muka nggak kelihatan... itu udah cukup mencurigakan.” Tiara berjalan cepat ke mejaku, matanya menyipit dramatis. “Apalagi sekarang kamu balik-balik kayak abis habis mandi di air sumber kehidupan. Kulit glowing, senyum sumringah... kayak cewek yang baru jatuh cinta.” “Astaga, Mbak... aku cuma cuti, buka

“Beberapa orang tidak datang untuk menetap. Tapi hadir mereka cukup untuk mengubah arah kita selamanya.”---Selasa Dini Hari – Jeda di Antara Dua NapasPukul 01.13 dini hari.Jam digital di layar ponsel terus menyala setiap kali aku menekannya, meski tak ada notifikasi masuk. Hanya pantulan cahaya biru redup yang membingkai kamar kos sederhana ini. Di luar jendela, Jakarta belum benar-benar tidur. Tapi di dalam kamar... semuanya senyap.Aku belum bisa tidur.Di bawah kasurku, Dimas terbaring di atas karpet tipis, dengan selimut seadanya. Dia tak bergerak banyak, hanya sesekali menggeliat, tapi aku tahu dia belum benar-benar tidur. Napasnya teratur, tapi tidak seperti orang yang sedang bermimpi. Lebih mirip... seseorang yang menunggu.Aku menatap langit-langit. Lalu berbisik, “Mas?”“Hm?”Suara itu langsung menjawab. Lembut, tidak kaget, tidak lelah. Seolah dia memang sedang menanti suaraku.“Beneran ya… kamu mau pindah ke Jakarta?”Ada jeda. Mungkin dia sedang menimbang apakah harus