LOGINHari itu, toko kue milik bangsawan distrik barat tampak lebih ramai dari biasanya. Aroma manis memenuhi udara, bercampur dengan desas-desus kecil di antara para pelanggan yang berdandan rapi.
Seorang wanita bangsawan dengan gaun sutra biru dan sarung tangan beludru memandangi deretan kue di etalase kaca. “Aku dengar toko ini menggunakan selai anggur dari keluarga Devereux?” tanyanya, suaranya setengah berbisik namun cukup nyaring untuk menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Pemilik toko—wanita paruh baya dengan senyum profesional—menunduk sopan. “Benar, Nyonya. Saya mendapatkannya dari penjual selai di pasar. Mereka bilang bahan itu datang langsung dari perkebunan Devereux di utara.” Wanita bangsawan itu mengangguk perlahan, mengangkat sepotong kue dengan garpu perak kecil. “Ah, pantas saja. Rasanya lembut… ada keharuman anggur yang khas. Mungkin Devereux akhirnya mLangit telah sepenuhnya gelap di atas rumah kecil peninggalan Edmund Rosse—bangunan tua yang berdiri lebih karena kenangan daripada kekuatan. Rintik hujan jatuh perlahan, mengetuk atap kayu dengan bunyi lembut yang justru menambah sunyi. Di dalam kamar sempit, Avelinne terbaring di atas ranjang reot. Gaun putihnya masih melekat—kusut, ternodai debu dan air mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis namun teratur, seolah tubuhnya bertahan hanya karena belum diberi izin untuk runtuh sepenuhnya. Elowen berdiri di sisi ranjang, jemarinya saling mencengkeram. Di sebelahnya, Osric diam membatu. Seorang dokter tua menunduk memeriksa Avelinne—menyentuh pergelangan tangannya, mendekatkan telinga ke dadanya, menghitung denyut dengan kesabaran yang nyaris kejam bagi dua orang yang menunggu. Ia terlalu lama diam. Elowen menahan napas. “Apakah kakakku… baik-baik saja?” Dokter itu mengangkat wajahnya perlahan. “Dia hanya pingsan.” Elowen mengembuskan napas lega yang rapuh. Namun Osric
Marlowe. Tangannya gemetar meremas topinya. Matanya beralih pada Avelinne—penuh ketakutan, penuh penyesalan. Avelinne membeku. Elowen menggeleng pelan ke arahnya. Isyarat tanpa suara: jangan. Sebastian menatap pria itu, bingung. “Marlowe…?” Marlowe menelan ludah. Suaranya keluar lirih. “Maafkan aku, Rosse.” Lady Vareen mendekat. “Katakan,” perintahnya. “Siapa wanita itu sebenarnya.” Marlowe memejamkan mata. Lalu membuka kembali—dan berbicara. “Avelinne Rosse adalah putri Edmund Rosse.” Nama itu jatuh berat. Seperti lonceng kematian yang dipukul terlalu dekat. “Pemilik kebun anggur yang kini dikelola Devereux,” lanjutnya. “Ia tidak datang ke keluarga ini sebagai calon istrimu… melainkan untuk membalas dendam. Untuk merebut kembali tanah ayahnya.” Jari Avelinne bergetar. Ia meremas gaunnya, napasnya goyah. Sebastian menoleh padanya, wajahnya kosong. “Edmund Rosse…?” Nama itu asing. Dan justru karena itu, mematikan. “Avelinne,” suaranya pecah. “Apa maksud s
Mobil Marcus berhenti di depan sebuah gereja batu tua. Bangunannya tidak besar, tapi terawat—jendela kaca patri memantulkan cahaya kelabu pagi yang belum sepenuhnya pecah. Dari kejauhan, terlihat siluet dua sosok berdiri berhadapan di dalamnya. Diam. Khidmat. Lady Vareen menyipitkan mata. “Di sini?” tanyanya pelan, seolah bertanya pada nalurinya sendiri. “Gereja terdekat dari gudang hanya ini,” jawab Marcus singkat. “Masuk akal.” Henry bersuara dari belakang, tenang namun mendesak. “Kita turun saja. Kalau benar, kita akan tahu.” Lucianne lebih dulu membuka pintu dan melangkah keluar. Lady Vareen menyusul, langkah sepatunya mantap, tanpa ragu. Marcus dan Henry mengikuti. Pintu gereja terbuka. Udara di dalam dingin dan hening, dipenuhi bau lilin dan kayu tua. Bangku-bangku terisi—tidak penuh, tapi cukup untuk disebut pernikahan yang sah. Beberapa kepala menoleh ketika rombongan itu masuk. Bisik-bisik kecil mulai bergerak seperti riak di air. Di depan altar, sepasang me
