Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.
Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga. "Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di peta." Kael meliriknya dari atas bahunya, mata birunya berkilau dalam kegelapan, dengan semburat hijau hitam dari sihirnya yang unik. "Karena jalur ini hanya digunakan dalam keadaan darurat. Ayahku pernah menunjukkan jalan ini dulu—jalur yang tidak akan pernah dicatat di buku mana pun. Tapi jangan berharap ada tanda yang mudah dikenali." Murphy mengangguk kecil, meski masih gelisah. “Berarti kita juga tidak bisa memastikan apa yang menunggu di depan,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran mendalam. Sarah berhenti sejenak di belakang mereka, menggenggam tangan Laila erat, lebih sebagai penghiburan daripada sekadar ikatan persaudaraan. Dia memejamkan mata, energi ungu memancar dari matanya saat dia memfokuskan kekuatan Mata Sihir untuk mencari ancaman di sekitar. Namun, yang dia lihat bukan bahaya langsung, melainkan kilasan masa lalu menghampirinya. Dia melihat sosok wanita yang sangat ia cintai, ibunya, Eliana, berjalan tergesa-gesa di jalur yang sama, mata ibunya dipenuhi kecemasan dan tekad. Di sekelilingnya, hutan tampak lebih cerah, seolah alam menyambutnya. Eliana tampak tidak merasa terancam, berbeda dengan mereka saat ini. Namun, kilasan itu bergeser, sosok Eliana tertutup kabut, hingga hanya bayangannya yang tersisa, menggambarkan perjalanan pahit yang harus dihadapi. Sarah membuka matanya dengan napas tertahan. “Kael,” panggilnya pelan namun tegas, berusaha tidak menambah ketegangan. Kael menghentikan langkahnya, berbalik menantang tatapan Sarah. “Apa yang kau lihat?” Sarah ragu sejenak, menimbang kata-katanya hati-hati. “Ibu pernah melewati jalur ini. Tapi… ada sesuatu yang salah. Kabut itu…” Dia menggigit bibirnya, tidak yakin bagaimana menyampaikan perasaan mendalam yang memenuhi jiwanya. Kael mengangguk, matanya penuh konsentrasi. “Jika Ibu pernah melewati jalur ini, berarti ada sesuatu yang menunggu di depan. Kita harus bersiap.” Murphy meraih pegangan pedangnya, energi sihir emas mulai memancar lebih jelas, pedangnya seolah menjadi perisai yang menyelimuti mereka. “Aku tidak suka kata ‘kabut’. Itu biasanya bukan pertanda baik.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, namun suasana hutan berubah. Udara semakin dingin, dan kabut menyelimuti lantai hutan, naik perlahan hingga mencapai lutut. Kabut terlihat aneh, seolah memiliki kehidupan sendiri, menyebar dengan cara yang tidak wajar dan angkuh. “Ini aneh,” gumam Kael, wajahnya serius. Energi hijau kehitaman di sekelilingnya bercampur dengan cahaya ungu samar. “Kabut tidak seharusnya setebal ini di area ini. Seharusnya kita bisa melihat jalan… tanpa kabut ini.” Sarah menatap kosong ke depan, tetapi kekuatan Mata Sihir-nya menangkap pergerakan tak wajar. Bayangan samar melintas di antara pepohonan, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditangkap oleh mata normal, cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. “Kita tidak sendiri,” bisik Sarah, suaranya serak, seperti angin gemetar pada malam dingin, membuat semua berhenti sejenak, menghadapi ketidakpastian yang melingkupi mereka. Kael memperhatikan sekeliling dengan seksama, tangannya siap membentuk Racun Melemahkan. Mereka harus bertindak cepat. “Sarah, kau lihat berapa banyak?” tanyanya. Sarah menggeleng perlahan, kecemasan merayap di wajahnya. “Aku tidak yakin. Tapi mereka ada di mana-mana. Rasanya seolah kita dikelilingi,” jawabnya, suaranya mendesah penuh resah. Murphy maju ke samping Kael, memegang pedangnya dengan kedua tangan, merasakan ketegangan menyelubungi mereka. “Ini bukan kabut biasa. Ini terasa seperti… sihir. Sihir jahat.” Kael mengangguk setuju. “Ordo Umbra. Mereka sudah sampai di sini. Ini bukan kebetulan. Mereka ingin kita terjebak.” Laila, yang selama ini menarik lengan Sarah, kini menunjukkan ketegasan tak biasa. Jari-jarinya bergerak cepat, menandakan betapa seriusnya situasi ini di pikirannya. "Kita harus pergi sekarang. Ini jebakan. Kita tidak bisa terus melawan berita buruk selamanya," katanya bergetar, mencurahkan pikiran yang terbawa oleh