Semua Bab Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!: Bab 21 - Bab 30

Bianca mendesak, "Lalu kapan kamu akan menceraikannya?"Cerai...Beberapa waktu terakhir, kata yang paling sering didengar Adrian adalah ini.Seolah semua orang menganggap, bercerai adalah hal yang paling seharusnya dia lakukan.Namun, hanya dia yang tahu, setiap kali mendengar kata itu, dadanya terasa sesak, napas pun terasa sulit.Adrian tidak yakin apa sebabnya. Mungkin karena perceraian akan mengguncang harga saham perusahaan, atau bisa juga karena akan merusak reputasi Bianca.Singkatnya, dia sangat jelas, perceraian bukan pilihan.Tanpa berpikir panjang, dia langsung menjawab dengan tegas, "Kapan pun, tidak mungkin."...Keesokan harinya.Shanaya terbangun dalam keadaan mengantuk, lalu melihat jam, baru menyadari pesan balasan dari Adrian.[Ada apa? Besok aku pulang dan akan bicara langsung.]Shanaya kira-kira sudah bisa menebak, dia pasti tidak ingin Shanaya datang membuat keributan di depan Bianca.Mungkin dia takut Shanaya akan melempar botol ke kepala Bianca lagi.Namun, jawa

Susana tetap tenang dan teratur, wajahnya agak dingin. "Secara resmi, kamu masih bagian dari Keluarga Pranadipa. Keluarga Wiraatmadja seharusnya masih menghargai kita, bukan?"Shanaya tiba-tiba mengepalkan tangannya. Saat matanya bertemu dengan tatapan Susana, dia sedikit terkejut."Kalau Nyonya Gayatri memang sayang padamu, kenapa dulu malah menggagalkan pekerjaanmu di rumah sakit pengobatan tradisional?"Susana melanjutkan, "Setiap kali kamu pulang dari rumah lama Keluarga Wiraatmadja, cara jalanmu selalu tidak wajar."Mendengar itu, tubuh Shanaya langsung menegang. Tatapannya perlahan berpindah ke Bi Santi yang berdiri tak jauh darinya.Bi Santi menghindari tatapannya dengan rasa bersalah.Shanaya akhirnya mengerti segalanya. Semua sikap pura-pura kuat yang selama ini dia tampilkan, ternyata sudah lama dilihat oleh Susana. Hanya saja, orang cerdas tak akan mengungkapkan semuanya sampai waktunya tepat.Wajahnya memucat, dia melepaskan kepalan tangannya, lalu tiba-tiba muncul rasa per

Baru saja dia hendak membuka, ponsel Adrian tiba-tiba berdering."Lepaskan aku!"Terdengar suara Bianca yang sedang meronta, menangis histeris. "Adrian! Tolong aku!"Wajah Adrian langsung berubah serius, lalu berlari secepat kilat.Bi Santi tertegun. "Tuan Muda, kalau tidak Anda lihat sekarang, barang ini akan langsung dikirim...""Kalau begitu, kirim saja!"Adrian sudah sangat cemas, tidak bisa memedulikan hal lain lagi.Sepanjang jalan dia memacu langkah seperti angin, langsung menuju hotel. Mengabaikan larangan dari resepsionis, dia berlari ke depan pintu kamar, mengangkat kaki panjangnya, lalu menendang pintu sekuat tenaga!Di dalam kamar, ternyata bukan hanya satu pria.Untung saja pakaian Bianca masih cukup rapi. Begitu melihat Adrian, dia langsung jatuh terduduk di lantai, air mata tak terbendung.Wajah Adrian tampak sangat kelam, kedua matanya merah penuh darah, seluruh tubuhnya memancarkan aura buas yang begitu nyata.Dia meraih kursi terdekat dan melemparkannya ke arah ketiga

Dia hanya berjanji pada Susana untuk tidak membicarakan soal perceraian dengan Adrian, tetapi tidak pernah berjanji akan tetap tinggal di bawah satu atap.Dalam perjalanan kembali ke Kompleks Savana Lestari.Adrian duduk di bangku belakang dengan ekspresi datar, tatapannya entah mengarah ke mana, terlihat sedikit melamun.Bianca mengulurkan tangan dan menggoyang lengannya. "Adrian, melamun apa?"Sejak naik mobil tadi, dia memang terlihat tidak fokus.Entah Shanaya berkata apa padanya lagi."Tidak ada apa-apa."Adrian tersadar, mengangkat tangan memijat pelipis, tepat saat mobil melewati klinik pengobatan tradisional tempat Shanaya biasa praktik.Wajahnya menunjukkan sedikit rasa pasrah.Gadis kecil itu sepertinya sedang masuk masa pemberontakan, jelas-jelas menunjukkan perlawanan.Bianca tidak melewatkan perubahan ekspresi di wajahnya, mengikuti arah pandangnya, lalu memandang ke arah klinik itu dengan waspada.Klinik pengobatan tradisional…Kalau tidak salah ingat, Shanaya memang prak

Shanaya yang berjalan di belakang tiba-tiba merasakan punggungnya menegang sejenak.Namun, saat Arman menoleh dengan cemas untuk melihatnya, dia kembali bersikap biasa saja.Arman menyuruh yang lain masuk dulu, hanya menahan Shanaya. "Kalau kamu merasa tidak nyaman, biar dia pergi lebih dulu. Tidak usah ikut makan.""Guru, aku tidak apa-apa."Sejak bertemu dengannya di Negara Jerma, Shanaya sudah mempersiapkan diri secara mental.Jauh-jauh di negeri orang saja bisa bertemu, jadi bertemu lagi pun bukan hal aneh.Sekarang dia berkuasa dan terkenal dingin, tidak ada alasan untuk membuat gurunya merendahkan diri demi dia.Melihat ekspresinya tenang, Arman menepuk pundaknya. "Kalau kamu sudah bisa menerimanya, itu bagus. Bagaimanapun, kalian saudara. Mungkin dia punya alasan yang tidak bisa diungkapkan…""Guru."Tatapan Shanaya merendah, suaranya pelan menyela. "Ayo kita masuk."Selama bertahun-tahun ini, bukan hanya gurunya yang mengatakan kalimat seperti itu.Alasan yang tidak bisa diungk