Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pagi itu dipenuhi awak media. Kamera-kamera diarahkan ke gerbang utama, menunggu sosok yang akan menjadi tajuk utama semua berita: Dara Cahyadi — putri gubernur, terdakwa pembunuhan, dan simbol terbaru skandal kelas atas.
Ari turun dari mobil dengan napas panjang. Jas hitamnya sudah rapi, berkas-berkas di tangan siap, tapi pikirannya dipenuhi pertanyaan: Apakah hakim benar-benar netral? Apakah bukti akan bicara jujur di ruangan yang sudah dirancang untuk membungkam?
Tak jauh di belakangnya, mobil tahanan datang. Dara turun dengan borgol di tangan, dikawal dua polisi wanita. Wajahnya tenang, tapi Ari tahu, itu hanya topeng. Ketika mata mereka bertemu, seberkas harapan melintas sejenak — tipis, tapi cukup untuk menyulut tekad.
Di ruang sidang, suasana tegang. Jaksa Penuntut Umum, Guntur Wirawan, adalah sosok ambisius yang dikenal haus kemenangan. Ia membuka sidang dengan penuh percaya diri, seolah kasus ini sudah dimenangkannya bahkan sebelum pembuktian dimulai.
“Kami akan membuktikan bahwa terdakwa secara sadar dan sengaja mengakhiri hidup korban karena motif cemburu dan rasa tidak terima ditinggalkan,” ujar Guntur dengan suara keras. “Kami akan menghadirkan saksi, bukti forensik, serta catatan komunikasi yang menunjukkan obsesi terdakwa.”
Ari berdiri setelahnya, suaranya tenang namun menggigit. “Kami akan membuktikan bahwa terdakwa tidak berada di tempat kejadian saat pembunuhan terjadi. Kami akan menunjukkan bahwa bukti-bukti tidak utuh, dan sebagian besar telah disusun untuk menggiring opini, bukan mengungkap kebenaran.”
Sidang pun dibuka dengan saksi pertama dari jaksa: seorang satpam apartemen korban, yang mengaku melihat Dara masuk ke lift menuju lantai tempat korban tinggal malam kejadian.
“Apakah Anda melihat dengan jelas wajah terdakwa?” tanya Ari.
Sang satpam ragu. “Saya... saya melihat sosok perempuan, tinggi, mengenakan jaket hitam. Tapi wajahnya tertutup masker.”
“Jadi Anda tidak bisa memastikan bahwa itu terdakwa?”
“Ya... mungkin.”
Ari menatap hakim. “Yang Mulia, mohon dicatat bahwa saksi menyatakan tidak bisa memastikan identitas terdakwa secara pasti.”
Guntur tampak kesal, tapi tak menanggapi. Ari tahu, pukulan kecil seperti ini harus dikumpulkan satu per satu untuk menghancurkan bangunan besar tuduhan.
Di luar ruang sidang, tekanan semakin terasa. Gita, sang jurnalis, menemui Ari di parkiran.
“Wajahmu masuk halaman depan tiga media besar hari ini,” katanya sambil menyerahkan koran.
Ari menatap judul besar itu: “Pengacara Muda Tantang Pengadilan — Siapa Dia, Ari Pratomo?”
“Bagus atau buruk?” tanya Ari setengah tersenyum.
“Bergantung. Kalau kamu menang, kamu jadi pahlawan. Kalau kalah… kamu akan dianggap cari panggung dan gagal menyelamatkan anak pejabat.”
Ari menghela napas. “Aku tak peduli tampil sebagai apa. Aku hanya ingin hukum bicara sebagaimana mestinya.”
Gita menatapnya lama. “Jangan terlalu percaya pada sistem, Ari. Kadang, kebenaran hanya punya satu pendukung — kamu sendiri.”
Malam itu, Ari pulang ke kantor hukumnya yang kecil tapi nyaman. Rizal sudah tertidur di sofa dengan map di pelukannya. Di meja, data forensik dari rumah sakit akhirnya diterima. Ari membaca dengan saksama.
Ada satu catatan aneh: waktu kematian diperkirakan pukul 21.40. Tapi Dara baru terlihat di CCTV masuk lift pukul 22.15. Selisih waktu itu cukup signifikan untuk membuka celah keraguan besar.
