Terjerat Gairah Arjuna

Terjerat Gairah Arjuna

By:  haihaw  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating
102Chapters
6.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Jika kamu kehabisan stok permen di toples kacamu, coba singgah sini. Akan kusuguhkan kisah pemuda yang tiba-tiba menemukan manisan di balik senyum pemudi di bawah hujan bulan kesembilan. Dia tidak mencari tapi semesta memberi dengan senang hati. Dia, Arjuna Abisatya, taruna dengan penampilan badboy yang selama 20 tahun hidup belum pernah mengecap dunia romansa. Anting, kalung rantai, pakaian robek sana-sini hanyalah simbol kekosongan dari jiwanya. Hingga suatu hari afrodit laksmi jatuh di hadapannya. Membawa keajaiban sekaligus memposisikan Juna dalam kubus-kubus yang silih ganti memenjara. Ini tentang Juna. Sebuah kisah sederhana dimana ia belajar memahami manisnya cinta, pahitnya kehilangan, dan makna kehadiran yang sudah sepantasnya ia jaga.

View More
Terjerat Gairah Arjuna Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
haihaw
cek videonya di tiktok : phiutoyou xD
2022-10-23 00:59:36
0
102 Chapters
01. We met this morning
Matahari menempel di langit utara. Perlahan merangkak ke atas kepala. Kanvas putih kebiruan diraib oleh gurat-gurat kelabu kelam. Katanya musim panas baru akan berakhir, ternyata hujan sudah tidak sabar melepas aspal dari kegerahan. Terdiam di pemberhentian bus, Juna menelisik heran pada cuaca. Apakah air dan sinar sang rawi sedang bertengkar hari ini? Orang bilang ini hujan monyet. Kenapa? Padahal tidak ada monyet turun dari langit. Aneh-aneh saja. Lalu yang jatuh malah seseorang di depan Juna. Refleks ia meraih lengan gadis itu agar tubuhnya tidak mencium tanah. Bukannya mengeluh, si pemudi malah menampakkan geliginya kepada sang penolong. Entah menertawakan kelalaian diri atau memang dia murah senyuman. Urutan detik-detik membawa detak-detak tak beraturan dari organ bernama jantung milik si adam, sebelum otak menyeretnya pada alam sadar yang sungguhan. Gadis itu belum sepenuhnya aman dari hujan. Juna segera menariknya pelan hingga mereka disatu atap halte yan
Read more
02. Hewan buas dan pawangnya
Sebutlah Arjuna Abisatya itu anak semata wayang. Sebab nyatanya memang begitu. Tinggal sendiri di tengah-tengah kota Semarang, orang tuanya ada di kota budaya Surakarta. Sang ayah menghabiskan waktu mengelola bisnis furnitur, sementara ibunya merawat orang-orang sakit usai ditangani dokter. Apalah daya, anaknya sendiri malah jarang sekali diurus. Tetapi, Juna enggan mempermasalahkan itu. Selain karena sedang menempuh pendidikan di kota lain, ia juga sudah dewasa, menurut kata hatinya.  Tapi sesempurna apa cowok 20 tahun mengurus diri sendiri? Bagaimanapun dia masih membutuhkan keluarga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tapi juga afeksi dan perlindungan. Juna kehilangan potongan puzzle itu. Hendak mencari pun, toh tempatnya sudah ada, hanya sulit diraih saja.  "Jadi buat apa ketemu?" Si adam bersurai hitam itu melempar tanya. Dua telapak tangannya menempel pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe. Melukiskan dua bahu yang makin hari makin me
Read more
03. Wanna see her again
Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap.  Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang.  "Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata. Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan.  "Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya.  "Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yu
Read more
04. Penampilan
Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.  Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin.  "Lo beneran suka dia?" "Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.
Read more
05. A cup of heart
'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak.  Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja.  Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna.  Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak
Read more
06. Nama panggilan
❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded | Kill me, please! → Forwarded | Gue pulang bareng dia!  Banu :| Oh my...  Tara :| Juna, kan?  Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!!  Sena :| @Juna  Klarifikasi sendiri lo sini!     "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
Read more
07. He tries his best
❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung  Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!!  Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna  Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu  Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna  Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena | @Juna  Gue udah ngasih wejangan ya, inget        Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Read more
08. Jalan pulang
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.  Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari. Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Read more
09. Free mans on the freeday
Saturday, freeday.   Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang.  Berbalut kaus putih polos dan celana panjang  dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri.  Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu.  Sebelum... dia tersenyum sendirian.  Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
Read more
10. Gunting, batu, kertas
D-day, theme park.  Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.  Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata.  "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat
Read more
DMCA.com Protection Status