Perlahan Alvian melepas semua pakaian Dara, lalu pakaiannya sendiri. Melihat Dara tidak ada penolakan, Alvian mengulum senyum.
Sehingga Alvian leluasa melancarkan aksinya, karena Dara pun menerima. Membalas setiap ciuman, serta desahannya membuat gairah Alvian semakin bangkit.
30 menit berlalu, hanya suara desahan dan erangan yang terdengar di kamar rahasia Dara. Hingga pada akhirnya mereka berdua melenguh panjang pertanda klimaks telah mereka dapatkan. Dara masih setengah sadar, dan merasa kejadian yang baru saja dia alami hanyalah mimpi. Dara melanjutkan tidur.
Sementara Alvian tersenyum getir, ada rasa sesal di hatinya. Melakukan hubungan suami istri diam-diam seperti ini. Bergegas Alvian membersihkan diri di toilet yang ada di kamarnya. Lalu merapikan penampilannya.
Tak lupa, sebelum ia meninggalkan kamar Dara, Alvian memasangkan kembali pakaian Dara yang telah ia lepas, dan pergi begitu saja tanpa mematikan lilin biru miliknya.
"Hah, rasanya nyaman sekali. Tubuhku terasa lebih segar." Dara menggeliat, meregangkan otot.
Lalu mengedarkan pandangan ke setiap sisi kamar ituitu. Seketika, dia terkejut melihat lilin biru yang masih menyala.
"Lilin biru? Apakah aku masih bermimpi?" Dara mencubit satu sisi pipinya.
"Aww, ini tidak mimpi," Dara beringsut mundur ke ujung ranjang, karena merasa takut.
"Terus, kejadian barusan? Apakah itu mimpi?" Dara bergegas pergi ke kamar mandi. Ia bercermin, dan lemas seketika karena melihat tanda-tanda bekas bercinta.
Di atas buah dadanya terdapat lukisan merah yang ditinggalkan seseorang. Entah siapa pria itu, serta merasakan ketidak nyamanan yang berada dibawah sana, terlalu lembab. Itu menandakan telah terjadi aktivitas percintaan.
"Ya ampun, kejadian barusan nyata?" Mulut Dara menganga dan ditutupi dengan satu lengannya. Lengan Dara mengepal karena marah atas kejadian yang menimpanya. Bahkan Dara pun tidak tahu siapa pelakunya, lalu Dara harus marah pada siapa? tubuhnya tersungkur di lantai toilet yang dingin. Sekilas yang Dara pikirkan saat ini Alvian, apakah dia pelakunya? Apakah dia senekat itu? Dara merasa gelisah dan kebingungan dengan semua misteri yang bermunculan.
Dara menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya, ia merasa sangat kotor. Bahkan jijik kepada dirinya sendiri. Tanpa sadar Dara menangis sesenggukan merasa lelah dengan semua yang tejadi. Kepalanya terasa sakit, gegas menyudahi mandinya. Segera berpakaian dan melanjutkan tidurnya, tak lupa ia menugunci pintu terlebih dahulu.
Dara mengambil obat dari lacinya, benar-benar begitu sakit yang ia rasakan kini.
Malam berlalu begitu saja dalam keheningan, tidak sebagaimana mestinya yang terjadi kepada pengantin baru. Dara sudah siap dengan pakaian kerja, dan keluar dari kamarnya. Begitu menutup pintu kamar, terlihat Al pun keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Al menampakkan senyum yang ditujukan kepada Dara. Dara terlihat gelisah mengingat kejadian tadi malam.
“Selamat Pagi, Rekan kerjaku,” Al begitu polosnya tanpa merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Sementara Dara begitu menggebu ingin menanyakan kejadian semalam.
“Tadi malam anda berada dimana, Pak Alvian?” Dara menatap matanya dengan tajam.
Alvian mengangkat keatas sebelah alisnya, “Saya dikamar ini, memangnya kemana lagi?”
“Lalu semalam apa yang kamu lakukan?” Dara menatap mata Alvian mencari kebenaran apa yang Alvian ucapkan.
“Kenapa Dara? Apa kamu berharap aku tidur di kamarmu? Apa diam-diam kamu merindukan aku?” Alvian tersenyum, dan terkekeh melihat reaksi Dara yang begitu terlihat kesal.
“Ah sudahlah, seharusnya aku tidak bertanya kepadamu!”
