“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.
Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.“Kamu tidur siang, Ras?”Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja.“Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”Laras langsung berdiri dari duduknya, dia menurut apa perintah ibunya untuk mengganti pakaiannya dulu sebelum makan.Ibunya yang melihat sikap Laras yang agak berbeda pun sedikit heran, karena biasanya Laras bodo amat dan tidak peduli jika ibunya menyuruh-nyuruhnya.Keluar dari kamar, Laras memeluk ibunya yang sedang berdiri di depan kompor. Laras menempelkan kepalanya di punggung ibunya dan merasakan hangat tubuh wanita yang meninggalkan dunia saat dirinya berusia 20 tahun.“Kamu kenapa sih, Ras. Peluk ibu terus dari tadi,” gerutu ibunya.“Aroma ibu enak,” jawabnya.“Katamu ibu bau bawang putih.”“Laras suka bau bawang putih,” sahut Laras. Mengingat bagaimana dulu ibunya pergi untuk selamanya. Laras benar-benar terpukul pada saat itu. Dia kehilangan sosok perempuan yang selalu berada di pihaknya.Segala penyesalan itu muncul saat ibunya tiada, dia menyesal tak pernah mendengarkan apa kata ibunya. Atau sekadar menemaninya pergi ke pasar jika dirinya libur sekolah.“Bu, kalau misalnya Laras menikah terus diselingkuhi, ibu bakalan gimana?” tanya Laras.Ibunya langsung membalikkan tubuhnya. Mengacungi pisau pada Laras.“Memangnya siapa yang mau nyelingkuhin anak ibu? Coba siapa yang berani? Adhi? Sini, bawa sini, biar ibu sunat sekali lagi.”Laras tertawa. “Kan kalau udah nikah, Bu.”“Ya, kalau begitu kamu jangan nyari suami yang suka selingkuh. Kayak bapak kamu tuh, setia sama ibu,” katanya dengan bangga.“Gitu ya, Bu.”“Pernikahan cuma sekali seumur hidup Ras, kalau kamu menemukan orang yang salah, kamu yang menderita.”Hening.“Tapi kenapa kamu tiba-tiba ngomongin pernikahan? Kamu nggak hamil, kan Ras?” tuduh ibunya mendadak.“Nggak Bu. Hamil sama siapa? Kambing?”Ibunya mendelik pada Laras. “Pokoknya, jaga harga diri dan kesucian kamu ya, Ras. Ibu percaya sama kamu.”“Bu, seneng nggak kalau punya cucu laki-laki?” tanya Laras, membayangkan bagaimana jika Abhi bisa bertemu ibunya ketika dewasa, pasti ibunya sangat senang.“Kok tiba-tiba bahas masalah cucu, tuh kan? Jangan aneh aneh lho, Ras!”“Nggak Bu. Laras nggak hamil!”**Telepon rumah Laras berdering, dia masih terkejut dengan suara telepon itu karena sudah lama tidak mendengarnya. Tak lama, pembantu rumah Laras muncul dari balik pintu dan mengatakan jika Widuri menelponnya.“Katanya cepet Non, di wartel lagi banyak yang antre,” kata pembantu Laras.“Iya, Bi.”Laras duduk di sofa tunggal dekat pesawat telepon. Dia menyapa Widuri dengan santai.“Ras, kak Tian digebukin sama Adhi, tau belum?” tanya Widuri panik.“Kak Tian? Kamu kok bisa tau?”“Ya kan tetanggaku kakak kelas kita temen kak Tian.”“Terus katanya Adhi yang gebukin?”“Iya pas di halte, Adhi sempet dibawa ke kantor polisi katanya. Tapi damai, soalnya ibunya Adhi ngasih kompensasi sama orangtuanya kak Tian.”Laras masih mencerna ucapan Widuri. Jika Adhi memukuli Tian, maka itu artinya kejadiannya saat makan siang tadi.Laras tak langsung tahu kabar tersebut karena dia tidak memiliki ponsel.“Kamu tau nomor rumahnya kak Tian nggak, Wid?”“Nggak tau lah, eh udah ya. Udah mau habis dua ribu nih, aku cuma bawa duit dua ribu aja soalnya. Bye.”Telepon ditutup, Laras mengamati telepon rumahnya dengan gamang. Padahal masih banyak yang ingin dia tanyakan pada Widuri, tapi sepertinya tak bisa.Rumah Widuri ke rumahnya jaraknya lumayan jauh.“Bu, aku ke rumah Widuri ya?” tanya Laras pada ibunya yang sedang menonton tv di ruang tamu.“Udah jam delapan, Ras. Besok kan ketemu di sekolah. Besok aja ya.”Laras melirik jam dindin di depan kamarnya. Benar juga sudah jam delapan. Dia tidak bisa asal pergi karena tak ada ojek online sekarang. Jangankan ojek online, supir di rumahnya saja tidak ada.Dan akhirnya Laras pun menurut apa kata ibunya dan semalaman kepikiran dengan kondisi Tian. Karena dirinyalah penyebab Tian dipukuli oleh Adhi.Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku