Share

Ketahuan

Author: Olivia
last update Last Updated: 2025-08-26 15:45:15
Di kantor, Sevi menyapa beberapa rekan yang ia lewati. Senyumnya kembali mengembang, seolah pagi tadi tidak pernah ada rasa sakit. Ia melangkah ke laboratorium dengan penuh semangat, sibuk dengan botol-botol susu yang harus diuji. Tangannya cekatan mencatat kadar protein dan lemak, menimbang hasil, lalu menulis laporan kecil di buku catatannya.

Untuk sesaat, ia merasa baik-baik saja. Seakan semua yang dialami tubuhnya belakangan ini hanyalah bayangan.

Namun, belum sempat ia keluar dari ruangan, rasa nyeri itu kembali datang. Lebih tajam, menusuk, membuat langkahnya terhenti. Wajahnya pucat seketika. Ia berpegangan pada meja, tubuhnya bergetar pelan.

“Ahh… kenapa sakit lagi…?” pikirnya panik.

Sevi mengulang di kepalanya air hangat, kompres, sarapan… Lalu ia terhuyung sadar. Ia lupa memompa. Saking sibuknya dengan rutinitas baru, ia melewatkan hal paling penting. Lebih buruk lagi, pompa ASI-nya tertinggal di kontrakan.

“Sial…” gumamnya dengan wajah tegang.

Ia berjalan tertati
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Sulutan Emosi

    Arlan mencondongkan tubuh ke depan, tangan bertumpu pada meja, tatapannya menusuk. “Sekali lagi kalian sebut nama Sevi dengan cara kayak tadi,” katanya perlahan, “kalian bakal berurusan bukan cuma sama aku… tapi dengan pengacara dan polisi.”Ia tak ingin menarik perhatian lebih dari ini, setelah memberikan peringatan, ia membalikkan badan dan mencoba fokus pada kue yang masih disiapkan. Nama nya pun dipanggil, kue yang ia inginkan akhirnya selesai, ia menoleh sekilas sebelum benar-benar berjalan keluar, salah satu dari dua lelaki itu tiba-tiba berdiri. Kursinya terseret kasar, matanya menyala penuh tantangan.“Heh! Lo kira lo siapa, ngancem-ngancem orang di tempat umum?!” suara lelaki itu menggelegar.Arlan mengerutkan alis. Ia tidak punya waktu untuk ini. Sevi sedang menunggunya.“Aku udah bilang yang perlu aku bilang,” balas Arlan datar. “Urusan selesai.”Namun lelaki itu melangkah cepat, berdiri hanya satu jengkal dari wajah Arlan.“Atau lo cuma berani ngomong doang? Gimana kalo k

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Obsesi yang Menjadi Luka

    Ruang interogasi sore itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Hanya ada Arlan, duduk diam di balik meja lebar berwarna gelap, dan Alya, yang kini terlihat begitu rapuh dengan tangan terborgol dan mata sembab.Sejenak, mereka hanya saling menatap dalam hening yang mana itu lebih jujur daripada percakapan apa pun selama bertahun-tahun.Alya akhirnya bicara lebih dulu.“Lan…” suaranya pecah, napasnya pendek. “Aku tahu kamu nggak mau ketemu aku. Tapi terima kasih… karena kamu tetap datang.”Arlan menggeleng pelan. “Aku datang karena kita harus menyelesaikan ini, Al.”Alya tersenyum getir. Senyum kecil yang tampak seperti usaha terakhir seseorang untuk tetap terlihat kuat.Lalu ia membuka semua.“Aku sayang kamu, Lan,” katanya lirih. “Sejak dulu. Sejak kita masih sekolah. Sejak Papa kamu sering manggil aku ke rumah, sejak Mama kamu selalu bilang aku kayak anak sendiri. Aku tumbuh di rumah kamu. Aku tumbuh dengan anggapan bahwa suatu hari… kamu pasti milih aku.”Air mata Alya kembali

