Semua Bab Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh: Bab 191 - Bab 200

“Bibi buka pintunya, bersikaplah seperti biasa. Jangan bersikap mencurigakan. Bara, kamu bawa Asri ke ruang bawah tanah. Aku akan mengawasi di sini, siapa yang datang ke sini,” bisik Reno, lelaki itu kemudian bersembunyi tak jauh dari ruangan itu.Bu Ara menganggukkan kepala. Sementara Bara bergegas membawa Asri ke ruang bawah tanah. Sekeras apa pun Asri memberontak. Namun, tenaganya tak cukup kuat.Ceklek!Pintu terbuka setengah, menampakkan sosok mbak Asih yang tengah berdiri di depan pintu.“Maaf, cari siapa?” tanya bu Ara.“Em … mohon maaf, Bu Ara. Saya Asih, salah satu ART bu Asri. Jadi begini, tadi saya seperti mendengar suara bu Asri di sekitar sini. Apakah Bu Ara mendengarnya juga? Saya hanya ingin memastikan saja, karena … saya sangat khawatir terhadap bu Asri. Keadaan pak Ello juga sangat mengkhawatirkan, dia sakit parah dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit,” jawab mbak Asih.Bu Ara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Walaupun wajahnya mengisyaratkan keterkejutan.“Em …

Gala mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan ucapan Adit barusan. “Maksud kamu?” tanya Gala. “Mas Gala sebaiknya ikut aku. Nanti aku jelaskan di sana. Tapi sebisa mungkin jangan ada orang lain yang tahu tentang ini,” jawab Adit. Masih tidak paham. Namun, Gala hanya menurut saja apa kata Adit. Mereka berdua pun pergi ke belakang rumah bu Ara, secara diam-diam. “Ada apa sebenarnya?” tanya Gala, ketika mereka telah sampai di belakang rumah bu Ara. Tangan Adit menunjuk ke arah tembok. “Lihat ini, bu Ara membuat gambar panah ini. Bukan hanya itu, dia juga diam-diam menunjukkan jari telunjuknya ke bawah. Menurutmu, apakah bu Ara tahu sesuatu?” Gala terdiam, ia mengamati gambar panah dari goresan batu di tembok tersebut. “Saya masih belum mengerti. Coba kamu jelaskan kenapa kamu bisa berasumsi seperti itu?” tanya Gala. Adit pun mulai menjelaskan apa yang dilakukan bu Ara, yang awalnya ia lihat sangat aneh. Gala mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan sebelah tangan seseka

Gala dan Adit menelan saliva dengan susah payah. Bu Ara, wanita itu kini berjalan mendekat ke arah mereka, dengan sebuah pisau yang masih ada di genggaman tangannya.“Bu Ara mau ngapain?” tanya Gala.Tidak menjawab, bu Ara hanya diam sambil terus berjalan mendekat.Hingga Gala dan Adit ini terpojok, tubuh mereka menabrak dinding, tak ada lagi celah untuk mereka berlari, mereka berdiri dengan jantung yang berdegup begitu kencang. Apakah mereka masuk perangkap bu Ara?Bu Ara mendekatkan wajahnya ke arah mereka, seraya berbisik, “Ambil pisau ini, untuk berjaga-jaga. Jangan berisik, bahkan tembok pun di sini memiliki telinga!”Gala dan Adit saling melempar pandang. Kini mereka mengerti dengan tujuan bu Ara memberikan pisau tersebut.Adit menghembuskan napas lega.“Oh, saya kira Ibu mau … ehem, saya sampai menahan napas saya. Saya kira saya akan–”“Mati?” potong bu Ara, wanita tua itu tersenyum.“Saya bukan pembunuh, tenang saja!” lanjut bu Ara.Bu Ara menyodorkan pisau itu ke arah Gala. L

“Sialan! Pembunuh! Kamu telah membunuh janinku dan kamu telah meracuniku sampai aku dikira gila!” hardik Asri.“Asri, Asri, tenangin diri kamu dulu!” pungkas Gala.Asri tak habis pikir dengan penjelasan bu Ara. Wanita yang ia kira baik, ternyata dialah yang membuatnya hancur dan terpisah dari suami dan anaknya.“Maafkan saya, Nak Asri. Saya juga seorang Ibu, saya takut terjadi hal yang buruk sama Claudia. Sekarang dia berada jauh dari saya, dia bersama orang-orang suruhan mas Reno. Dia pun sama tersiksanya, dia terpaksa menjalankan rencana busuk mas Reno, menjaga rumah untuk kamu dan mas Reno. Jika kamu tanya apakah saya menyesal telah melakukan hal ini? Ya, jujur saya sangat menyesal. Seandainya kamu mau menghukumku, tidak apa, saya pantas mendapatkannya, asal anakku yang jauh di sana aman. Bara juga, dia terpaksa melakukan hal ini, karena dia takut sama mas Reno,” ucap bu Ara.Asri membuang muka ke arah lain. Senyuman miring terukir di wajahnya yang tersirat kebencian.“Bara … Bara

Gerakan tangan Asri berhenti dengan tiba-tiba . Terdiam dengan tatapan tak percaya. Terasa mimpi. Namun, ini nyata.Matanya menatap tubuh Ello, lalu beralih menatap petugas pemandi jenazah yang tengah sibuk membersihkan jenazah Ello.“Pak, berhenti!” pinta Asri.Petugas pemandi jenazah itu berhenti, menatap heran ke arah Asri.“Kenapa, Bu?” tanyanya.“Suamiku masih hidup, detak jantungnya masih terasa. Tolong hentikan, bawa kembali ke ruangan tadi,” jawab Asri.Kedua petugas rumah sakit itu saling melempar pandang.“Saya yakin, Pak. Coba sentuh dada suami saya. Saya … merasakan jantungnya masih berdetak. Demi Tuhan, saya tidak bohong,” lanjut Asri.Salah satu petugas yang memandikan Ello pun menuruti permintaan Asri. Menyentuh tubuh Ello di bagian dada.Matanya terbelalak tak percaya. Lantas melirik ke arah temannya, mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa perkataan Asri memang benar adanya.“Benar kan, Pak?” tanya Asri.“Ya, sepertinya suami Ibu mengalami mati suri. Sebaiknya kita baw