Tangannya masih bergetar halus saat mengusap sisa air mata yang mengering di pipinya. Kirana menatap kosong ke arah jendela yang terbuka separuh, di mana angin sore menghembus perlahan, membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi.Udara itu sejuk, tapi tak mampu menembus bara yang bergejolak di dadanya. Napasnya teratur dalam hitungan—satu, dua, tiga—namun hatinya tetap berdenyut resah, seperti genderang kecil yang tak henti berdetak di dalam dada.Ia tahu, menyerah bukan pilihan. Tidak sekarang. Tidak ketika Aidan dan Bayu masih memerlukan pelukan yang kokoh, tempat mereka bersandar tanpa takut.Bayangan wajah Raka terlukis jelas di benaknya. Tatapan mata dingin lelaki itu, kaku dan berjarak, setiap kali nama anak-anak mereka disebut. Dulu, Kirana memilih berpaling. Ia menutup mata, menipu diri sendiri, berharap bahwa dingin itu hanyalah bentuk lelah dari pria yang bekerja terlalu keras.Tapi waktu perlahan mencabut semua ilusi. Kini, semuanya terang benderang, seperti lampu sorot
Terakhir Diperbarui : 2025-07-02 Baca selengkapnya