Perasaan bersalah menyergap Kirana seperti ombak yang datang tanpa aba-aba, besar dan tak memberi kesempatan untuk bernafas. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar menekan dari dalam, membuat tenggorokannya perih dan kering.Kedua tangannya terangkat, menutup wajah, berusaha menahan air mata yang sudah terlalu keras mengetuk. Tapi apa daya, air itu tetap jatuh juga, bening dan rapuh, pecah di pipinya seperti mutiara yang terlepas dari untaian tipis.Tangannya bergetar saat mengusap sisa tangis. Ia mencoba mengatur napas, satu, dua, tiga kali, berharap dingin sore yang menyusup lewat jendela bisa meredam bara di dadanya. Angin membawa aroma tanah basah, tapi hawa itu tak sanggup menenangkan gejolak dalam dirinya.Ia tahu betul: ia tidak boleh menyerah. Tidak sekarang, ketika Aidan dan Bayu butuh sandaran.Gambaran wajah Raka menjejak jelas di benaknya, tatapan mata dingin lelaki itu, sikap kaku tiap kali nama anak-anaknya disebut. Kirana dulu memilih berpaling, pura-pura tidak sad
Terakhir Diperbarui : 2025-07-03 Baca selengkapnya