Tentang kehampaan hati seorang wanita yang menikah tanpa berdasarkan cinta, tetapi hidup bergelimang harta dan suami yang sangat menyayanginya. Juga tentang perasaan lain yang hadir untuk lelaki lain di tengah pernikahan yang berusaha ia jaga dan pertahankan. Namun, godaan dan rasa cinta yang begitu kuat membuatnya jatuh terperosok dalam lobang dosa yang sangat dalam.
Lihat lebih banyak[Aletta Azzahra aku ceraikan dirimu dan aku bebaskan kamu dari pernikahan ini. Mulai saat ini, kau bukan lagi istriku dan gugur sudah tanggung jawabku terhadapmu.]
Aku memegangi dadaku saat membaca satu buah pesan yang dikirim suamiku. Kontak dengan nama ‘My Love’ itu, terakhir aktif sepuluh menit yang lalu.
Aku menghubungi suamiku lewat sambungan telepon. Namun, sayang nomornya sudah tidak aktif. Beberapa kali aku mengulangi panggilan, tapi hanya suara operator yang menjawab.
“Mama, kok malah main hape, sih? Rambut Thalita, ‘kan belum selesai diikat. Emh ... Mama kebiasaan deh, suka main hape terus.” Anakku bersedekap dada dengan bibir mengerucut.
Pagi ini, Thalita putriku memang memintaku untuk mengikat rambutnya dengan ikat dua di atas. Baru selesai sebelah, bunyi ponsel mengalihkan konsentrasiku. Apalagi setelah membaca pesan yang masuk, hatiku jadi tak enak dan ingin cepat menghubungi Mas Mirza.
Setelah menyelesaikan ikatan rambut Thalita, aku kembali mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suamiku lagi.
“Thalita, anak Mama yang cantik, sekarang Thalita sarapan duluan sama Bibi, ya? Mama harus menelepon seseorang dulu,” kataku pada putriku.
“Mama mau telpon siapa, Papa?” tanya putriku.
Sesak dada ini melihat ekspresi wajah Thalita yang langsung berbinar bahagia.
“Iya, siapa tahu sekarang sudah ada sinyal.”
“Yeee! Nanti, kalau sudah tersambung sama Papa, bilangin ya, kalau Thalita, kangeeeen banget sama Papa. Oke, Ma?” ucapnya antusias.
“Iya, Sayang. Sekarang Thalita sarapan dulu, ya?” kataku lagi.
Akhirnya Thalita menurut dan pergi ke ruang makan. Setelah Thalita keluar, aku terus menghubungi nomor suamiku. Namun, hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban, dan nomornya kembali tidak aktif.
Sebulan yang lalu, Mas Mirza ijin untuk pergi ke luar kota. Katanya kantor cabang membutuhkan dia di sana. Tanpa curiga dan banyak bertanya, aku pun mengiyakan. Karena ini bukan yang pertama juga dia pergi untuk urusan pekerjaan.
"Ini tidak mungkin," lirihku seraya menatap ponsel.
Kejanggalan memang sudah aku rasakan sejak satu minggu dia di sana. Mas Mirza jadi jarang menghubungiku. Mas Mirza bilang, di tempatnya tinggal kini sangat susah signal. Jangankan untuk bervideo call, untuk sekedar sambungan telepon tanpa internet pun, sangat sulit.
Jika bertukar kabar, dia hanya berpesan agar aku selalu menjaga kesehatanku dan menjaga Thalita buah hatiku.
Kembali aku membaca pesan yang dia kirim. Sama, tidak berubah satu kata pun. Seperti ada belati yang menancap hati, perih dan sangat sakit. Air mata yang sedari tadi menggenang, kini tumpah dan mengalir deras membasahi pipiku.
“Benarkah kamu yang menulis ini, Mas?” lirihku dengan tetap melihat pesan yang Mas Mirza kirim.
Apa yang membuat Mas Mirza menalakku tanpa alasan? Itulah yang ingin aku tahu. Setahuku, aku tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat dirinya sakit hati atau kecewa.
Aku mengingat kembali kejadian-kejadian sebelum keberangkatannya. Kami masih sangat mesra dan saling melempar canda. Tidak ada tanda kalau dia pergi dengan membawa amarah atau luka dariku.
[Mas, kenapa kamu menalakku? Apa alasan kamu menceraikanku, Mas?]
[Mas, hanya bercanda, kan?]
[Tapi, aku sedang tidak ulang tahun. Anniversary kita juga masih tiga bulan lagi, Mas.]
Aku mengirimkan beberapa pesan melalui W******p ke nomor Mas Mirza. Seperti biasa, tidak ada balasan. Jangankan dibaca, pesannya pun hanya centang satu.
[Mas, Leta sangat merindukan, Mas. Satu bulan loh, kita tidak jumpa, masa Mas mengerjaiku dengan menalakku. Tega, deh.]
[Jangan main-main sama talak, Mas. Aletta takut, nanti kalau beneran gimana?]
Tanganku lihai mengetik pesan yang langsung aku kirim pada suamiku.