instingnya, sembari energi ungu samar mulai bergetar di sekelilingnya. Sarah menerjemahkan dengan nada cemas, dan Kael segera memberikan anggukan tegas. “Ikuti aku. Jangan berpisah apapun yang terjadi, tidak peduli apa yang menghalangi kita,” instruksinya, menyadari ini bukan saatnya untuk ragu. Ketika mereka bergerak maju dengan hati-hati, suara langkah lain terdengar samar di sekitar mereka. Bunyi langkah itu bukan langkah kaki mereka sendiri; suara berat dan teratur bergema di antara pepohonan. “Kanan,” bisik Murphy tiba-tiba, matanya menangkap gerakan di sudut pandangnya. Mengayunkan pedangnya ke arah suara itu, siap menghadapi apapun yang mendekat. Namun, dia hanya mengenai udara kosong. Kael merasakan tekanan energi sihir mendekat, mengisi kegelapan dengan kehadiran yang tidak menyenangkan. Dia memutar tubuhnya, melancarkan Racun Halusinasi ke udara, menciptakan kabut ungu bercampur kabut alami. Bayangan-bayangan di sekitar mereka menjadi kabur, seolah batas antara kenyataan dan ilusi mulai blur. Namun serangan datang cepat. Sebuah panah sihir gelap melesat dari kabut, hampir mengenai Kael jika dia tidak segera melompat menggunakan Windstep, mendengar suara panah itu melesak ke belakangnya. “Di depan!” seru Sarah, menunjuk ke arah kanan dengan keseriusan tak terduga, matanya bersinar dengan cahaya ungu, tanda kekuatan sihirnya. Kael menangkap penglihatan dua sosok berjubah hitam muncul dari kabut, wajah mereka tersembunyi di balik topeng logam. “Ordo Umbra,” gumamnya, mengangkat tangan melancarkan Racun Melemahkan, sihir menghancurkan mengalir dari dalam dirinya. Murphy menerjang salah satu dari mereka, pedangnya menyala dengan energi sihir emas yang membara. Pertarungan terjadi cepat, suara dentingan logam dan ledakan sihir menggema di antara kabut yang bergulung. Suara benturan logam, campuran erangan dan teriakan, memecah keheningan malam yang mencekam. Namun, salah satu penyihir mendekati Sarah dan Laila. Dengan satu gerakan angkuh, dia mengayunkan gelombang energi gelap ke arah mereka. Laila, yang sebelumnya bersembunyi di belakang Sarah, mendadak maju dengan keberanian yang tiba-tiba bersinar. Energi ungu samar bergetar di sekelilingnya saat dia membuka mulut, dan meskipun bisu, kekuatan soniknya muncul sebagai gelombang energi yang mengguncang udara. Serangan sihir penyihir meledak di udara, tubuhnya terlontar mundur oleh kekuatan Laila, membuat Sarah terperanjat. Sarah memeluk Laila erat-erat, matanya melebar karena kagum dan terkejut sekaligus. “Kau hebat,” bisiknya, meskipun suaranya dipenuhi kecemasan, berusaha menembus rasa ketakutan dalam hati mereka. Setelah pertempuran singkat, Kael dan Murphy berhasil mengalahkan para penyihir. Namun, kabut masih menyelimuti mereka, menandakan ancaman belum sepenuhnya hilang. Hawa dingin semakin menyengat, dan mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Murphy, menghela napas berat, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Mereka tahu kita ada di sini. Ini adalah permainan kucing dan tikus yang belum ada ujungnya.” Kael mengangguk, matanya tetap tajam menatap jalan di depan. “Tidak ada waktu untuk berhenti. Sarah, Laila, tetap di belakangku. Murphy, kau jaga belakang. Kita tidak bisa mencari tahu betapa berbahayanya jalan ini lebih dalam lagi.” Sarah mengangguk, sementara Laila menatap Kael dengan ekspresi penuh keyakinan, jari-jarinya bergerak perlahan menandakan kebersamaan mereka. "Kita akan baik-baik saja. Kami sudah melewati yang terburuk," ia berusaha menghibur mereka. Kael membalas dengan senyuman kecil, meskipun dia tahu di dalam hatinya perjalanan ini akan semakin berbahaya seiring dengan kedalaman hutan. Dengan langkah hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan melalui kabut, meninggalkan bayangan pertempuran di belakang. Di kejauhan, suara-suara aneh bergema, seperti bisikan menyeru lebih dalam ke jantung hutan misterius ini. Dan Kael tahu, ini baru permulaan dari apa yang akan mereka hadapi. Kabut hanyalah bagian kecil dari ancaman besar yang menunggu di ujung jalan. Kegelapan mengintai, dan mereka harus bersatu untuk menghadapi apapun yang akan datang.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya