Ayla masih menggenggam pena ketika ponselnya berdenting pelan di atas meja. Ia melirik layarnya sekilas—notifikasi uang masuk di mbanking miliknya. Gadis itu buru-buru memeriksa dan memastikan jumlah yang tertera serta nama pengirimnya.
"Ini ..." Ayla menoleh ke arah Leonard. "A-apa Tuan yang baru saja me-mengirim ..."
"Seratus juta." Leonard menyelesaikan kalimat Ayla. Pria itu memberi isyarat agar pengacaranya meninggalkan ruangan. "Bukankah kemarin saya menjanjikan uang muka padamu? Saya selalu menepati kata-kata yang saya keluarkan."
"Tapi... Bagaimana?"
"Nomor rekeningmu? Saya mendapatkannya saat memeriksa latar belakangmu," jelas Leonard. "Oh, omong-omong, Ibumu sudah dipindahkan pagi ini. Mulai sekarang dia akan mendapatkan perawatan terbaik. Dia juga sudah masuk ke daftar tunggu prioritas donor hati."
"Anda sudah mengurus semua sebelum saya menandatangani kontrak? Bagaimana jika saya membatalkan niat saya pada detik-detik terakhir?" Ayla tak membiarkan Leonard menanggapi, melainkan langsung menjatuhkan diri, bersimpuh di hadapan Leonard. Ia membungkuk berkali dengan air mata yang berlinangan. "Terima kasih banyak, Tuan. Anda adalah penyelamat saya."
Dada Ayla terasa penuh. Ia tahu jalannya ke depan jauh dari kata mudah, tapi setidaknya ada secerah harapan. Setidaknya sekarang harapan untuk ibunya dapat sembuh jauh lebih besar dari sebelumnya. Semuanya berkat Leonard.
"Tidak, jangan begitu. Ini hanya bagian dari perjanjian." Leonard menarik Ayla untuk kembali duduk di kursi.
Ayla tidak pernah tau orang yang berkuasa seperti Leonard bisa begitu rendah hati. Ia menerima tisu dan berterima kasih berulang kali. Merasa urusan mereka telah selesai, Ayla hendak berpamitan pada Leonard untuk memeriksa keadaan ibunya. Namun, sebelum ia bisa beranjak, seorang wanita dengan seragam kantor masuk ke ruangan membawa nampan berisi makanan.
"Silakan, Pak," ucapnya sambil meletakkan makanan di meja kecil dekat sofa.
Leonard menoleh ke arah Ayla. "Sebelum kamu pergi ke rumah sakit, makan dulu."
Ayla mengernyit. "Tidak perlu, saya bisa makan nanti."
"Tidak ada nanti. Kamu harus makan sekarang," tegas Leonard, nadanya tak terbantah.
Ayla menghela napas, lalu mengalah. Ia duduk kembali, mengambil sendok dan mulai menyantap makanannya. Leonard tampak puas melihatnya menurut.
Saat suapan pertama masuk ke mulutnya, ia baru sadar bahwa makanan ini benar-benar dibuat dengan penuh perhatian—hangat, porsinya pas, dan terasa enak.
"Jangan terburu-buru. Saya tidak ingin kamu jatuh pingsan di jalan." Leonard membuka laptopnya, mengecek sesuatu sambil sesekali melirik ke arah Ayla. "Saya barusan menyuruh seseorang membuat reservasi program bayi tabung di rumah sakit. Saat jadwalnya sudah ditentukan, saya akan langsung mengirimnya padamu."
"Kamu harus mulai memperhatikan gizi dalam makananmu, agar tes kesehatan pra-prosedur milikmu mendapat hasil bagus. Jangan lupa makan buah dan sayur setiap hari. Oh, minum air putih juga. Jika kamu kehabisan uang, katakan saja padaku," lanjut Leonard, sebelum tenggelam dalam pekerjaannya.
Ayla hanya mengangguk, membiarkan Leonard lanjut menceramahinya sambil terus menghabiskan makanan. Bagaimanapun juga, ia butuh tenaga sebelum pergi menemui ibunya dan semua yang dikatakan Leonard benar adanya.
Setelah selesai makan, Ayla membersihkan tangannya dengan tisu yang disediakan. Ia lalu berdiri, bersiap untuk pergi.
"Terima kasih," katanya tulus. "Untuk semuanya."
Leonard menutup laptopnya dan menatapnya dalam. "Aku akan selalu memenuhi bagianku dalam kesepakatan ini, Ayla. Kuharap kamu pun begitu."
Ayla mengangguk. Ia tahu, sejak detik ia menandatangani kontrak itu, tidak ada jalan untuk mundur lagi.