Ari segera membuka berkas rekaman CCTV lain yang diperoleh secara diam-diam dari Leni, sang perawat. Di sana, benar-benar terlihat sosok pria bertubuh besar mengenakan jas gelap, memasuki ruang pasien sebelum korban koma — sekitar pukul 20.55.
“Siapa kamu, dan apa yang kamu lakukan di sana?” gumam Ari.
Keesokan harinya, sidang berlanjut. Kali ini, saksi ahli forensik dihadirkan jaksa. Tapi Ari mencium gelagat aneh. Keterangan ahli itu terdengar seragam, terlalu sempurna, seolah telah disusun naskahnya.
Ari menunduk, mencatat, lalu berdiri.
“Apakah Anda tahu bahwa waktu kematian korban adalah pukul 21.40?”
“Ya.”
“Dan apakah Anda mengetahui bahwa terdakwa baru masuk ke lift gedung korban pada pukul 22.15?”
Sang ahli terdiam.
“Jadi, bagaimana Anda bisa menyatakan bahwa terdakwa berada di tempat kejadian saat korban meninggal, padahal ia bahkan belum berada di gedung tersebut?”
Jaksa langsung berdiri. “Keberatan! Pertanyaan menyesatkan.”
Hakim mengangguk. “Keberatan diterima. Tapi saksi tetap wajib menjawab dengan fakta ilmiah.”
Ahli forensik tampak ragu. “Saya… hanya menyampaikan berdasarkan data yang saya terima dari penyidik.”
Ari tersenyum tipis. “Terima kasih. Itu saja pertanyaannya.”
Sidang hari itu berakhir dengan riak kecanggungan. Ari tahu, titik pertama dari kebusukan sudah mulai retak. Tapi ia juga tahu, pihak lawan tak akan tinggal diam.
Saat keluar gedung, mobil Ari dilempari telur busuk oleh sekelompok massa bertuliskan kaus “Keadilan untuk Korban”. Di tengah kekacauan, seorang pria mendekatinya diam-diam dan menyelipkan sebuah flashdisk ke sakunya.
“Kamu ingin tahu siapa yang sebenarnya ada di dalam ruangan itu malam kejadian? Putar isi flashdisk itu. Tapi hati-hati, Ari. Ada yang tak ingin kamu hidup setelah tahu.”
Ari hanya mengangguk dan segera masuk mobil. Dadanya sesak, bukan karena bau telur, tapi karena tekanan yang makin nyata: ia sedang menginjak ranjau politik dan hukum sekaligus.
Malamnya, di kantor, ia menyalakan laptop dan membuka isi flashdisk. Sebuah rekaman CCTV dengan timestamp 20:58 menunjukkan wajah pria itu — jelas, tanpa masker. Ari mematung. Ia mengenali wajah itu.
Pria itu adalah Ketua Fraksi Partai penguasa, teman dekat ayah Dara, dan salah satu penyandang dana utama kampanye gubernur.
Ari bersandar ke kursi. Dunia hukum tiba-tiba berubah menjadi permainan berdarah. Kebenaran yang ia temukan bisa menyelamatkan Dara — atau justru mengubur mereka berdua.
Dan saat itu, notifikasi pesan muncul di layar laptopnya:
Ari memutar ulang rekaman itu. Wajah pria itu jelas: Arfan Prakoso, Ketua Fraksi Partai Nasional Raya — partai tempat ayah Dara bernaung. Pria berwibawa, sering muncul di televisi sebagai "penjaga moral bangsa." Tapi malam itu, wajahnya terekam di depan kamar korban.
Apa yang kau lakukan di sana, Arfan?
Ari menatap layar lama. Di sebelah file video itu, ada satu folder tambahan: "Transkrip Panggilan – Malam Pembunuhan." Ia klik. Suaranya direkam dengan samar, tapi bisa dikenali. Percakapan antara korban — Daniel — dan seorang pria yang suaranya mirip… Arfan.
“Saya sudah muak dengan ancaman kamu, Daniel. Kamu pikir hanya karena kamu punya foto itu, aku akan menyerah?”