Hari itu langit menggantung rendah—mendung tanpa hujan, seperti dada yang menahan napas terlalu lama. Jalanan basah memantulkan warna kelabu, dan udara terasa sunyi dengan cara yang tidak wajar; tidak ada angin, tidak ada suara burung, hanya kesan bahwa sesuatu sedang ditahan agar tidak pecah terlalu cepat. Mobil Marcus melaju tenang di jalan utama, rodanya membelah genangan tipis. Di dalamnya, tak ada percakapan yang perlu. Ketika kendaraan itu berbelok di tikungan terakhir, gerbang gudang anggur Devereux muncul di hadapan mereka—kokoh, diam, seolah tak tahu apa yang sedang mendekat. Mobil berhenti. Lady Vareen turun lebih dulu. Sepatu haknya menyentuh tanah basah tanpa ragu. Marcus menyusul, wajahnya tertutup, lalu Lucianne di belakang mereka, tatapannya bergerak cepat, mencatat lebih banyak daripada yang ia perlihatkan. Mereka masuk ke dalam. Langkah Lady Vareen terdengar jelas di lorong gudang—tegas, terukur. Suara hak sepatunya memantul di antara dinding batu dan rak
Fajar bahkan belum memutus kelam; hanya abu-abu dingin yang menempel di jendela. Avelinne sudah terjaga—atau mungkin memang tak pernah tertidur. Ia duduk bersandar, menatap langit pucat yang masih enggan berubah. Hari ini seharusnya menjadi puncak rencananya: menjadi istri Sebastian, menjejak tanah yang dulu dicabut dari keluarganya, mengunci jalan menuju balas dendam. Namun anehnya… dadanya terasa seperti diikat simpul yang tak bisa diuraikan. Di ranjang bawah, Elowen menggeliat. “Avelinne… kau sudah bangun?” Avelinne menoleh lambat. “Hari ini… aku menikah dengan Sebastian.” Elowen terlompat duduk. “Benarkah? Jadi kau akan resmi…?” Avelinne mengangguk tipis. “Itu satu-satunya cara agar kita tetap di sini.” “Kalau begitu kenapa kau belum bersiap?” tanya Elowen polos. “Gaunmu mana?” Avelinne menarik napas pendek. “Dia tidak bilang harus memakai apa. Mungkin sederhana saja. Ini pernikahan kecil.” “Tanpa pesta?” Elowen bingung. “Kukira semua pernikahan—”
Siang merayap perlahan ke ruang produksi selai, membawa hangat tipis yang memecah aroma anggur dari baki-baki terbuka. Para pekerja mulai menata makan siang, percakapan mereka hanya gumaman tentang cuaca dan panen—ringan, mengambang seperti jeda yang tidak menuntut apa pun. Melalui celah pintu gudang yang terbuka sedikit, Sebastian berhenti. Ia seharusnya berjalan menuju bagian penyimpanan untuk memeriksa catatan Osric, tapi langkahnya membeku ketika melihat sosok itu. Avelinne berdiri di bawah cahaya siang yang temaram, wajahnya menegang halus—bukan sakit, bukan lelah—lebih seperti seseorang yang menangkap bisikan yang tidak didengar oleh siapa pun. Sebastian tetap diam, tubuhnya setegak bayangan rak anggur. Gerakan Avelinne tampak wajar bagi pekerja lain, namun tidak bagi Sebastian: tangannya sesekali berhenti tanpa alasan, matanya menatap sesaat ke suatu titik di udara—seperti ia merasa ada sesuatu bergerak lembut di dalam dirinya. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan di