[Nanti, kalau sudah ada sinyal, hubungi Leta ya, Mas. Thalita juga sangat merindukan Papanya.]
[Oh ... aku tahu, Mas pasti sudah jalan pulang, ya? Mas ngerjain aku nih, nanti taunya meluk aja dari belakang seperti waktu dulu. Iya, 'kan?]
Lagi, aku kirimkan rentetan pesan kepada suamiku, berharap ada satu saja pesan balasan dari Mas Mirza untukku.
Aku tidak boleh panik. Aku harus berpikir positif, tidak boleh suudzon pada suami. Meskipun hatiku sudah tidak baik-baik saja.
Aku keluar dari kamar. Pergi ke dapur dan menemani putriku yang sedang sarapan.
“Mama, gimana ada telpon dari Papa?” Putriku yang berusia lima tahun itu langsung menanyakan Papanya. Hampir saja air mataku kembali keluar, tapi aku tahan dengan sekuat tenaga.
Aku harus tetap berpikir positif, tidak ada apa-apa antara aku dan Mas Mirza. Dia hanya mengerjaiku.
“Belum, Sayang. Sepertinya masih tidak ada sinyal di sana. Doakan Papa, ya ... supaya selalu sehat dan Allah selalu jagain Papa,” ujarku mengelus kepala putriku.
Hatiku kembali berdenyut, sesak kini kurasakan. Tapi, aku selalu meyakinkan hati ini bahwa semuanya baik-baik saja.
Setelah selesai sarapan, aku berinisiatif untuk memasak beberapa makanan kesukaan Mas Mirza. Karena aku yakin, kalau saat ini dia sedang dalam perjalanan pulang. Namun, dia merahasiakan kepulangannya.
“Wah, Ibu mau masak banyak, kok itu isi kulkas dikeluarin semua begitu?” ujar Niar ART-ku.
“Iya, Ni. Aku mau masakin makanan kesukaannya Mas Mirza, sebentar lagi dia pulang. Kamu bantuin potong-potong sayur sama daging, ya?”
“Siap, Bu.” Niar bergegas mengambil beberapa sayur untuk dipotong.
*
Setelah hampir dua jam aku berkutat di dapur dengan peralatan masak, akhirnya semua makanan kesukaan suamiku telah terhidang di meja makan. Biasanya, Mas Mirza akan sampai pukul satu siang, itu artinya masih ada waktu untukku mempercantik diri menyambut kedatangan Mas Mirza.
Aku gegas pergi ke kamar untuk mandi dan bersolek. Tidak lupa aku membuka kembali ponsel, berharap Mas Mirza akan mengirim balasan pesan padaku.
“Tidak, ada.” Aku mendengkus, kembali aku masuk ke kamar mandi.
Dalam guyuran air shower, ingatanku kembali pada pesan yang masuk ke ponselku. Sesak kembali terasa, tapi aku segera menepisnya. Yakin, kalau itu bukan pesan dari Mas Mirza.
Setelah selesai, aku mengenakan pakaian terbaikku. Kupoles wajah ini dengan makeup natural andalan. Biasanya Mas Mirza langsung memujiku jika aku berdandan seperti ini.
“Aduuh ... istrinya siapa ini cantik sekali? Jadi tambah jatuh cinta terus, sama Mamanya Thalita.” Itu pujian yang selalu aku dengar dari bibir suamiku.
Setelah selesai, aku kembali ke bawah. Duduk di kursi meja makan dan menunggu datangnya pujaan hati.
Thalita sengaja aku suruh bermain di taman kompleks bersama Niar. Aku sangat merindukan suamiku, aku ingin menyambutnya dengan sepenuh hati. Ini adalah kepergian terlamanya. Biasanya hanya tiga hari atau satu minggu dia berada di luar kota. Sekarang sudah satu bulan, jelaslah aku sangat menunggu kepulangannya.
Sekarang sudah pukul dua, tanda-tanda mobil masuk ke garasi pun tidak ada. Ponsel yang sedari aku letakan di dekatku, tidak berbunyi satu kali pun.
"Mas Mirza sudah di mana?" kataku seraya megetuk-ketukan jari pada meja.
Makanan yang aku masak mulai dingin. Hatiku semakin gusar. Bayangan sebuah perpisahan menari indah di pelupuk mata. Secepat mungkin aku mengusir bayangan itu.
Aku menundukkan kepala, menempelkan kening pada tangan yang aku lipat di atas meja. Aku mendongak saat pundakku diusap lembut.
“Mas Mirza!”
