“Hm ….” Manda bergumam pelan. Netranya menjelajah langit-langit putih di atasnya. “Aku di mana?”
Seolah ada sistem di kepala yang mengatur jalannya ingatan, semua yang terjadi semalam terputar kembali.
Napas Manda tersentak dua kali. Karena kaget atas ingatan semalam dan juga rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dari area mahkota kewanitaannya.
‘Nggak mungkin! Aku semalam minum di bar dan ketemu Ike—nggak, nggak. Aku nggak ingat ketemu dia. Kenapa dia nggak ada di ruangan?!’
Merasa perlu menjawab semua pertanyaan di pikirannya itu, Manda segera mencari ponselnya dan berniat menghubungi sang sahabat. Yuike.
Baru saja jarinya akan menekan tombol hijau, sedikit gerakan dari sisi samping tempatnya duduk membuat Manda tertegun, panik. ‘Aku nggak sendiri di sini?!’
Tak berani menoleh untuk melihat siapapun dia yang sedang berada di ranjang yang sama, Manda segera menjejalkan ponselnya lagi ke dalam tas.
Pikirannya penuh dengan sumpah serapah. ‘Gila! Manda, kamu gila! Padahal cuma minta teman minum, kenapa jadi—argh! Aku harus gimana?!’
Panik melihat gaunnya sudah tak bisa dipakai lagi, ia menyambar kemeja hitam yang tergeletak di pinggir kasur. Tak lupa ia meraup semua uang yang ada dalam tasnya dan meletakkan lembaran berharga itu di atas kasur.
‘Sebaiknya aku keluar dari kamar ini dulu,’ putus Manda.
Berusaha berjalan cepat tanpa suara, Manda akhirnya berhasil keluar dari kamar. Tangannya langsung sibuk mencari nomor Yuike.
Saat itulah ia menyadari kalau sahabatnya mengirim banyak sekali pesan dan juga panggilan tak terjawab.
Manda memutuskan untuk bersembunyi di tangga darurat sambil membuka pesan Yuike terlebih dahulu.
Yuike: Nda, kau di mana sih? Memangnya susah cari ruangan 1.9?
‘1.9?’ Manda bertanya-tanya dalam hati. Ia berusaha mengingat ruangan nomor berapa yang sebenarnya ia datangi.
‘Argh! Aku nggak ingat apa-apa! Terkutuklah kau minuman keras!’ raungnya tanpa suara.
Kemudian ia menyapu layar ponselnya lagi dan melihat pesan Yuike 30 menit setelah pesan pertama tadi.
Yuike: Anak gila! Kamu di mana?!
Manda merasa hilang harapan. Jelas sekali kalau semalam ia mengacaukan janji pertemuan dengan Yuike.
Dibacanya lagi pesan sang sahabat yang masuk 2 jam setelahnya.
Yuike: Manda! Kenapa kau nggak datang-datang?! Jam sewanya sudah mau habis!
Yuike: Astaga! Kalau kau lihat pesan ini, aku di kamar hotel 207.
Panik, Manda mempercepat langkahnya. ‘207. Mending ke kamar Ike dulu. Kami harus segera pergi dari sini.’
Dengan bantuan lift, Manda tiba di lantai 2 dengan cepat. Bertelanjang kaki, ia berlari sepanjang koridor sampai tiba di depan pintu kamar 207.
Spontan tangannya menggedor. “Ke! Buruan bukain, Ke! Mati aku, Ke!”
Tidak lama, pintu terbuka dengan kasar. Yuike menarik Manda masuk, seolah mereka sedang dikejar malaikat maut.
Manda protes. “Gila kamu, Ke! Aku cuma minta gigolo buat nemenin minum sambil peluk-peluk sedikit. Bukan nemenin tidur!”
Gadis muda itu melempar tas dan gaunnya yang robek di samping ranjang.
“Gila! Aku kehilangan keperawananku pada pria sewaan!” Manda berjalan kesal menuju toilet. Ia mencuci wajahnya di wastafel. Penampilannya pagi ini sangat kacau.
Namun, bukan permohonan maaf yang ia terima, Yuike justru balik memprotes Manda.
“Kamu yang gila, Nda! Kamu ke mana semalam?! Gigolo itu dan aku ada di ruangan 1.9. Kutunggu sampai jam 2 subuh pun kamu nggak datang. Kucari ke semua sudut bar pun nggak ada! Sakit kepala aku jadinya!”
Tangan Manda yang tengah mengeringkan wajah dengan handuk pun terhenti. “Jaーjadi, benar ya? Se—sepertinya aku salah masuk kamar.”
Yuike menggosok mukanya keras-keras. Frustasi.
Begitu juga dengan Manda. Ada raut kengerian di wajah gadis malang itu ketika ingatan samar muncul mengenai pria yang menghabiskan waktu dengannya semalam.
“Terus, siapa laki-laki yang sama aku semalam itu, Ke?”
Netra Yuike membulat sempurna. Semakin frustasi.
“Astaga, mana aku tau! Lama-lama bisa gila punya temen kayak kamu!" pekik Yuike. “Udahlah! Kita pergi dulu dari sini. Jangan sampai pria itu lihat muka kamu!"
Setuju, Manda dan Yuike segera keluar dari hotel. Pulang dengan mobil Yuike.
Tubuh Manda gemetar. Ia sudah bercinta dengan pria asing yang bahkan tidak diketahui nama dan asal usulnya.
Mereka bahkan tak bisa melacak dari tempat sewa gigolo, karena ternyata bukan laki-laki yang dipesan Yuike.
Sambil menyetir, Yuike bertanya, “Nda, kamu masih ingat wajah laki-laki yang bersamamu semalam, kan? Kalian pakai pengaman nggak?”
Manda menggelengkan kepala. “Terlalu samar ingatanku, Ke. Kemungkinan juga nggak pakai pengaman ....”
Keduanya terdiam beberapa saat. Mereka berharap tidak akan terjadi masalah di kemudian hari karena kebodohan hari ini.
Yuike menggeleng. "Kayaknya, kamu udah nggak sempat pulang untuk ganti baju. Kamu pakai baju kerja aku aja!"
Yuike menunjuk pakaiannya yang tergantung di kursi belakang mobil.
"Makasih, Ke." Tanpa ragu lagi, Manda segera berpindah kabin untuk ganti baju.
Hari ini adalah hari pertama Manda bekerja di PT Djaya Tambang Tbk. Ia tidak ingin membuat kesan buruk di hari pertamanya. Manda bersyukur memiliki teman dekat yang pengertian seperti Yuike.
"Aku antar kamu kerja," kata Yuike kemudian. "Buruan pakai make-up, Nda!"
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi