Terima kasih. Semoga suka
Bramasta bukan di perusahaannya. Pria itu pergi ke ujung kota. Di mana terdapat bangunan tua yang terbengkalai. Sebuah lingkungan yang sudah tidak terpakai lagi dan ditinggalkan oleh penduduknya menjadi sunyi dan sepi melebihi kuburan. Tidak ada yang berani mendekat karena terlalu banyak cerita yang mengerikan terdengar. Rumah-rumah warga yang terbakar akibat sebuah insiden yang menggemparkan. Kasus yang tidak bisa dipecahkan oleh pihak berwajib.Bramasta membeli lokasi itu dengan harga yang murah dengan alasan untuk dijadikan tempat pembuangan sampah pribadi dan perusahaannya. Pria itu memanfaatkan Gedung-gedung tua yang sudah berlumut sebagai penjara untuk orang-orang yang berani menyakitinya.“Tuan. Semua orang yang terlibat dalam kecelakan Nyonya muda sudah berada di dalam penjara yang terpisah.” Nave menyambut kedatangan Bramasta.“Apa dua wanita itu ada?” tanya Bramasta. Pria dengan kulit putih bersih itu tampak elegan dengan kemeja dan celana hitam. Tubuh sempurnanya terlihat s
Jordi melihat rekaman kamera rumah Bramasta dari rumahnya. Pria itu tersenyum melihat tingkah Aqeela yang seperti anak kecil. Gadis muda itu tidak memiliki ponsel dan computer sehingga dia melakukan hal-hal yang tidak biasa.“Orang cerdas itu memang memiliki gaya yang lucu. Apa karena dia baru delapan belas tahun?” Jordi terus melihat aktivitas Aqeela di rumah Bramasta. Gadis itu tinggal sendirian karena sang suami pergi ke kantor. Dia masih harus bersembunyi dari banyak orang.“Aku akan pergi menemui Aqeela. Kak Bram tidak ada di rumah.” Jordi mengendarai mobil menuju rumah Bramasta. Pria itu membawa oleh-oleh berupa kue cokelat, keju dan desert buah.Mobil Jordi berhenti di depan pintu utama. Pria itu langsung masuk ke dalam rumah dan menuju taman samping. Dia melihat Aqeela yang sedang bermain ayunan di bawah pohon.“Aqeela,” sapa Jordi tersenyum lebar dan berjalan mendekati Aqeela.“Gila. Dia bermain ayunan hingga melambung ke langit. Itu pasti sangat menakutkan bagi wanita pada u
Bramasta tidak peduli dengan penolakan Aqeela. Dia memeluk erat tubuh kecil istrinya yang cukup padat karena suka berolahraga.“Kemarilah, Aqeela. Aku tahu kamu butuh pelukan.” Bramasta tersenyum. Dia tidak peduli dengan sang istri yang tidak mandi sore karena bekerja sepanjang hari tanpa istirahat.Tidur berpelukan hingga pagi hari. Tangan Bramasta menjadi kesemutan karena menjadi bantal untuk Aqeela dan itu atas kehendak dirinya sendiri.“Aaahhh!” Pria itu kesakitan. Dia benar-benar menyiksa diri sendiri untuk bisa memeluk Aqeela.“Om.” Aqeela membuka mata dan melihat wajah Bramatsa yang sangat dekat.“Kenapa Om tidur di sini?” tanya Aqeela tanpa dosa.“Kamu menjadikan tanganku sebagai bantal. Ini benar-benar sakit,” jawab Bramasta.“Oh. Maaf.” Aqeela segera duduk.“Aaaah.” Bramasta memijit tangannya.“Aku akan membantu.” Aqeela pun memijit pelan lengan Bramasta. Dia telihat sangat berhati-hati.“Kenapa Om tidak memindahkan tangan dari bantalku?” tanya Aqeela merasa bersalah melihat
Bramasta tiba di klinik dokter Diko. Pria itu dibawa Beni masuk ke ruangan pemeriksaan.“Ada apa?” Dokter Diko terkejut melihat keadaan Bramasta yang kesakitan.“Tuan tidak makan dan minum apa pun setelah sarapan,” jelas Beni.“Apa?” Dokter Diko semakin terkejut mendengar jawaban Beni karena Bramasta tidak pernah melakukan kesalahan dalam menjaga pola makan dan kesehatan.“Kamu seharusnya tetap banyak minum,” tegas Diko membantu Bramasta naik ke tempat tidur.“Kenapa tidak makan apa pun? Ini bukan kamu, Bram.” Dokter Diko dengan cepat memeriksa Bramasta dan menyuntikkan cairan.“Apa yang terjadi? Sesibuk apa pun kamu bekerja pasti makan di waktu yang tepat dan banyak minum,” ucap Dokter Diko memperhatikan Bramasta yang hanya diam saja. Sang presdir rebahan di atas kasur dengan mata terpejam. Pria itu sedang menenangkan diri hingga tertidur.“Di mana istrinya?” tanya dokter Diko.“Di kantor. Nyonya sedang bekerja di ruangan khusus,” jawab Beni.“Jadi, berita tentang Aqeela dirawat itu
Aqeela benar-benar bingung dengan tindakan Bramasta. Dia tidak pernah memikirkannya. Pria itu terlalu berani memberikan kunci utama dari ruang kendali.“Om!” Aqeela mendorong tubuh Bramasta menjauh darinya. Dia menyadarkan diri bahwa dirinya tidak bisa menerima itu.“Ada apa, Aqeela?” Bramasta bingung.“Kembalikan!” perintah Aqeela pada computer pintar. Dia menarik kembali tangan Bramasta dan memverifikasi data secara ulang dengan cepat.“Konfirmasi berhasil,” ucap computer.“Kunci otomatis!” perintah Aqeela.“Kunci,” jawab computer.“Aqeela!” Bramasta menarik tubuh Aqeela. Dia memegang pundak wanita itu dan menatap tajam.“Kenapa?” tanya Bramasta kesal.“Perusahaan ini akan aman di tangan Om. Aku tidak pantas,” jawab Aqeela tersenyum.“Kenapa? Apa ini adalah cara kamu menolakku?” Bramasta benar-benar merasa tidak punya harga diri. Dia sudah menyatakan cinta dengan memberikan perusahaannya kepada Aqeela.“Bukan. Bukan begitu, Om. Aku adalah orang yang tepat janji. Aku akan melindungi d
Bramasta menarik Aqeela ke belakang dirinya. Seorang pria dengan mudah menyadari bahwa lelaki lain tertarii kepada wanitanya. “Apa kamu menyelidiki tentang Aqeela?” tanya Bramasta menatap tajam pada Jordi. “Kak, di berita jelas disiarkan pembalap itu bernama Aqeela Calizta Anggara. Apa Kakak lupa aku sangat suka balapan, tetapi dilarang kalian.” Jordi tersenyum tipis dan melirik pada Aqeela. “Tidak disangka. Menantu kesayangan keluarga kita adalah seorang pembalap. Aku benar-benar senang.” Senyuman Jordi memiliki banyak arti. “Aqeela, kapan-kapan mungkin kita bisa balapan berdua. Aku punya motor balapan di rumah. Aku akan memberikan satu untuk kamu,” ucap Jordi mendekat. “Kenapa Jordi menyerang Perusahaan Om Bram? Apa karena warisan atau ada persaingan lainnya? Mereka terlihat baik-baik saja, tetapi di belakang saling serang.” Aqeela terlihat hati-hati dengan Jordi karena dia sudah tahu bahwa pria itu bekerja sama dengan Elena untuk menghancurkan Bramasta. “Sebenarnnya, aku tidak