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Salah Paham

    Sidang kedua hari itu berlangsung di ruang persidangan yang lebih besar, lebih ramai, dan jauh lebih menegangkan dibanding sidang pertama. Semua tersangka hadir termasuk para petinggi perusahaan Berrystraw, tim riset ilegal, serta satu nama yang membuat suasana menjadi ganjil sejak awal, Alya.Sevi duduk di kursi saksi cadangan, tepat di belakang Arlan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya menggenggam ujung blazernya dengan erat, sementara matanya mengikuti setiap pergerakan jaksa dan terdakwa.Ketika para tersangka masuk satu per satu, Sevi tetap menunduk. Namun begitu Alya muncul, langkahnya pelan, tangan terborgol di depan, rambutnya diikat seadanya, wajah tanpa riasan… suasana seketika berubah.Semua tatapan tertuju padanya.Termasuk Arlan.Arlan menatap Alya lama bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, melainkan… iba.Perasaan yang timbul saat kenangan bertahun-tahun menyeruak masuk ke dalam kepalanya.Alya kecil yang dulu selalu mengikuti di belakangnya.Al

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Menantu

    Rumah keluarga Arlan sore itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang lorong memancarkan cahaya lembut, sementara aroma sup ayam buatan sang ibu perlahan mengisi setiap sudut. Sevi duduk di meja makan, sedikit ragu, namun tersenyum ketika ibu Arlan menaruh semangkuk sup di depannya.“Coba ini, Sev. Mama masak sendiri,” ujar sang ibu sambil menepuk bahu Sevi pelan. “Kamu kelihatan capek sejak persidangan tadi.”Sevi mengangguk kecil. Tenggorokannya terasa kering, tetapi sapaan lembut itu membuatnya merasa jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Ia mengambil sendok, meniup perlahan, dan mencicipinya. Rasanya ringan, gurih, dan menenangkan.“Enak, Tante,” katanya pelan.“Panggil Mama aja,” koreksi sang ibu lembut, tersenyum hampir terlalu manis.Sevi tersedak sedikit mendengar panggilan itu. Sementara di sofa belakang mereka, Arlan yang sedang mengeringkan rambut usai mandi hanya melirik, bibirnya melengkung kecil.“Ma… mama” Sevi menunduk, wajah

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Tekanan di Ruang Sidang

    Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama ratusan orang yang berlalu-lalang di halaman gedung pengadilan negeri. Beberapa wartawan tampak mempersiapkan kamera, petugas keamanan yang mengatur garis pembatas, dan deru kendaraan hukum yang sesekali melintas.Di antara keramaian itu, Arlan berdiri tegap mengenakan setelan hitam sederhana. Tatapannya lurus ke depan, namun jemarinya sedikit mengepal, tanda bahwa ia menahan gelombang kecemasan yang sulit ia redam.Di sampingnya, Sevi berdiri dengan rok selutut dan kemeja putih. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya. Saat suara beberapa wartawan mulai memanggil nama Arlan, tangannya bergetar.Arlan meraih jemari Sevi dengan tenang, ia menggenggamnya.“Nggak papa,” bisiknya lembut. “Aku di sini.”Sevi menelan ludah, mengangguk pelan. “Aku… aku cuma takut suasananya...”Arlan menoleh, menatapnya penuh keyakinan. “Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirin. Suara kamu itu penting.”Kata-kata itu membuat dada Sevi

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Penyesalan yang Terlambat

    Malam itu, langit tampak berat. Awan menggumpal di atas kota, dan lampu-lampu apartemen Alya memantulkan cahaya lembut ke dinding putih yang kini terasa terlalu sunyi.Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar. Dari ketinggian lantai sepuluh, dunia tampak kecil, mobil lalu lalang, pejalan kaki dengan payung, dan di kejauhan lampu merah yang berkelip seperti nadi kota yang tak pernah berhenti berdetak.Namun bagi Alya, semua itu terasa hampa.Telepon genggamnya bergetar di meja. Ia melihat nama pengirimnya Unknown.Unknown (22.09) : “Target masih bersama Arlan. Proses pengawasan tahap dua dimulai malam ini.”Alya menatap layar itu lama. Jari-jarinya gemetar sebelum akhirnya ia mengetik pelan,Anda (22.09) : “Nggak perlu. Hentikan semua. Mulai malam ini.”Ia menekan send, lalu meletakkan ponsel itu jauh dari dirinya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar berhenti.Hening kembali merambat.Di dalam dadanya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan, bukan amarah, bukan pula iri, tapi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status