All Chapters of Kaisar, Jangan Meminta Lebih : Chapter 41 - Chapter 50

Suasana ruang pertemuan dewan tetua agung pagi itu tegang dan penuh tekanan. Langit-langit tinggi berlapis ukiran burung Vermilion, tirai menjuntai di sisi kanan kirir. Di tengah ruangan, lingkaran batu qi biru muda memantulkan cahaya spiritual dari simbol kerajaan.Para tetua duduk dalam formasi setengah lingkaran, dengan Tetua Chen yang membawa tongkat serta gulungan laporan, dan selir ibu di posisi paling terkemuka. Shangkara duduk di kursi utama, tenang bagai batu di tengah badai. Wajahnya adalah topeng kekaisaran yang sempurna—dingin, berwibawa, dan tak terbaca. Aura kekaisarannya terasa menekan.Tetua Chen, seorang lelaki tua dengan sorot mata tajam, membuka pertemuan dengan nada khidmat tapi menusuk.“Yang Mulia, kami memohon izin berkumpul hari ini untuk membahas ancaman serius terhadap stabilitas spiritual kerajaan. Insiden racun di pohon kehidupan, Qilin mengamuk, dan… fenomena munculnya cahaya merah perak di langit malam bulan lalu yang mengganggu aliran qi istana. Semua in

Jauh di utara, tersembunyi di balik kabut racun Pegunungan Naga Hitam, markas Klan Utara berdiri kokoh di antara batu-batu raksasa dan sungai sulfur yang beruap racun. Di ruang pertemuan bawah tanah, obor biru kehijauan berkedip di dinding batu. Asap dupa hitam dengan sihir gelap mengalir seperti kabut hidup, membentuk bayangan wajah-wajah roh di udara.Beberapa tetua berselubung jubah bulu serigala hitam duduk melingkar di atas simbol bulan sabit terbalik yang terukir di lantai—sebuah penghinaan terhadap klan Bulan yang telah mereka musnahkan.Salah satu dari mereka, lelaki tua bermata kelabu, membuka matanya tiba-tiba. “Energi Bulan... barusan bangkit di Selatan.”Bisik-bisik memenuhi ruangan.“Tidak mungkin,” ujar yang lain, suaranya parau, “Darah Bulan sudah musnah dua puluh tahun lalu.” “Lalu siapa yang berani membangkitkan cahaya itu lagi?”Mereka saling pandang. Simbol bulan sabit terbalik di lantai tiba-tiba re

Kabut dini hari masih bergantung di antara pepohonan. Hawa Vermilion di sekitar mereka belum juga lenyap, membentuk lingkaran hangat di tengah udara hutan yang dingin.Cailin belum bergerak. Detak jantung di dadanya belum mau tenang, seolah tubuhnya masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.Shangkara menunduk sedikit, napasnya menyapu lembut sisi wajahnya yang masih memerah.“Kau tidak akan mengajakku masuk,” suaranya rendah, nyaris seperti godaan yang disembunyikan di balik nada datar, “atau kau memang terlalu nyaman berada di pelukanku?”Cailin sontak tersadar, mendorong dadanya dengan cepat—tidak kuat tapi cukup untuk membuat ruang di antara mereka. “Jangan rusak momen ini dengan omonganmu yang menyebalkan,” suaranya bergetar, campuran malu, marah dan kelegaan.Shangkara tertawa rendah, getarannya terasa hingga ke tulang Cailin. “Kalau kau terus begini, kita akan berdiri di sini sampai pagi. Dan bayangkan betapa senangnya Klan Utara menemukan Kaisar Vermilion membeku di de

Suasana di dalam pondok terasa berat oleh kebenaran yang baru saja diungkapkan Guru Fen. Informasi tentang ramalan kuno itu menggantung di udara, jauh lebih menakutkan daripada ancaman para tetua atau Selir Ibu. Cailin duduk di tepi ranjang, memproses kenyataan bahwa keberadaannya saja sudah cukup untuk memicu kekacauan global. Di tengah keheningan itu, satu nama muncul di benaknya, diiringi gelombang rasa bersalah yang menusuk. “Lian,” bisiknya pelan. “Ren, apa kau tahu di mana Lian sekarang?” Ren menunduk sedikit. “Dia masih di istana timur, Nona. Di bawah pengawasan selir ibu.” Cailin menggigit bibir. “Dia sendirian di istana. Selir Ibu... dia pasti akan menggunakan Lian untuk melukaiku, atau lebih buruk lagi.” Shangkara, yang sejak tadi berdiri di sebelah Cailin, menoleh pada Ren. “Bawa dia kemari.” Cailin memandangnya khawatir. “Tapi ini berbahaya. Apa jadinya jika musuh mengetahuinya?” Guru Fen yang sedang duduk dekat perapian ikut bersuara. “Cailin, dalam situasi seperti i

Air sungai di hadapan mereka mengalir lambat, seolah takut memecah keheningan. Suara burung pun lenyap entah ke mana. Pertanyaan itu menggantung di udara yang tiba-tiba terasa dingin, lebih dingin dari embun pagi. "Di mana dia ... saat klanku dibantai?"Guru Fen terdiam. Ia tidak menatap Cailin, melainkan pada pantulan wajahnya sendiri di permukaan sungai yang tenang. Keheningan itu adalah jawaban yang lebih mengerikan daripada kata-kata.Ia akhirnya bicara pelan, “Ya. Dua puluh tahun lalu, Shangkara sudah menjadi Kaisar.”Cailin menatapnya lekat-lekat. “Lalu kenapa…?” suaranya serak. “Kenapa dia tidak menghentikan mereka?”“Untuk menjawab itu,” suara guru Fen serak