aska masih melamun, karena kegundahan dan resah masih melanda hatinya. Terutama handphone yang masih ia otak-atik menunggu kabar dari Yesa yang tak kunjung datang. Padahal ia amat mencintai kekasihnya itu dan amat takut kehilangannya.
Sekalipun ia tau, jika Yesa tak lagi mencintainya, dan telah mengatakan putus. Dan meskipun berulang kali Azka memintanya untuk menjauh, tapi semakin ia menjauh, semakin besar rasanya terhadap Yesa.
"Alaska! Nanti pergi kampus, gue naik angkutan umum aja ya!" tukas Azka pada Alaska.
"Loh kenapa? Kok gak bareng gue aja?"
"Iya lagi pengen menikmati suasana angkutan umum aja gue," tukas Azka lagi seraya menepuk pundak Alaska yang hanya mengangguk dan kembali melanjutkan lamunannya seraya menatap layar ponsel yang kini ada di genggamannya.
"Lo kenapa sih wajahnya remuk banget? Masih mikirin Yesa ya?" tanya Azka lagi yang sontak membuat Alaska berdecak.
"Iya masih lah Ka, gue mikirin dia lagi apa sekarang," jawab Alaska dengan lesunya.
"Alaska, Alaska,"
"Kenapa?"
"Iya gak apa-apa, gue cuma kasihan aja liat lo, mencintai dia yang gak mencintai lo. Cinta sendiri itu gak enak Ka," timpal Azka sebelum beranjak dari kursi teras di mana ia dan Alaska duduk menikmati secangkir kopi hangat dan juga mie instan yang udah siap disajikan.
"Gue mau nemuin Yesa sekarang Ka,"
"Hah? Sekarang? Mau apa Ka? Jangan deh Ka! Gue gak mau lo sakit," cegat Azka cepat sebelum Alaska melangkahkan kakinya ke rumah Yesa. Apalagi jarak dari kost Alaska dan rumah Yesa lumayan jauh.
"Iya sekarang, lagian kalo memang cinta itu kan harus butuh perjuangan dan pengorbanan Ka," jawab Alaska dengan entengnya.
"Bener, cinta itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Tapi, cinta yang mana dulu Ka? Cinta yang juga mencintai lo, yang juga menghargai lo Ka! Bukan cuma lo aja yang berjuang, karena kalian jalanin hubungan itu kan berdua!" sungut Azka pada Alaska yang masih terdiam.
"Iya udah, gue siap-siap dulu okey! Gue mau samperin Yesa ke rumahnya, gue kangen," lirih Alaska yang lari duluan ke kamar dan bergegas mengganti pakaiannya, padahal Azka belum siap ngomong.
'Huh dasar Alaska!' gerutu Azka lagi dan menatap ke dalam.
Selang beberapa menit, akhirnya Alaska siap juga dan bergegas akan menuju ke rumah Yesa, dengan celana dan jaket levisnya. Alaska memang tampan, tapi sayang, tampan dan cinta tidak akan membuat seseorang akan bertahan. Tapi kalo tampan, diiringi dengan uang maka seseorang akan bertahan bahkan tanpa rasa sekalipun, ia bisa takut kehilangan.
Tapi nyatanya, kebahagiaan gak akan bisa dibeli dengan uang, seberapa banyak pun uang yang kita miliki.
Tapi dalam dunia nyata, emang itu yang terjadi. Semua akan mendekat, akan peduli, juga akan sayang hanya karena sebuah uang. Itulah yang terjadi pada Alaska saat ini. Namun, bagi Alaska cinta bukan berasal dari uang. Tapi dari sebuah rasa dan ketulusan yang diberikan.
“Alaska, lo beneran yakin? Yesa udah ngeblokir nomor lo! Itu artinya, dia gak mau berhubungan apa-apa lagi sama lo Ka!” inget Azka sebelum Alaskan benar-benar melangkahkan kakinya.
“Gue gak peduli Azka! Namanya cinta, harus dibuktikan, bukan cuma sekedar menjanjikan,”
“Terserah lo Ka! Kalo masih nekat, siap-siap apapun yang lo terima nantinya!” akhir kalimat yang dilontarkan Azka, pasrah pada Alaska yang keras kepala.
***
Brrrmmm..
Motor Alaska sudah tepat berada di depan pagar rumah Yesa, ia bergegas untuk masuk ke dalam rumah, akan tetapi rumah besar nan megah itu bak tak berpenghuni. Hanya ada kang kebun yang lagi berberes di halaman rumah Yesa. Yah, lagi-lagi kang kebun.
"Pagi Kang kebun," sapa Alaska yang berada tepat di depan kang kebun.
"Eh, Den Alaska rupanya. Nyari non Yesa ya Den?" tanya kang kebun pada Alaska yang menyeka keringat di dahinya.
"Iya Kang, nyari Yesa lah, masa nyari kang kebun," canda Alaska pada kang kebun. Padahal, hatinya tengah berkecamuk sekarang. Tapi ia masih bisa tertawa dan bercanda sekedar menutup kesedihan yang menyesakkan dadanya.
"Hahaha, bisa aja si Aden. Aduh punten ini ya Den, si non teh tadi pergi sama temennya," kata si kang kebun lagi pada Alaska.
"Sama temen? Cewek atau cowok Kang?" tanya Alaska lagi.
"Duh, kalo itu bapak kurang tau si Den. Tapi tadi pakai mobil deh kayaknya," jawab kang kebun lagi pada Alaska.
"Mobil? Warna hitam ya kang?" tanya Alaska lagi yang panik juga khawatir jika Yesa pergi dengan pria yang ia temui tadi siang.
"Kang tau gak tadi Yesa mau pergi kemana?"
"Hahaha, Akang mah mana tau Den. Kan si non Yesa gak bakalan ngomong juga sama Akang dia pergi ke mana," jawab Kang kebun seraya tertawa.
"Ih Kang, kok malah ketawa? Alaska nanya serius nih," seru Alaska lagi.
"Iya Bapak serius Den, Bapak gak tau atuh kemana non Yesa perginya, lagian Bapak siapa juga? Bukan siapa-siapa juga kan?" pungkas kang kebun lagi pada Alaska.
"Iya udah kalo gitu Alaska pulang dulu ya Kang, nanti kalo Yesa udah pulang Alaska datang lagi," pamit Alaska pada kang kebun yang kembali melanjutkan memotong rumput bunga hias di taman.
Alaska kembali berlalu meninggalkan rumah Yesa dengan perasaan gundah yang membuatnya semakin tak karuan bahkan saat ia meninggalkan rumah kekasihnya itu, rasa berkecamuk dalam dada pun juga menjalari dadanya. Ingin rasanya Alaska mengikuti Yesa yang tengah pergi itu diam-diam tapi ia tak tau harus ke mana, sementara beberapa hari ini Yesa sangat susah dihubungi. Dan untuk bertemu dirinya pun juga teramat sulit, karena Yesa seakan melupakan Alaska begitu saja.
Air mata kembali membasahi pipi Alaska, tanpa ia sadari dadanya menyesak dan menjadi lemah seketika.
***
“Alaska, kok lo malah main tinggal gue aja sih sama tu orang di depan?” Dengus Azka yang berlari mengejar Alaska yang bergegas masuk ke dalam rumah."Gue gak mau bergulat dengan masa lalu yang udah bikin gue tertatih! Gue gak mau harus mengulang sejarah sama orang yang berulang kali bikin gue kecewa. Dia hadir, cuma gak mau anak yang ada dalam perutnya itu lahir tanpa ayah. Gue tau, kalo gue jahat gak mau dampingin dia, karena jujur dari hati yang paling dalam gue masih sayang sama dia Ka!” tutur Alaska seraya menyeka air mata yang ikut tumpah ketika mulutnya melontarkan kalimat yang membuatnya pilu itu.“Sayang sama orang salah! Itu karma buat dia, karena udah nyakitin perasaan orang yang tulus sama dia, dan gak mau ngerusak dia sama sekali,” timpal Azka dan menepuk pundak Alaska.“Entahlah Ka, mendingan lo suruh Yesa pulang aja. Gue gak mau nanti salah paham,” titah Alaska pada Azka yang menatapnya datar, lalu beranjak
Setiap manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Dan salah satu sisi kelemahan gue adalah hidup tanpa lo!••Fajar kembali menyingsing. Sesekali melihatkan diri akan satu hal yang membuat seluruh manusia di bumi melanjutkan aktivitasnya. Alaska sempat beberapa kali berdecak kagum dalam hati, ketika menatap semesta begitu bersahabat, terlebih pagi ini tampak rindang dan sejuk, juga tenang. Gak seperti biasanya.Alaska mencoba menghirup udara segar yang kali ini membuat pikirannya sedikit tenang, dari segala beban masalah yang menghampirinya. Angin sepoi-sepoi pun ikut bahagia, dengan hadirnya Alaska pagi ini yang tampak seperti Langit biru di angkasa.“Alaska!” kaget Azka yang baru saja datang dari belakang.“Lo Ka, ada apa?” tanya Alaska pada Azka lagi.“Gak ada sih, lagi pengen nyantai aja hari ini. Rasanya tenang banget ya, kalo kayak sekarang,” pungkas Azka.“Iya enak
‘Siapa bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati? Nyatanya lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati!’ ujar Alaska pada dirinya sendiri yang tatkala sedang membawa motor menuju kostnya.Rasanya ia bermimpi, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat itu hanyalah sebuah delusi yang membawanya dalam sebuah kesengsaraan, tapi ternyata salah! Itu adalah sebuah kenyataan yang harus di terima disaat semua tak satu pun berpihak pada kita.Oh ternyata begini, rasanya menjadi dewasa. Setelah bertahun, hanya mendengar kita dari orang lain yang selalu mengeluh lelah menjalani hidupnya. Meskipun tak pernah mengusik, tapi kenapa Alaska selalu di hadirkan orang yang tak pernah memberi ketenangan pada jiwanya yang tergolong lelah itu. tak terasa hampir bentar lagi Alaska sampai di rumah kostnya. Baru sebentar ia tinggal, rasa rindunya sudah menyeruak menyesakkan dada. Sama seperti halnya ketika ditinggal oleh orang yang terkasih, baru saja sebentar tapi rindunya ud
Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. Mengikuti proses sebagaimana mestinya, tak perlu berhayal tinggi dalam menjalan kan kehidupan yang nyatanya keras dan begitu kejam. Cinta bahkan tak peduli berapa besar rasa yang harus ia korbankan, bahkan luka juga tak mau tau berapa perih yang harus ia sembuhkan untuk tetap bertahan.“Bang Alaska, enak gak kuliah di Jakarta?” tanya Shania yang sedari tadi sibuk memperhatikan Alaska yang tengah berberes.“Kenapa kok nanya gitu? Emang Shania juga mau kuliah di Jakarta?” tanya Alaska lagi.“Hm, pengen tau aja bang. Karena masih takut karena belum pernah jaoh dari mama sama papa, rasanya Shania masih belum siap buat itu,” jelas adiknya yang membuat Alaska melihat kan lengkung bulan sabit di bibirnya.“Gak ada yang perlu di takutin kok Shania, semuanya juga akan jadi terbiasa. Apalagi disana, bisa lebih mandiri dari pada harus selalu tinggal sama orang tua. Tapi kalo Shania, jan
Alaska berada di kamarnya dulu sewaktu masih berada di kampung. Bahkan satu pun tak ada yang berubah, hingga ia hampir saja tak ingin beranjak dari kamar itu untuk melepas kerinduan.Sementara ia harus balik ke kota untuk kembali melanjutkan hidupnya di rantau menjalani pendidikan yang hampir selesai ia tempuh. Semua rasanya terasa kembali dalam ingatan Alaska, dimana dulu ini adalah kamar pertama ia sewaktu selesai khitan. Dan ini adalah kamar dimana ia menumpahkan segala kerisauan dalam hatinya, sesekali memetik senar gitar yang hampir terlupakan olehnya. Alaska yang dulu hanya berdiam diri di kamar tanpa ada yang mau berteman dengannya, bahkan ia tidak terlalu terbuka untuk berbagai hal yang sontak membuat sekitarnya ingin menjadikan Alaska sebagai menantunya. Alaska hanya tertegun ketika mengingat semua itu, ia harus kuat tak ada lagi Alaska yang harus rapuh ketika mengingat masa lalu yang begitu menghancurkan dirinya. Flashback adalah salah satu cara terbodoh yang
“Alaska tetap gak mau buat di jodohin pa, ma!” Bantah Alaska di hadapan pak Asep yang hanya bungkam dan sesekali menatap istrinya, seakan ia bersalah atas perjanjian yang mereka lakukan dua puluh tahun silam, sejak awal anak mereka masih dalam kandungan.“Apa alasan kamu gak mau Alaska? Gak sopan banget kamu ya, lancang banget di depan pak Asep ngomong gitu!” Bantah papa Alaska dengan nada yang meninggi, sedangkan di ruang tamu para manusia yang ada disana, sangat gugup dan sontak menjadi canggung.“Pah, Alaska minta maaf ya kalo kali ini Alaska harus nolak permintaan papa sama mama buat di jodohin, Alaska sadar kok kalo itu udah bikin Alaska jadi anak durhaka. Tapi Alaska minta pengertian mama sama papa, juga pak Asep. Kali ini, Alaska pengen nikmati masa muda dulu, dan cari pekerjaan yang bener-bener bikin Alaska mapan, dan siap menanggung semuanya. Sedangkan sekarang? Alaska masih berstatus kan mahasiswa,” tutur Alaska berharap ay