Dengan langkah mantap, ia meninggalkan ruangan, siap menghadapi kenyataan baru dalam hidupnya. Sejujurnya, perasaan Ayla campur aduk. Sejak detik ia menandatangani kontrak, hidupnya resmi berubah. Tidak ada lagi ruang untuk menyesal. Setidaknya, untuk saat ini, ia harus fokus pada ibunya.
Begitu tiba di lobi, ia segera memesan taksi menuju Sentra Medika. Tangannya masih gemetar saat membuka ponselnya. Ia membaca ulang notifikasi transfer itu, lalu beralih ke pesan dari rumah sakit yang mengonfirmasi pemindahan ibunya ke ruang perawatan VIP.
Ayla menarik napas panjang. Semua ini terasa seperti mimpi. Sehari yang lalu, ia masih kebingungan mencari cara membayar biaya perawatan. Sekarang, ibunya berada di tangan dokter terbaik.
Setibanya di rumah sakit, Ayla bergegas menuju lantai tempat ibunya dirawat. Begitu pintu kamar terbuka, ia menemukan ibunya tengah berbaring dengan infus terpasang di tangan. Namun, wajah wanita itu terlihat jauh lebih segar dibanding terakhir kali Ayla melihatnya.
“Ibu…” suara Ayla bergetar.
Maya, sang ibu, menoleh dan tersenyum tipis. “Ayla? Kamu sudah makan?”
Ayla menahan senyum getir. Bahkan di saat seperti ini, ibunya masih memikirkan dirinya lebih dulu. Ia menghampiri ranjang, menggenggam tangan ibunya dengan hati-hati.
“Ibu... bagaimana perawatannya? Apa semuanya baik-baik saja?”
Maya mengangguk pelan. “Dokter bilang rumah sakit ini memiliki fasilitas terbaik. Aku juga diberi tahu kalau aku masuk daftar prioritas untuk transplantasi…”
Suara ibunya terdengar penuh harapan. Ayla menggigit bibir, menahan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
“Iya, Bu. Mulai sekarang, Ibu hanya perlu fokus untuk sembuh.”
Maya menatap putrinya lekat-lekat. “Ayla, ini semua... dari mana uangnya? Jangan bilang kamu melakukan sesuatu yang berbahaya…”
Ayla terdiam sesaat. Ia tahu cepat atau lambat ibunya akan menanyakan ini.
“Ada seseorang yang membantu,” jawabnya hati-hati. “Dia ingin membalas kebaikan yang pernah aku lakukan dulu.”
Maya mengerutkan kening. “Seseorang? Siapa?”
Ayla menggeleng. “Tidak penting, Bu. Yang penting sekarang, Ibu bisa mendapatkan perawatan yang Ibu butuhkan.”
Maya menatap putrinya dengan curiga, tetapi tidak memaksanya untuk menjelaskan lebih jauh. Ia percaya Ayla memiliki alasan sendiri
“Kamu benar-benar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu?”
Ayla tersenyum kecil, menenangkan. “Tentu saja tidak.”
Meskipun kata-kata itu keluar dengan mudah, di dalam hatinya Ayla tahu kebenarannya tidak sesederhana itu.
Malam itu, setelah memastikan ibunya nyaman, Ayla kembali ke apartemen kecilnya. Ia menyalakan lampu, meletakkan tasnya di meja, lalu duduk di sofa dengan tubuh yang terasa lelah.
Pikirannya melayang ke Leonard. Pria itu tidak hanya memenuhi semua janjinya, tetapi juga memastikan Ayla bisa menjalani perjanjian ini tanpa hambatan. Setelah itu, ia mengirimi pria itu ucapan terimakasih dan sedikit memberitahu kondisi ibunya yang tampak membaik.
Tak disangka pesan itu langsung dibaca dan dibalas oleh Leonard:
Leonard Statham: Belum sehari, tidak mungkin sudah ada perkembangan.
Leonard Statham: Sebaiknya kamu beristirahat saja. Jadwalnya sudah ada, dan kita akan melakukan pemeriksaan kesehatan lusa.
Ayla menatap pesan itu lama. Pria itu benar-benar serius memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Ia menghela napas dan membalas singkat.
Ayla: Baik, Tuan.
Ayla lanjut menghubungi bos cafe juga bos restoran tempat ia bekerja paruh waktu untuk mengundurkan diri. Ia juga memberitahukan klien yang ia dapat dari freelance bahwa ia tidak bisa melanjutkan proyek mereka dan mengembalikan dana mereka. Ia bertekad akan melakukan yang terbaik seperti halnya Leonard.
Ini masih permulaan.
~•~
Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah
Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud
Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc
Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih
Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p
Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r