Alexander Benjamin memandangi bayangan Banyu dan Diajeng dari kejauhan. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras.Gila... Diajeng benar-benar sudah jadi milik musuhku.Semua orang kampus mungkin bisa dibuat kagum dengan sosok Banyu—tampan, cerdas, kaya, dan sekarang diketahui sudah menikah diam-diam dengan mantan kekasihnya. Tapi tidak dengan Alex.Ia tahu siapa Banyu sebenarnya. Dan ia tahu, meskipun sekarang status Diajeng adalah istri sah pria itu, cinta di hati gadis itu belum sepenuhnya berpindah.Masih ada celah... Masih ada jalan.Alex menekan layar ponselnya dan menghubungi Erika. Tak butuh waktu lama hingga sambungan tersambung.“Erika, aku butuh bantuanmu.”“Apa lagi, Alex? Kenapa pagi-pagi kamu merecokiku?” sahut Erika dari seberang, terdengar malas.“Tolong bawa Diajeng ke klinik kampus, terserah kamu pakai alasan apa. Aku tunggu di ruang konsultasi,” ucap Alex cepat.Erika diam sesaat. “Kamu punya rencana apa?”“Bukan apa-apa. Aku cuma mau bicara, tanpa suami brengseknya di
Pagi itu, langit cerah. Matahari belum terlalu terik, namun hati Diajeng terasa sebaliknya—panas dan sesak. Ia berdiri canggung di depan gerbang kampus, mengenakan cardigan tipis dan celana jeans. Di sampingnya, Banyu tampak tenang dengan setelan casualnya yang membuat aura ketampanan pria itu meningkat.“Kamu yakin mau masuk bareng aku?” tanya Diajeng pelan, menunduk sedikit agar tak bertemu dengan tatapan penuh harap milik Banyu.Banyu hanya tersenyum kecil. “Aku suamimu. Aku ingin mendampingi kamu, bukan hanya di rumah... tapi juga di manapun.” Tangannya terulur, mencoba menggenggam jemari Diajeng.Namun, Diajeng mundur setengah langkah.“Aku… belum siap, Banyu,” gumamnya. “Aku tahu kamu suami yang baik. Tapi hatiku belum bisa langsung berpindah arah. Kamu tahu siapa yang masih ada di sana…”Banyu menarik napas panjang. Ia menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. Tapi ia tak memaksa. Ia hanya berkata pelan, “Aku tahu. Tapi aku tetap akan ada di sini, menunggu kamu siap.”Mereka mel
Kampus Mahadwipa siang itu dipenuhi aktivitas mahasiswa. Namun suasana kantin yang semula hangat dengan tawa dan obrolan santai mendadak menegang ketika seorang pria melangkah masuk.Langkahnya tegap, sepatu kulit hitam berkilat mengetuk lantai dengan ritme mantap. Pria itu mengenakan setelan formal: kemeja putih yang masih rapi terpasang di tubuh bidangnya, jas hitam elegan tersampir di lengannya, dan dasi longgar melingkar di leher, seolah baru saja keluar dari rapat penting. Rambutnya sedikit berantakan, namun justru membuatnya terlihat semakin maskulin.Semua mata tertuju pada sosok itu.“Eh… siapa tuh? Anak baru?” bisik seorang mahasiswi.“Bukan. Kayak pernah lihat deh… Banyu? Itu Banyu, kan?” sahut yang lain tak percaya.“Mana mungkin Banyu…? Banyu kan mahasiswa sini. Kok kayak CEO?”Sementara itu, Alex yang sedang duduk santai di meja pojok bersama Erika dan Diajeng, mendongak dengan tatapan tak suka saat melihat pria itu mendekat.Banyu tak memedulikan keributan kecil itu. Tat
Di kampus... Langkah Diajeng sempat terhenti di gerbang kampus. Semua terasa begitu familiar, tapi juga asing di saat yang sama. Beberapa mahasiswa yang mengenalnya menatap penuh tanya. Mereka membatin: Bukankah Diajeng ini pacar Alex? Kok lama banget nggak kelihatan? Baru saja Diajeng menghela napas lega karena berhasil masuk area kampus tanpa gangguan berarti, sebuah suara yang sangat dikenalnya memanggil. “Diajeng!” Tubuh Diajeng menegang seketika. Jantungnya seperti ditarik turun ke perut. Perlahan ia menoleh, mendapati Alexander Benjamin berdiri di sana dengan kemeja santai, tangan menyelip di saku celana. Senyum tipis menghiasi bibir lelaki itu, tapi sorot matanya penuh tuntutan. “Alex…” gumam Diajeng, berusaha tersenyum sopan. Alex mendekat, jaraknya sengaja diperkecil. Matanya mengamati Diajeng dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu menghilang ke mana aja, hm? Aku cari kamu ke mana-mana…” Belum sempat Diajeng menjawab, Erika datang menyusul. Gadis itu langsung merangkul l
Langit pagi tampak cerah, burung-burung berkicau di luar jendela apartemen elit tempat Banyu dan Diajeng tinggal. Aroma roti panggang menyebar dari dapur kecil, bercampur dengan harum teh melati yang baru saja diseduh Banyu. Diajeng duduk di sofa, mengelus perutnya yang masih rata sambil menatap buku-buku catatan kuliahnya yang sudah lama terbengkalai. Wajahnya tampak rindu pada dunia yang dulu dia jalani — dunia kampus dengan segala kesibukan, tawa teman-teman, dan setumpuk tugas. Mual yang dulu setiap pagi membekapnya kini sudah mulai mereda. Hanya sesekali ia merasa pusing, dan itu pun tak separah sebelumnya. “Aku benar-benar ingin kuliah lagi…” gumam Diajeng lirih, seolah berbicara pada bayinya sendiri. Banyu memperhatikannya diam-diam dari balik pintu dapur. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi sorot matanya penuh kecemasan. "Diajeng… aku tahu kamu ingin bebas. Tapi aku juga nggak bisa diam saja. Aku harus pastikan kamu aman…" Setelah sarapan, saat Diajeng sibuk mandi
Mentari pagi menyelinap melalui celah tirai apartemen elit itu. Diajeng membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa sedikit pegal, mungkin karena tidur tak nyenyak semalaman. Perasaan gelisah masih menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela kaca yang menghadap ke kota. Entah mengapa, ia merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasi dari kejauhan. “Kenapa kamu bangun sepagi ini?” suara berat Banyu membuat Diajeng tersentak kecil. Lelaki itu muncul dari arah dapur, membawa dua gelas susu hangat. Senyumnya menenangkan, tapi Diajeng masih belum bisa menghapus kegelisahan di hatinya. “Aku... aku nggak tahu, Banyu. Sejak semalam rasanya nggak enak. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya lirih. Banyu menatap istrinya lekat-lekat. Wajah Diajeng pucat. Ia tahu Diajeng tak mungkin berbohong soal firasat karena dia pun merasakan hal yang sama. Dengan lembut, ia menyerahkan segelas susu. “Kamu minum dulu, biar tubuhmu hangat. Aku janji, nggak akan biarin siapa pun