Setelah melewati beberapa kali rangkaian pemeriksaan, akhirnya Airin dijadwalkan untuk menjalani operasi siang ini. Semua sedang dipersiapkan tinggal menunggu tim menjemput dan membawanya ke ruang operasi. “Sayang ... aku yakin kamu bisa sembuh dan aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu.” “Pi, maafkan aku—” “Sstt ... sudah, jangan memikirkan yang lain dulu, sekarang kita fokus untuk kesembuhanmu. Aku yakin kamu pasti kuat, Mi.” “Tidak, Pi, aku takut aku tak bisa membuka mata lagi dan aku belum mendapatkan maaf darimu, Pi.” “Sayang—kita lupakan semuanya dan Insya Allah—aku sudah memaafkanmu.” Tutur Bram tulus, meski di dalam hatinya ada rasa sakit yang teramat menggores. Namun, setelah melewati proses merenung dan menjalankan salat istikharah, ia memutuskan untuk memaafkan Airin dan berjanji akan membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi. Meski jujur harus diakuinya ada rada yang sangat tak nyaman saat mengingat bahwa istri yang teramat dia sayangi pernah membagi tubuh dan hat
“Semua berkas sudah siap dan saya juga sudah membuat janji dengan Dokter Victor, Pak Bram bisa segera berangkat.” Dokter Faizal berbicara dengan Bram di ruang kerjanya.Malam ini juga Airin akan segera diterbangkan ke Penang untuk menjalani pengobatan, ia akan menjalani operasi Whipple. Operasi Whipple adalah operasi yang melibatkan pengangkatan bagian kepala pankreas, bagian pertama dari usus kecil ( duodenum ), dan sebagian dari saluran empedu, kantong empedu, dan terkadang sebagian lambung. Umumnya, operasi ini digunakan untuk menangani kanker pankreas. Untuk penderita di stadium 1,2, dan 3 yang belum parah, telah banyak penderita sembuh total setelah menjalani operasi ini.“Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter.” Dengan tangan gemetar Bram menerima semua berkas yang harus ia bawa untuk diserahkan pada pihak rumah sakit di Penang. Hati Bram hancur menerima semua kenyataan ini. Namun, ia harus tetap tegar dan kuat demi untuk kesembuhan wanita yang sangat ia sayangi. “Oke, jik
“Jadi, istrinya Dazel berasal dari Karawang? Sama dengan aku?” Airin berkata di dalam hatinya. Sesaat ingatannya tertuju pada kampung halaman, orang tua, teman, dan saudara-saudaranya yang entah sudah berapa lama tak berjumpa. Lalu Airin teringat akan Wulan, teman semasa kecil yang sudah sekian lama tak diketahui kabarnya. Semenjak Airin menikah dan menetap di Jakarta, ia jarang sekali pulang ke kampung dan saat Wulan menikah pun Airin tak mengetahuinya.“Sayang ....”Dazel menggenggam tangan Airin dan menciuminya ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil Airin. Namun, melihat kondisinya yang lemah Dazel takut malah akan menyakitinya.“Sayang, kamu kenapa bisa seperti ini? Sakit apa?”“Dazel, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja, aku sangat mencintaimu, Sayang, kenapa kamu bertanya seperti ini? Kenapa meragukan aku? Kita telah bersama selama tiga tahun, apa yang kamu ragukan, Sayang?”“Boleh aku meminta sesuatu?”“Katakanlah—““Ti—tinggalkan aku.”Dazel merasa seperti terhempas ke dalam ju
BAB 26“Tambah lagi, ya, makannya?” Bram membujuk Airin yang beberapa hari terakhir ini susah sekali untuk makan. Dalam dua minggu terakhir ini atau selama ia sakit, berat badannya menurun drastis. Tubuh mungilnya semakin kurus dan pucat.“Udah, Pi,” Airin menjawab dengan lemah.Dua pekan sudah Airin terbaring di rumah sakit, keinginannya untuk bed rest di rumah tak dikabulkan pihak rumah sakit mengingat seringnya Airin mengalami drop dan tiba-tiba mengalami rasa sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas kiri dan kemudian menyebar hingga ke bagian belakang. Rasa nyeri itu akan semakin bertambah saat ia sedang makan atau berbaring.Bram meletakkan piring yang isinya hanya beberapa sendok saja yang berhasil ia suapkan pada Airin. Ia melirik arloji yang melingkar di tangannya, jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi lebih beberapa menit saja. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Dokter Faizal untuk membicarakan tentang pengobatan Airin yang akan diberangkatkan ke Penang at
BAB 25Dada Dazel bergemuruh hebat saat ia menerima telepon dari ART-nya yang mengabarkan kalau istrinya ditemukan tak sadarkan diri di dalam kamar.Dirinya yang saat itu sedang berbunga-bunga karena baru saja membuat janji bertemu dengan wanita lain yang tiga tahun terakhir ini mengisi hatinya, bertakhta setara dengan Regina. Dazel mencintai keduanya tanpa ada perbedaan. Dazel bukan mencintai Airin karena nafsu atau karena kemiripan wajah Airin dengan Regina, tetapi Dazel benar-benar mencintai Airin dari lubuk hati terdalam. Di tengah rasa paniknya, Dazel masih menyempatkan diri mengabari Airin dan meminta maaf harus membatalkan rencana kencan mereka. [Sayang ... maaf, untuk hari ini kita batal bertemu, aku ada urusan mendadak.] Dazel memberikan alasan batalnya pertemuan mereka. Namun, setelah beberapa saat menunggu tak juga ada balasan dari Airin. Dazel berusaha menelepon kekasih hatinya, tetapi tak juga dijawab olehnya. Rasa cemas dan takut kehilangan mendera hati. Ia sangat men
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen