Hening.Tak ada yang berani menyela. Bahkan bibi Malika pun hanya memandang nyonya Letta dengan sorot mata yang kini berubah menjadi penilaian yang dalam."Bagas sudah memilih jalannya sendiri. Dan aku harap, mulai hari ini, bibi lebih memperhatikan anak bibi sendiri. Bukan mengatur dan mencampuri urusan orang lain yang bukan lagi dalam kuasamu."Nada suara Sadewa tetap tenang, namun setiap katanya tajam dan menyayat, menggugurkan harga diri lawan bicaranya."Perhatikan apakah dia mampu memperbaiki segalanya dan tak mengecewakan papa di masa depan," lanjut Sadewa, nada suaranya kini diselipi sindiran. Tatapannya meluncur tajam ke arah Bagas, lalu kembali ke arah nyonya Letta dengan intensitas dingin. "Karena jujur saja, aku khawatir—sangat khawatir—apakah Bagas benar-benar mampu menjadi penerus yang bisa menghasilkan keturunan seperti yang diharapkan oleh papa."Perkataan itu sontak mengguncang suasana. Tidak hanya nyonya Letta, tapi juga beberapa orang di sekitar mereka tampak terkej
"Aku benar-benar tidak mengerti, bibi... Mengapa seolah-olah setiap gerak-gerik Alika selalu menjadi kesalahan di matamu? Mengapa setiap hal yang dia lakukan seakan layak untuk dicurigai atau bahkan dipermalukan di depan umum? Apa sebenarnya yang bibi cari dari perlakuan seperti ini?" suara Sadewa terdengar dingin namun penuh tekanan saat ia akhirnya memecah keheningan yang menggantung kaku di antara mereka.Tatapannya tajam mengarah pada nyonya Letta. Sekilas terlihat bahwa ia mencoba tetap tenang, namun jelas dari rahang yang mengencang dan otot leher yang sedikit menegang, amarah sedang mendidih di dadanya."Sikap bibi yang seperti ini justru membuat beberapa anggota keluarga kita merasa... janggal. Mereka mulai bertanya-tanya, mempertanyakan alasan di balik perlakuan bibi terhadap istri saya. Dan lebih dari itu, sebagian dari mereka justru mulai mengarahkan jari pada bibi. Menuduh Alika, merendahkan dia... hanya karena melihat bagaimana bibi memperlakukannya seolah-olah dia bukan
"Jangan takut dan mundur." Suara itu terdengar tegas, nyaris seperti perintah yang tak bisa dibantah. Sadewa menghentikan langkah Alika dengan menahan lembut bahunya. Jemarinya yang besar dan kokoh merapat di sana, seolah menjadi perisai dari badai yang tak terlihat namun sedang mengarah langsung ke jantung perempuan itu. Ia membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Alika dan membisikkan kalimat itu dengan tekanan emosi yang dalam."Jangan takut... dan jangan mundur," ulangnya lebih pelan namun penuh penegasan, seolah mengirimkan kekuatan melalui suaranya yang berat dan menenangkan.Alika terdiam. Seluruh tubuhnya menegang. Pandangannya terpaku lurus ke depan, ke sosok lelaki yang tengah berjalan pelan namun pasti ke arahnya. Bagas.Nama itu menggema di pikirannya, seperti palu godam yang menghantam dadanya bertubi-tubi. Nafasnya tercekat. Setiap langkah Bagas mendekat, seolah mengguncang jiwanya. Dunia terasa perlahan mengecil dan hanya menyisakan satu ruang sempit: a
Kegelisahan begitu jelas terbaca di sorot mata Alika. Ia menghentikan langkahnya, seolah berat sekali untuk melangkah maju. Sepasang sepatu hak yang dikenakannya seperti tertahan oleh beban yang lebih berat dari sekadar tubuhnya sendiri—beban masa lalu yang belum tuntas. Ia menatap lurus ke depan, lalu menunduk, lalu kembali menatap ke depan. Wajahnya menyiratkan ragu yang mendalam, pergulatan batin yang tak dapat ia sembunyikan.Meski kini statusnya telah berubah menjadi istri Sadewa, dan rasa cinta yang dulu pernah ia miliki untuk Bagas telah memudar, bukan berarti lukanya sudah kering. Tidak. Ada bagian dalam dirinya yang masih belum bisa menerima kenyataan—bukan karena dia masih mencintai Bagas, melainkan karena luka yang ditorehkan pria itu terlalu dalam, terlalu menyakitkan untuk begitu saja dilupakan. Alika belum siap untuk bertemu dengan orang yang telah menghancurkan harga dirinya secara terang-terangan, yang membuangnya seolah ia tak pernah berarti.Dan bukan hanya Bagas—nyo
"kamu cantik." Sederhana tapi kalimat pujian itu mampu memporak-porandakan seluruh hati Alika. Kata cantik membuat wajahnya merona apalagi sang pemberi pujian adalah suaminya sendiri. Sadewa mengulurkan tangannya, menatap Alika lekat sembari menunggu perempuan itu menyambut uluran tangan nya. Jika ada yang bertanya apa arti tatapan bola mata Sadewa pada Alika, jawaban nya sangat sederhana. Laki-laki itu berdebar-debar, seperti nya dia benar-benar jatuh cinta pada Alika. Jangan bertanya sejak kapan perasaan itu berkembang pada diri laki-laki tersebut, hanya dia yang tahu dan Tuhan nya, tentang bagaimana perasaan dia yang sesungguhnya. Alika terlihat balik berapa laki-laki yang ada di hadapannya tersebut, jantung nya sedikit kurang baik-baik saja. Sejenak tatapan nya teralih pada telapak tangan Sadewa, yang mengulur tidak jelas di hadapannya sejak tadi dan menunggu dia membalas urutan tangan tersebut. Perlahan namun pasti, Alika menerima uluran tangan itu dan membiarkan jemari jemari
Bola mata Alika membulat dengan sempurna, dia mengernyitkan dahi saat menyadari dua perempuan berdiri tepat di hadapan nya. Alika hendak bicara tapi keburu dua perempuan itu menundukkan kepalanya pada Alika. "Kami dikirim pak Sadewa untuk menyulap ibu menjadi cantik malam ini." Salah satu bicara, mengembangkan senyuman nya pada Alika.Alika masih mengernyitkan keningnya, apalagi mendengar apa yang diucapkan oleh perempuan di hadapannya jelas saja semakin membuat dia mengerutkan keningnya tersebut. Menyulap nya menjadi cantik?.Tanya itu mengembang di atas kepalanya."Kita hanya punya waktu tidak lebih dari 2 jam, kami harap hasil nya menjadi begitu maksimal dan Bu Alika menyukainya." Dan kembali perempuan itu bicara mencoba untuk menyadarkan Alika agar membiarkan mereka masuk ke dalam kediamannya dan Sadewa.Jujur Alika agak bingung, tapi dia berusaha menepis segala kebingungannya, langsung buru-buru membiarkan kedua perempuan itu masuk ke dalam rumah. Dia mencoba untuk menyimpulkan