Semua Bab Tersandung Cinta Tuan Muda: Bab 61 - Bab 70

Langit senja menyiratkan semburat jingga saat mobil Adrian melaju di sepanjang jalan kota. Di sampingnya, Naira duduk dalam diam, matanya memandang ke luar jendela, menyaksikan keramaian kota yang terasa asing baginya kini. Sudah lama ia tidak merasakan suasana biasa seperti ini, terlalu banyak drama, ancaman, dan kenyataan pahit yang membuatnya lupa bagaimana rasanya menjadi 'normal'. "Kamu masih ingat restoran ini?" tanya Adrian, memecah keheningan yang menggantung tebal. Mobil mereka berhenti di depan sebuah restoran elegan dengan jendela kaca besar. Cahaya hangat dari dalam menyinari malam yang mulai turun. Naira menoleh, sedikit terkejut. "Ini... tempat kita makan malam pertama setelah menikah," gumamnya pelan. Adrian mengangguk. Senyum kecil muncul di wajahnya. "Kupikir, mungkin kita bisa mulai dari awal lagi. Hanya untuk malam ini." Naira tidak langsung menjawab. Tapi saat Adrian membuka pintu dan mengulurkan tangan, ia meraihnya. Ada keraguan di hatinya, namun lebih dari

Hening melingkupi ruangan itu usai ancaman dari surat misterius dibacakan. Namun, bukan rasa takut yang tumbuh di hati Adrian, melainkan dorongan kuat untuk melindungi wanita yang kini ia tahu berarti lebih dari sekadar istri kontrak. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi,” ucapnya mantap sambil menggenggam tangan Naira erat. Naira tersenyum kecil, tapi ada kabut kebimbangan yang belum hilang dari sorot matanya. “Adrian… semua yang kau lakukan, semua pengorbananmu… aku bersyukur. Tapi aku butuh waktu untuk memproses semuanya.” Adrian mengangguk, walau terlihat kecewa. “Aku mengerti.” Malam itu, Naira memutuskan untuk pulang ke rumah lamanya. Ia butuh ruang untuk berpikir, jauh dari gemuruh perasaan yang membelitnya tiap kali bersama Adrian. Meski bagian dari dirinya ingin tetap di sisi pria itu, suara logikanya memintanya untuk menahan diri. Cinta tak boleh tumbuh dari luka dan trauma, pikirnya. Namun takdir seolah tak ingin memberinya waktu terlalu lama. --- Hujan

Clara duduk di ruang interogasi, tangan diborgol, wajahnya pucat tertimpa cahaya dingin dari lampu neon yang menggantung di atas kepalanya. Namun, di balik mata lelah dan penampilannya yang memprihatinkan, senyum tipis tersungging. Ia telah menerima kabar dari orang kepercayaannya—paketnya sudah sampai pada tangan yang tepat. Di tempat berbeda, Ny. Veronica duduk anggun di ruang tamu kediaman keluarga Alexander. Di pangkuannya, tablet menyala memperlihatkan beberapa foto yang baru saja dikirim. Dalam foto itu, Naira tampak sedang berbicara akrab dengan seorang pria berjas hitam di lobi hotel bintang lima. Angle yang diambil dengan sangat presisi itu membuatnya tampak seolah tengah berselingkuh. “Bagus sekali,” gumam Veronica. “Sekarang, kita lihat seberapa kuat wanita itu bisa bertahan saat seluruh dunia menjatuhkannya.” Dia menghubungi seseorang lewat panggilan suara terenkripsi. Suaranya tenang, namun penuh racun. “Sebarkan sekarang. Pastikan semua media gosip dan akun-akun gosip

Cahaya pagi tak mampu mengusir mendung di benak Adrian. Sejak malam itu, pikirannya tak pernah diam. Setiap langkah, setiap kata dari Naira, setiap dokumen yang Davin kirim, mengarah pada satu kenyataan pahit: pengkhianatan itu berasal dari lingkaran yang paling ia percayai. Namun, badai belum reda. Pagi itu, sebuah berita baru kembali mengguncang media: “Mantan Mitra Bisnis Beberkan: Naira Sudah Berkhianat Sejak Hari Pertama Pernikahan” Adrian duduk terpaku di ruang kerjanya, membaca artikel demi artikel. Di dalamnya, seorang pria bernama Kevin Surya, mantan rekan Adrian, dengan lantang menyatakan bahwa ia pernah “melihat langsung” Naira bersama seorang pengusaha kaya dalam suasana intim—bahkan, menurutnya, itu terjadi sebelum Adrian dan Naira resmi menikah. “Omong kosong...” gumam Adrian. Namun yang membuatnya terguncang adalah ekspresi Kevin dalam video wawancara itu. Terlalu meyakinkan. Terlalu rapi. Di sisi lain, Davin yang tak pernah menyerah, berhasil melacak IP address

Malam mulai turun, menyelimuti kota dalam diam. Langit tampak seperti kanvas gelap bertabur bintang, namun tak satupun sinarnya mampu menenangkan hati Naira yang duduk di ruang tengah dengan wajah kusut. Ia masih memegang berkas yang tadi diberikan Adrian—berisi bukti konspirasi antara Clara dan Ny. Veronica. Di dalam map itu terdapat hasil forensik digital, jejak email palsu, hingga rekaman dari CCTV Adrian yang memperlihatkan ibunya memberikan flashdisk kepada seorang jurnalis. Dan lebih mengejutkan lagi, terdapat pula transkrip percakapan Clara dari dalam tahanan—hasil penyadapan legal yang diminta langsung oleh polisi atas permintaan Davin. Adrian berdiri beberapa meter darinya, tak berkata apa-apa. Ia tak ingin memaksa. Hatinya tahu, luka di hati Naira bukan sesuatu yang bisa diobati dengan selembar kertas atau rekaman. Luka itu lebih dalam dari yang terlihat. Tapi setidaknya, malam ini ia ingin jujur... dan berani bertanggung jawab. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Adrian,"