Bab 118 Kedatangan Sandra"Kamu gak tau kah, Mas, ungkapan cinta itu sakral? Jangan main-main!" protes Aruna setelah sekian lama terdiam."Saya tau, Run. Maka dari itu saya mengucapkannya di depan kamu."Tangan Aruna tak lagi memegang botol, karena ia tak mau Bastian menyadari dirinya tengah gugup. Bukannya percaya, Aruna malah menggelengkan kepala.Sejak kapan Bastian jatuh cinta padanya? Dalam pikiran Aruna, itu semua sangat mustahil. Ia dan Bastian sangat berbeda. Jika diibaratkan, mereka bagai langit dan bumi.Lelaki seperti Bastian yang terbiasa berinteraksi dengan perempuan berpendidikan juga terpelajar, tak mungkin jatuh cinta pada perempuan biasa seperti dirinya."Mau saya buktikan?" tanya Bastian."Gak usah!" jawab Aruna cepat. Terburu-buru ia keluar dari ruangan.Bastian yang ingin menyusul pun menahan diri. Sepertinya, Aruna membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya.Perempuan itu benar-benar merenung di rooftop rumah sakit yang kebetulan terlindungi dari derasnya air hujan
Bab 117 Perasaan Yang JujurSeraya mendorong kursi roda menuju taman, Aruna kerap menoleh ke belakang. Ia sungguh merasa tak nyaman dengan tiga lelaki berbadan kekar senantiasa mengikutinya ke mana pun."Aku mau jalan sendiri, Ma."Ucapan Fathan sukses mengalihkan perhatian. Tiba di taman, Aruna membiarkan bocah itu berjalan-jalan. Melihat anak sambungnya sudah lebih baik dan tampak ceria saat bicara dengan anak seumurannya, berhasil membuat Aruna merasa lega.[Kamu di taman, Run?]Pesan dari Bastian masuk. Aruna membuang napas panjang. Tentu suaminya tahu, sebab sekali lagi ada orang-orang yang selalu memperhatikan gerak-geriknya.[Iya, Fathan mau jalan-jalan. Cuma sebentar, kok, mungkin setengah jam.] Balasan pun dikirimkan.[Oke, gak apa-apa. Di sana aman. Kalau mau sesuatu bilang saja.]Aruna menatap lagi pesan itu. Jika ia mengatakan ingin pulang, apakah Bastian akan mengabulkan?"Mama!" panggil Fathan seraya melambaikan tangan. Aruna datang dengan senyum di bibirnya."Ini temenk
Bab 116 Jebakan"Pak, Juanda masuk ke rumah orang tuanya," lapor salah seorang anak buah Bastian.Lelaki itu berkacak pinggang. Terkadang ia menoleh ke belakang, khawatir jika Aruna mendengar bahwa Juanda tahu mereka berada di rumah sakit."Bagaimana keadaan di sana?" tanya Bastian serius."Cukup ketat, Pak. Di depan gerbangnya saja ada tiga kamera pengawas. Apa kami harus masuk ke dalam dan membawa Juanda hari ini juga."Bastian tak menjawab, lantaran ia tengah berpikir keras. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh semua anak buahnya untuk mengepung rumah Burhan. Namun, tentunya hal tersebut riskan dilakukan. Terlebih, Bastian tak mau membuat keributan. Para wartawan pasti akan tertarik jika tiba-tiba saja mendengar kabar rumah seorang pengusaha sukses dikepung oleh banyak orang."Jangan dulu," gumamnya setelah memutuskan dengan matang. "Kembali sebagian. Dan sebagiannya lagi, tetap diam di sana. Awasi rumah Burhan sampai Juanda kembali ke luar. Cari tahu juga siapa perempuan yang pergi be
Bab 115 Linglung!Aruna ingin bercerai?Bastian yang sengaja berdiri di depan pintu, tentu langsung menjauh saat mendengar perkataan istrinya sendiri.Lelaki itu terduduk lemas. Dadanya berdebar kencang seakan tak percaya. Ia pun mengusap kasar wajahnya. Betapa bodohnya Bastian, karena tak menyadari keinginan Aruna yang sesungguhnya."Harusnya aku paham, kenapa sejak kemarin Aruna bilang mau pulang ke kampung dan menghindari semua masalah di sini," gumamnya usai menelan ludah berkali-kali, lantaran tenggorokannya terasa kering.Bastian berdiri lagi, hendak menghampiri Aruna dan memohon secara langsung. Namun, kesadaran yang lagi-lagi datang membuatnya tertampar. Ia malah mematung lama, sehingga bodyguard yang ada di sisi kanan dan kirinya menoleh keheranan."Aku tidak hanya mengkhawatirkan bagaimana nasib Fathan saat Aruna tetap meminta cerai. Tapi ... aku juga memikirkan nasibku sendiri." Bastian menutup wajah dengan kedua tangan.Bagaimana ini?Bastian mendadak sadar, jika dirinya s
Bab 114 Rasa FrustasiKembali ke rumah sakit, Lusiana mendapati Bastian tengah duduk di kursi tunggu. Putranya menundukkan kepala dengan kedua tangan menutup wajah. Tentu Lusiana langsung panik, dan bergegas menghampiri seraya berlari kecil."Fathan kenapa, Bas? Dia baik-baik saja, kan?!" tanya Lusiana mengguncang lengan Bastian.Bastian mengangkat pandangan dengan kening sedikit berkerut. "Fathan masih tidur, Mam, dan keadaannya sangat baik-baik saja."Rasa lega menghampiri, membuat Lusiana langsung duduk di sebelah Bastian dengan tangan memegang dada."Syukurlah kalau begitu. Mami pikir terjadi sesuatu sama dia.""Kalau ada apa-apa, aku pasti menghubungi Mami. Lagi pula, kenapa Mami sampai berpikir ke arah sana?" tanya Bastian agak heran.Lusiana menghembuskan napas pendek lebih dulu. "Soalnya kamu kelihatan sangat frustasi, seolah sesuatu yang buruk baru saja terjadi! Lain kali jangan bersikap seperti ini! Kamu biki Mami khawatir.Tawa Bastian menguar pelan, tapi matanya terlihat s
Bab 113 Permohonan Pemandangan paling berharga di pagi hari bagi Bastian, adalah melihat anak dan istrinya bercengkrama. Hatinya sukses menghangat. Khawatir yang dirasa sejak kemarin pun perlahan menghilang."Aku gak mau makan sayur, Mama," rengek Fathan mengelak dari suapan Aruna."Sayang, kata dokter kamu harus makan makanan yang disediakan rumah sakit. Nanti kalau sudah sembuh, Mama janji kamu boleh makan apa pun. Sekarang kamu makan sayur ini, ya?" Aruna tetap membujuk, meski lagi-lagi Fathan mengelak dan malah kembali berbaring.Melihat hal itu, tak membuat Aruna menyerah. Ia menyimpan semua makanan Fathan, lantas mengajak bocah itu bicara."Jadi kamu gak mau keluar dari rumah sakit dan main sama Mama?" tanya Aruna setengah berbisik.Fathan tak menggubris. Masih ada sedikit rasa pusing di kepalanya, meski demam yang kemarin menyerang sudah mereda. Selain itu tubuhnya masih cukup lemas."Sayang sekali, padahal Mama punya rencana ngajak kamu main di playground," sambung Aruna teta