“Bukan hanya foto. Aku punya rekamanmu, bicara soal dana kampanye ilegal, soal proyek fiktif. Kalau Dara tahu kamu memanfaatkan dia…”
“Dengar, dasar brengsek kecil. Kalau kamu buka suara, kamu bukan cuma kehilangan kekasihmu. Kamu akan kehilangan hidupmu.”
Klik.
Rekaman berhenti.
Ari memejamkan mata. Tangannya gemetar. Ini bukan sekadar pembelaan klien. Ini adalah pusaran yang bisa menguburnya — atau mungkin, seluruh sistem yang selama ini dipuja.
HP-nya bergetar. Nomor tak dikenal.
“Kau terlalu dalam menggali, Ari.”
Suaranya dalam, dingin.
“Berhenti sekarang… atau seseorang akan memastikan namamu tinggal tertulis di batu nisan, bukan di ruang sidang.”
Klik.
Sambungan terputus.
Ari langsung berdiri. Ia melihat ke jendela. Gelap. Tapi nalurinya bicara — seseorang mengawasinya. Mungkin lebih dari satu.
Ia segera mengemas laptop dan flashdisk, memasukkannya ke dalam kotak logam kecil berpengaman. Lalu membuka brankas tersembunyi di balik lukisan dan menyimpannya di sana.
Ia tahu, mulai malam ini, ini bukan lagi perkara hukum. Ini tentang bertahan hidup.
Dan satu hal pasti — kebenaran tidak lagi cukup.
Ketika keluar dari kantor malam itu, langkah Ari terhenti. Di kap mobilnya, ada goresan besar dengan cat semprot merah:
“PENGACARA GILA = MATI”
Ari menatap kata-kata itu. Lalu menarik napas dalam, membuka pintu mobil… dan menyalakan mesin.
Jika ini jalan yang harus ia tempuh, maka biarlah ia berjalan sampai akhir. Dengan atau tanpa nyawa.
Di balik gemerlap kota yang tak pernah tidur, Ari berdiri di jendela ruang kerjanya. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana langit malam bertemu dengan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu. Suara gemuruh kota menjadi musik latar perjuangannya selama ini.Perjalanan panjang telah membawa Ari pada sebuah pemahaman yang dalam. Bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang tercatat di buku, atau pasal-pasal yang dikaji di ruang sidang. Hukum yang sesungguhnya adalah suara hati nurani, keadilan yang hidup dalam setiap langkah manusia.Ia teringat percakapan dengan Bima, anaknya yang polos tapi penuh tanya, yang mengajarkannya kembali tentang arti “hukum yang tak tertulis” — nilai, moral, dan rasa keadilan yang melekat dalam hidup sehari-hari. Hukum itu mengikat bukan karena ancaman, tapi karena kesadaran akan kebaikan dan tanggung jawab.Ari menutup matanya sejenak, membiarkan damai merayap masuk ke dalam jiwanya. Ia tahu, perjuangan masih akan berlanjut, tapi kini d
Di ruang keluarga yang hangat itu, Ari, Dara, dan Bima duduk bersama menikmati sore yang tenang setelah hari yang panjang penuh perjuangan. Perjalanan panjang menghadapi tekanan media, politik, hingga intrik di balik layar hukum telah menguji keteguhan mereka. Namun, di tengah segala badai, mereka tetap bersatu, saling menguatkan.Ari memandang kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya dan berkata, “Perjalanan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam sebuah kasus, tapi tentang bagaimana kita bisa memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tidak hanya tertulis di kertas, tapi juga hidup di hati setiap orang.”Dara menggenggam tangan Ari erat, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Dan aku yakin, selama kita tetap berpegang pada nilai-nilai itu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita.”Bima yang kini semakin mengerti arti keadilan dan tanggung jawab, menatap ayah dan ibunya dengan penuh semangat, “Aku ingin menjadi seperti Ayah, seseorang yang tidak hanya tahu h
Di tengah heningnya sore, Ari mengajak Bima duduk bersama di teras rumah. Angin sepoi-sepoi mengiringi percakapan mereka yang mulai mengalir mendalam.“Ayah, tadi aku tanya soal hukum tak tertulis. Apa sebenarnya maksudnya?” tanya Bima dengan rasa ingin tahu yang tulus.Ari tersenyum, lalu mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. “Nak, hukum yang tak tertulis itu sebenarnya adalah aturan-aturan yang tidak tertulis di buku hukum, tapi tetap mengatur bagaimana kita hidup bersama sebagai manusia. Bisa berupa nilai, norma, adat istiadat, dan prinsip moral.”“Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diatur oleh hukum resmi, tapi tetap penting untuk diikuti supaya kita bisa hidup rukun dan damai. Misalnya, kejujuran, saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kepercayaan.”Bima mengangguk pelan, mencoba menyerap arti kata-kata ayahnya.“Hukum tak tertulis itu adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang baik. Jika orang-orang melanggarnya, meski tidak ada yan
Dara duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarganya di dinding. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, merenungi banyak hal yang baru saja dia pelajari dari Ari. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan kaku yang harus dipatuhi, tapi juga soal kepekaan hati, intuisi, dan keberanian untuk memilih yang benar dalam situasi yang kompleks.Sejak kecil Dara dibesarkan dalam keluarga elit yang sering kali menekankan pada kekuasaan dan status. Namun, menikah dengan Ari membuka matanya pada dimensi lain dari keadilan—yang berasal dari empati dan integritas moral. Ia mulai memahami bahwa sebagai anak seorang gubernur dan seorang istri pengacara, dia memiliki tanggung jawab moral yang besar, bukan hanya untuk melindungi keluarga, tapi juga untuk menjadi suara kebenaran dalam lingkaran sosial dan politiknya.Suatu sore, ketika Bima bermain di halaman, Dara mengajak Ari berbicara tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin moral dalam masyarakat.
Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Aroma tanah basah menyatu dengan aroma teh melati yang diseduh Dara di meja ruang keluarga. Bima, yang baru pulang dari sekolah, membuka sepatunya dengan rapi lalu duduk di samping Ari yang sedang membaca dokumen perkara.“Yah,” suara Bima pelan, tapi jelas. “Di sekolah tadi ada pelajaran soal hukum. Guru bilang ada yang namanya ‘hukum tertulis’ dan ‘hukum tak tertulis’. Tapi aku bingung, apa maksudnya hukum yang tak tertulis? Bukannya semua hukum harus jelas?”Ari meletakkan berkasnya, menatap mata anaknya. Ia menyukai saat-saat seperti ini—ketika anaknya bertanya bukan karena disuruh, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh dari dalam.“Hukum tertulis itu seperti undang-undang, pasal-pasal yang kamu bisa baca di buku. Tapi hukum tak tertulis, Bim… itu hidupnya di hati manusia,” jawab Ari dengan tenang.Bima mengernyit. “Maksudnya gimana?”Ari tersenyum, lalu mengambil cangkir teh dan menyeruputnya sebentar sebelum melanjutkan. “Contohnya begini.
Mentari pagi menyelinap lembut di sela tirai jendela. Rumah sederhana namun hangat di bilangan selatan Jakarta itu tampak sunyi dari hiruk-pikuk media dan urusan politik. Di balik semua ketegangan dunia luar, Ari Pratomo, seorang pengacara yang kini namanya menjadi simbol perlawanan rakyat, menjalani kehidupan yang paling ia jaga dan cintai: sebagai suami bagi Dara, dan ayah bagi Bima.“Bima, sini dulu ke Ayah,” panggil Ari sambil menutup laptopnya. Di layar tadi, berbagai dokumen hukum dan skema perlawanan sedang dikaji—tapi pagi ini, ia memilih jeda.Anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun itu menghampiri sambil membawa mainan robot dan komik kesukaannya.“Ayah, kenapa orang jahat selalu menang duluan?” tanya Bima polos, sambil duduk di pangkuannya.Ari tersenyum, menatap mata anak itu sejenak sebelum menjawab. “Karena kebenaran, Nak, itu seperti pohon. Ia butuh waktu untuk tumbuh tinggi. Tapi begitu akarnya kuat, tak ada badai yang bisa merobohkannya.”Dara datang dengan