Dalam bilik sempit itu, antara desahan yang hampir bocor dan suara langkah di luar, Sevi sadar—yang berbahaya bukan rasa sakitnya, tapi kenyataan bahwa ia menikmati sentuhan dirinya.“Kamu… ngapain?”Sevi menunduk dalam, pipinya memanas. Jemarinya yang tadi berusaha menutupi dada kini tak berdaya, hanya menggenggam ujung blus yang kusut. Rasa sakit bercampur malu, membuat matanya berair.“Ka… kamu ngapain, Sevi?” suara Arlan rendah tapi tegas, tatapannya menusuk.“Saya… saya enggak tahu, Pak…” Sevi menelan ludah, suaranya parau. “Rasanya sakit. Kalau enggak dikeluarin, malah makin parah.”Arlan menarik napas dalam, menahan diri. Sevi jelas panik. Namun ketika gadis itu menambahkan, “Enggak apa-apa, Pak… saya bisa sendiri,”—ia justru makin sulit menahan pikirannya.Sevi buru-buru menyeka air matanya. Ia berusaha bangkit, tapi lututnya goyah. Saat itulah matanya secara tak sengaja melirik lengan Arlan—kemeja putihnya terbuka dua kancing, memperlihatkan urat-urat dan otot lengannya yang
Last Updated : 2025-08-27 Read more