Hari-hari berikutnya berlalu tanpa hitungan. Aku hidup seperti bayangan di hutan. Makan ketika ada, bertahan ketika tidak. Luka di lenganku mengering, meninggalkan rasa perih yang terus mengingatkanku betapa rapuhnya tubuh ini. Setiap malam, aku duduk bersila di sudut gua, menjaga nyala hangat di perutku agar tidak padam. Nyala itu tidak patuh. Kadang ia muncul, kadang menghilang. Saat aku mencoba memaksanya berputar mengikuti napas, rasa sakit menyambar seperti besi panas menusuk tulang. Aku jatuh, muntah, lalu bangkit lagi. Tidak ada yang mengajariku mana yang benar. Aku hanya tahu satu hal: jika aku berhenti, semuanya berakhir. Suatu malam, hujan turun tanpa suara. Air merembes ke dalam gua, membasahi lantai batu. Aku hampir pergi, sampai aku melihatnya. Ukiran. Di dinding belakang gua, tertutup lumut dan debu, ada goresan-goresan halus membentuk barisan simbol aneh. Bukan tulisan desa. Bukan juga huruf yang pernah kulihat. Garis-garisnya patah, kasar, seolah diukir o
Last Updated : 2025-12-20 Read more