Keduanya menuruni anak tangga, dan menyantap sarapan yang telah dibuatkan oleh Mbok Susi. Kemudian Dara dan Alvian pergi ke kantornya dengan mobilnya masing-masing.
Begitu Dara tiba di ruang keejanya, ternyata sudah dihidangkan setumpuk pekerjaan yang harus segera diselesaikan, sampai ia pun melewatkan makan siang. Sejenak Dara meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, Dara mengistirahatkan tubuhnya sejenak dengan mengedarkan pemandangan diluar ruang keejanya, karyawan yang sama sibuknya berlalu lalang di hadapan Dara.
Ruang kerja Dara kedap suara, begitu pula kamar rahasianya. Kaca di kantornya memiliki remot, bisa menjadi bening transparan dan redup agar orang yang berada di luar tidak bisa melihat ke dalam ruangan kerja Dara, tapi Dara tetap bisa melihat aktivitas di luar.
Jam menunjukkan pukul 5 sore, sudah waktunya jam pulang kantor. Terdengar Raisa mengetuk pintu.
"Permisi, Bu. Pekerjaan saya sudah selesai, dan sudah jam pulang. Boleh saya pulang, Bu?" tanya Raisa, seketika Raisa khawatir melihat wajah pucat Dara dan berlari menghampirinya.
"Ibu, kenapa? Kok pucat gitu?" Raisa begitu khawatir melihat bosnya itu.
"Saya ngga apa-apa Raisa. Kamu boleh pulang," jawab Dara singkat, sembari memegangi kepalanya yang masih terasa sakit.
"Tapi, Ibu, bagaimana? Saya antar ke rumah sakit ya, Bu?" ajak Raisa sambil menggandeng lengan Dara, namun Dara menolaknya. Tidak ingin merepotkan sekertarisnya sekaligus sahabatnya itu.
"Ga apa-apa, Dara. Aku cuma pusing sedikit. Barusan sudah minum obat. Kamu pulang saja!"
"Benar, Bu? Kalau begitu saya pamit ya, telepon saya jika terjadi sesuatu ya, Bu," pamit Raisa, Dara hanya mengangguk.
Raisa pun pergi meninggalkan Dara seorang diri. Dara benar-benar lemas, namun ia tidak ingin merepotkan orang.
Sebenarnya Dara ingin menyelidiki siapa pria yang bersamanya tadi malam. Namun, sepertinya tidak sekarang, karena kepalanya terasa sangat sakit dan berat.
Ketika Dara hendak mencoba berdiri, seketika Dara ambruk pingsan. Beberapa bulan ini Dara cukup sering merasa kesakitan dan pingsan. Ia pun tidak tahu persis apa penyebabnya.
Alvian berada di parkiran kantor Dara sedari tadi, ketika melihat Raisa sudah meninggalkan kantor, Alvia berpikir untuk menemui Dara di kantornya.
Alvian berjalan ke arah kantor Dara setelah turun dari mobil sambil bersiul, begitu tampan dan karismatik. Tampak kantor Dara sudah sepi. Alvian mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban Dara. Ia membuka pintu dan masuk tanpa dipersilahkan.
Akan tetapi pemandangan di hadapannya, membuat mata Alvian bulat sempurna, gegas menghampiri Dara dan mengecek kondisinya.
Tubuhnya panas, Dara demam. Langsung saja Alvian membopongnya, dan Dara dibaringkan di bagian belakang, melihat Dara seperti ini membuat Alvian merasakan sesal dihatinya.
Al mengendarai mobilnya dengan cepat, agar Dara segera mendapat pertolongan medis. Al menggendong Dara ke ruang UGD, disana Dara segera mendapatkan pertolongan. Selang infus segera di tancapkan pada lengannya. Dokter jaga di UGD memeriksa keseluruhan kondisi Dara.
"Pak, sudah berapa lama pasien pingsan?" tanya Dokter muda cantik.
"Saya kurang tau dok, saya melihatnya sudah pingsan dan langsung saya bawa kesinikesini," jawab Al, ada sirat khawatir di wajahnya.
"Apakah pasien sering pingsan seperti ini?"
"Setahu saya, dan yang saya lihat ini pingsan yang ke dua kalinya, Dok," timpal Al, dokter mengangguk, dan berbicara kepada suster yang berjaga untuk memindahkan Dara ke ruang perawatan. Tak lama Dara di pindahkan ke ruang rawat inap.
"Keluarga pasien atas nama Andara Karisma Putri!" Seorang suster memangil. Alvian menghampiri sumber suara dengan langkah lebarnya.
"Iya saya, Sus."
"Silahkan ke ruangan Dokter Heri, Pak. Ada yang ingin di sampaikan."
"Baik terima kasih, Sus." Alvian dengan langlah cepat pergi ke ruangan dokter, tak lupa ia mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Permisi, Dok. Saya suami Andara." Sembari memasuki ruangan dokter Heri.
"Silahkan duduk, Pak!" setelah Al duduk dokter menjelaskan perihal penyakit Dara.
"Pak, setelah saya amati, dari hasil pindai CT scan di kepala istri bapak, kemungkinan ia mengalami amnesia disosiatif." terang Dokter Heri sembari menunjukkan selembar hasil CT scan.
Alvian nampak membenarkan ucapan dokter, karena memang Dara mengalami lupa ingatan. Namun anehnya, hanya kepada Alvia saja.
"Apa itu amnesia disosiatif, Dok?" tanya Alvian.
Dokter Heri pun menjelaskan secara detail tentang penyakit tersebut. Alvian mengangguk paham.
"Pantas saja, Dok. Istri saya hanya tidak mengenali saya, termasuk momen kami bersama,”
"Ya, justru karena bisa jadi pada saat momen bersama anda ia mengalami trauma dan depresi,”
Clara jatuh lemas, dengan sigap Alvian memangkunya, dan mengalihkan pandangannya ke arah Dara nampak kaku dan memegang pisau yang terdapat noda darah. "Kau!" Alvian murka menunjuk ke arah Dara, Dara yang menyadari hal itu segera menjatuhkan pisau dalam genggamannya. "Tidak, bukan aku yang melakukan itu Alvian, percayalah kepadaku!" ucap Dara memohon, Dada nampak pucat. "Ikut aku!" Alvian berteriak sembari menggendong Clara memasuki mobilnya. Clara Nampak puas dan tersenyum mengejek Dara. Alvian berlari dan membawa Clara ke UGD. "Dok, tolong selamatkan dia!" Alvian panik, di sisinya ada yang lebih panik. Takut dengan tuduhan Clara, yang sama sekali tidak ia lakukan. "Tenang, Pak. Kami akan melakukan pemeriksaan dan tindakan, Bapak berdo'a saja dan tunggu diluar," ucap Dokter menenangkan Alvian. "Kalian harus menyelamatkannya! Jika tidak, aku akan menutup rumah sakit ini!" Sembari menarik kerang baju dokter, dan melepaskan setelah selesai memberi ancaman. "Ba-baik, Pak!
"Clara, ternyata dia tidak meninggalkanku," mendengar jawaban Alvian yang bersemangat itu membuat hati Dara terasa sakit, terlebih lagi ia tetap menatap ponselnya dengan senyum yang terus mengembang tanpa pedulikan Dara di sisinya. "Sepertinya aku sudah tidak penting lagi, lebih baik kamu bersama dia," ucap Dara mengabaikan perasaannya yang terluka. "Serius? aku boleh menikah lagi? aku boleh menikahi Clara," dengan semangat, Alvian menanyakan hal konyol itu, tentu saja Dara tidak sudi. "Iya," jawab Dara datar, justru Alvian menunjukkan wajah sebaliknya dari Dara, ia begitu senang. "Setelah kita bercerai!" lanjut Dara, dengan raut wajah sedih. "Tidak-tidak, kamu tetap milikku, aku tak akan melepaskanmu Dara," ucap Alvian dengan sorot mata tajam, membuat Dara bergidik ngeri. "Kenapa? Kenapa kamu menyiksa aku seperti ini? " lelehan bening mengalir dari sudut mata Dara tanpa permisi. Namun, hal itu tak membuat Alvian luluh, garis wajah tajam menyoroti Dara. "Sesuatu y
"Kau tidak tahu cara berterima kasih Dara! akan aku ajarkan!" Dara beringsut mundur ke tepi ranjang, sedangkan Alvian mendobrak pintu kamar, hanya dengan sekali tendangan pintu itu terbuka. Mata Dara terbelalak melihat dada Alvian yang naik turun, Alvian murka. "Alvian," dikamar ber-AC itu Dara merasa panas, keringat mengalir di dahinya, ia benar-benar merasa ketegangan disana. Alvian mendorong tubuh Dara, dan menindihnya, Alvian sudah cukup menahan hasratnya selama ini. Dengan sekejap, Alvian merobek kemeja putih yang Dara kenakan, tampak kancing-kancing bertebaran ke sembarang arah. Alvian melanjutkan ke bagian bawah, sehingga Dara terlihat polos tanpa sehelai benang-pun. "Aku mohon, Al. Jangan!" Dara menggelengkan kepalanya, memohon belas kasihan Alvian, bulir air mata mengalir dari sudut matanya. Namun sayang, menurut Alvian tidak ada lagi toleransi. Tanpa pemanasan terlebih dahulu, Alvian langsung menerobos inti tubuh Dara dengan miliknya yang sudah menegang. "Aaaaa
"Tidak, Alvian jangan lakukan ini," Dara meringis terasa sesak. "Kamu istriku, dan sudah tidak ada lagi kontrak perjanjian kita, aku bebas melakukannya denganmu," "Tapi, kita tidak menikah sungguhan, kita menikah bukan karena cinta!" ucap Dara sembari terisak, Dara tidak ingin di perlakukan dengan kasar. Alvian melepas cengkramannya, dan berdiri menghadap Dara yang sudah berantakan. "Baiklah, jika kamu tidak ingin melayaniku," Alvian berlalu pergi dan membanting pintu, saat ini ia sangat kesal karena hasratnya harus ditunda, sedangkan ia sangat tak tahan. Dara sedang menonton televisi diruang santai, lalu dengan santai Alvian berjalan dengan seorang wanita cantik namun pakaiannya sangat terbuka, Alvian merangkul pinggang wanita itu dengan mesra, membuat Dara terbelalak terlebih lagi ketika mereka masuk ke kamar Alvian dan Dara. Tak terasa air mata Dara menetes, lalu ia memilih pergi, sebelumnya ia melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 malam. Dara tak ingin mendengar at
"Dara adalah Istriku, aku yang lebih berhak atasnya," merekapun berlalu pergi. Entah mengapa, Alvian mencium sesuatu yang berbahaya bagi Dara, maka dari itu Alvian harus menjauhkan Dara dari orang yang bukan kepeecayaan Alvian. Setibanya mereka di panthous, Alvian langsung menurunkan koper Dara dan membawanya ke kamar, dan Dara bingung karena disana ada barangnya Alvian. Melihat kebingungan Dara, Alvian berinisiatif memberi tahunya tanpa harus Dara bertanya. "Sekarang kita satu kamar!" ketika Dara hendak berkata, Alvian langsung memotongnya, seakan tahu apa yang akan Dara ucapkan. "Tidak menerima penolakan! dan satu lagi, kamu dilarang masuk ke kamar berpintu biru!" ucap Alvian benar-benar tal terbantahkan. Dara tak menyangka akan tetap tinggal dengan seseorang yang merebut perusahaannya. 'Dia benar-benar kejam!' ucap Dara dalam hati. Sedangkan Alvian sedang menerima telepon diluar. [Sudah ku duga, selama ini mereka tidak sebaik yang kulihat, terima kasih Sinta, aku minta hard
Dara bergegas mebuat perjanjian perceraian, dimana disana dituliskan pihak wanita tidak menuntut harta apapun. Karena Dara ingin prosesnya lebih cepat, jika ia menginginkan perusahaanya di kembalikan pasti Alvian akan menolaknya mentah-mentah, Dara akan memikirkan cara lain untuk mengambilnya kembali. Di sore harinya Dara datang kembali ke perusahaan, dan disana Alvian sedang bersama Collega bisnis perempuan, dengan penampilannya yang sexy, terlihat sekali dia mencoba menggoda Alvian. ‘Cih, dasar lelaki hidung belang,’ batin Dara, ada rasa gemuruh panas di hatinya. Alvian melihat kehadiran Dara dan menyuruhnya duduk di sofa dengan menggunakan matanya, Dara mengerti maksud alvian. Namun, entah Alvian sengaja atau tidak, Dara benar-benar dibuat menunggu lama sekali tanpa diberi minum, bahkan Dara saat ini benar-benar mendidih melihat Alvian yang diam saja disentuh oleh wanita genit itu. Dara sama sekali tidak di anggap sebagai istrinya, membuat hatinya terluka, dan berdiri sambil me