Share

3 - Malam Indah

Rosen mengira minum empat gelas vodka, akan berdampak pada kesadarannya yang mengalami penurunan. Ternyata, tidak.

Rosen masih bisa mengingat dengan betul bagaimana awal meninggalkan bar bersama Ryder Davis. Lalu, masuk ke mobil mahal pria itu dengan kegugupan cukup besar.

Rosen kira dirinya akan bisa mengontrol perasaan tersebut, saat sudah tiba di hotel. Namun, ia justru semakin tegang.

Bukan karena ragu dengan rencananya akan  berkencan semalam bersama Ryder Davis, namun tempat yang dipilih pria itu.

Hotel sangat berkelas. Bertarif mahal.

Rosen memanglah belum tahu secara jelas harga per malam. Sudah dipastikan tidak akan semurah di motel kelas bawah.

Tak berarti, Rosen berniat mengajak Ryder Davis pergi ke penginapan yang seperti itu. Minimal bisa digunakan rumahnya hingga tak perlu mengeluarkan uang banyak.

Rosen jelas akan membagi dua secara adil dengan Ryder biaya hotel. Tidak bisa pria itu yang hanya membayar demi harga diri.

"Kau kenapa, Miss Green?"

Rosen langsung saja membuyarkan lamunan mendengar pertanyaan bernada sopan yang Ryder lontarkan. Ia tak langsung memberi atensi pada pria itu.

Rosen lebih dulu mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk tahu dimana dirinya dan Ryder tengah berada, kini.

Mereka sudah di lift.

Padahal, baru beberapa menit lalu rasanya ia dan Ryder berjalan di lobi dengan lengan pria itu merangkul pinggangnya erat.

Sampai sekarang, rengkuhan Ryder belum berkurang memang. Dan, lebih buruk lagi, Rosen merasa semakin nyaman berada di dalam dekapan pria itu. Merasa terlindungi.

"Miss Green?"

Rosen memamerkan senyuman yang cukup lebar. Lalu, menggeleng. "Tidak ada pikiran serius sedang membebaniku."

"Aku cuma sedikit gugup." Rosen memilih jujur. Walau, tak secara penuh.

"Apa kau tidak pernah sebelumnya?"

Rosen seketika membeliak. "Maksudmu aku ini masih gadis? Begitu?"

Kemudian, Rosen cepat-cepat menggeleng. Tak ditunggu respons dari Ryder lebih dulu. Harus segera diralatnya. Lebih jelas, tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.

"Aku tidak akan sepolos itu," pertegas Rosen sedikit malu. Dihindari tatapan Ryder.

"Aku tidak pandai menjaga kegadisanku."

"Hahaha."

Rosen pun tidak tahan untuk tak melihat bagaimana ekspresi pria itu, saat tertawa. Dan, benar saja, Ryder tampak jauh lebih menawan. Ketampanan tak terbantahkan.

Namun kemudian, Rosen harus berhenti memandang Ryder, saat pria itu menatap dirinya dengan sorot yang intens.

Tak berselang lama, pintu lift terbuka. Dan sedetik selanjutnya, Rosen mendapatkan rangkulan di bagian pundak dari Ryder.

Mereka berdua lantas berjalan beriringan keluar. Melangkah cukup santai. Rosen tak bisa melepas kontak mata dengan Ryder.

"Kau sering melakukan kencan satu malam bersama pria kenalan di bar sepertiku?"

Rosen menggeleng cepat. "Tidak."

"Kau yang pertama," lanjutnya dalam nada yang lebih mantap.

"Aku cuma pernah tidur dengan pria yang berstatuskan sebagai kekasihku."

"Terakhir kali, satu tahun lalu." Xevia pun memperjelas. Entah kenapa, ingin diungkap.

"Aku cukup tersanjung menjadi pria yang pertama berkencan denganmu."

Xevia hendak membalas, namun perhatian tersita oleh pemandangan kamar hotel yang begitu mewah dan luas. Ia tercengang.

Xevia tak tahu persis bagaimana harus bereaksi seperti apa. Saat hendak berbicara, bibirnya sudah dibungkam oleh Ryder.

Pagutan pria itu begitu lembut. Tak butuh waktu lama dirinya hanyut dalam cumbuan Ryder. Ia pun berusaha membalas. Walau, pria itu yang mendominasi.

Beberapa detik kemudian, Rosen bahkan sudah mendapati diri berbaring di atas kasur. Ryder menindihnya.

Ciuman mereka belum berakhir.

Perlahan, hasrat Rosen terbangkitkan. Ia ingin mengalami malam panas dengan teman kencan satu malamnya.

"Beri aku kepuasan, Mr. Davis."

"Dengan senang hati, Miss Rosen."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status